Kamis, 02 Februari 2017

Bukan Wakil Tuhan

Bukan Wakil Tuhan
M Subhan SD  ;  Wartawan Senior Kompas
                                                     KOMPAS, 02 Februari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kamis (26/1) pagi pekan lalu, rasa kopi terasa amat pahit. Gara-garanya berita di harian ini, "Koruptor Makin Sulit Diproses Hukum". Berita itu soal putusan Mahkamah Konstitusi bahwa kerugian negara dalam perkara korupsi tidak lagi bersifat potential loss, tetapi actual loss. Meskipun ada empat hakim memberikan dissenting opinion, MK dinilai tidak berpihak pada pemberantasan korupsi. Malam harinya, kopi pahit tadi benar-benar beracun setelah Hakim Konstitusi Patrialis Akbar ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi.

MK seperti terjungkal. Padahal, mendengar kata "mahkamah" dan "konstitusi" terasa luhur penuh wibawa. MK ibarat "rumah suci" karena MK merupakan tempat bersemayam para "wakil Tuhan". Hakim MK sejatinya mereka yang sudah selesai dengan urusan pribadinya. Ketua MK Arief Hidayat mengatakan, "Pesan saya, dalam rekrutmen hakim konstitusi, yang penting adalah satu, rekrutlah orang-orang yang hidupnya sudah selesai. Kalau ada orang yang merasa hidupnya belum selesai, jangan dijadikan hakim konstitusi," kata Arief, di Jakarta, Jumat (27/1). Maksudnya orang yang "kebutuhan hidupnya" sudah cukup dengan apa yang dimiliki.

Maka, etika, moral, akal sehat, dan kebenaran tampaknya jadi dasar putusan-putusan hukum yang dibuat MK. Namun, bisa jadi semua itu cuma konstruksi pikiran. Realitas tidak selamanya indah, persis seperti yang dipikirkan. Tidak salah jika ada suara-suara menilai MK tidak sesuci yang dilukiskan. Tiga tahun silam malah Ketua MK Akil Mochtar yang dicokok KPK. Akil dinyatakan terbukti bersalah menerima hadiah dan tindak pidana pencucian uang terkait kasus sengketa pilkada di MK. Akil pun dihukum penjara seumur hidup pada 2014.

Lalu, mengapa MK tidak belajar dari kasus Akil sampai muncul kembali kasus Patrialis? Kebetulan lagi Akil dan Patrialis sama-sama berlatar belakang politik (anggota partai politik). Seorang hakim seharusnya dialienasi dari urusan politik. Tidak mengherankan publik menolak hakim yang berasal dari politisi karena punya kepentingan.

Namun, kritik publik itu tak didengarkan. Politisi bisa dengan mudah melenggang menjadi hakim konstitusi. Patrialis, misalnya, dipilih Presiden Susilo Bambang Yudhoyono setelah kemenangan gugatan terhadap Keppres No 87/2013 di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta dibatalkan Pengadilan Tinggi TUN Jakarta dan dikuatkan Mahkamah Agung. Tahun 2008 saat seleksi di Komisi III DPR, Patrialis tak lolos.

Riuhnya lagi, sekarang justru muncul "perang" di media sosial. Penangkapan Patrialis dianggap skenario karena beberapa bulan terakhir Patrialis dianggap kritis dan vokal terhadap pemerintah. Sampai-sampai kredibilitas KPK dipertanyakan. Padahal, KPK selalu bekerja atas dasar bukti-bukti yang kuat. Jadi, daripada memviralkan tudingan lebih baik serahkan saja pada proses hukum di KPK. Jika masih ragu juga, silakan ajukan praperadilan. Bukan berkoar-koar atau memvonis di media sosial supaya kegaduhan tidak kian memanas.

Barangkali menarik untuk tak melupakan adagium bahwa seorang hakim harus memenuhi dua hal: kebijakan, kecuali dia adalah orang bodoh; dan hati nurani, kecuali dia mempunyai sifat kejam (judex herbere debet duos sales: salem sapientiae, ne sit insipidus; et salem conscientiae, ne sit diabolus). Tentunya kita menghormati hakim yang menjalankan tugasnya secara adil dan bijaksana. Namun, jika mengkhianati amanah, tentunya mereka bukan termasuk "wakil Tuhan".. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar