Tantangan
Mitigasi Gempa
Abdul Muhari ; Pakar
Gempa dan Tsunami Kementerian dan Kelautan;
Chairman Tsunami Working Group,
Sentinel Asia
|
KOMPAS, 10 Desember
2016
Alam kembali
mencari kesetimbangannya di ”Tanah Rencong”. Rabu, 7 Desember 2016,
pergeseran sesar aktif di Kabupaten Pidie Jaya menimbulkan gempa dengan
kekuatan M 6,5 (menurut Lembaga Survei Geologi Amerika Serikat/USGS). Gempa
ini berakibat pada 105 unit toko roboh, 106 unit rumah rusak berat, 13 masjid
hancur dan 100 orang kehilangan nyawa (data per Jumat, 9 Desember 2016, pukul
17.00 WIB).
Sebelumnya, tiga
tahun lalu tepatnya 2 Juli 2013, gempa dengan kekuatan M 6,1 mengguncang
daerah Bener Meriah, kabupaten yang hanya berjarak 100 kilometer dari lokasi
gempa dua hari yang lalu. Saat itu, 42 orang tewas, 400 orang luka-luka, dan
tidak kurang dari 3.000 rumah hancur.
Dalam tiga tahun,
dua gempa di kawasan yang tidak berjauhan dengan karakter kerusakan yang
sama, yakni bangunan yang roboh, rusak struktur, dan ambruk yang berujung
pada jatuhnya korban jiwa akibat terperangkap pada bangunan yang rusak.
Apakah ini
kejadian pertama? Tidak. Melihat lebih jauh ke belakang, pada 30 September
2009, gempa dengan kekuatan M 7,6 menghantam Padang, Sumatera Barat, yang
berakibat pada hancurnya tidak kurang dari 135.000 rumah dan menewaskan 1.117
jiwa.
Tahun 2006, gempa
dengan kekuatan M 6,4 meluluhlantakkan Bantul, Yogyakarta, yang menelan
hingga 5.700 korban jiwa. Pola kerusakan yang menyebabkan korban juga sama,
struktur bangunan tidak mampu menahan guncangan gempa sehingga menimbulkan
kerusakan pada tiang, dinding, atap atau robohnya bangunan secara keseluruhan
yang kemudian menjadi penyebab utama jatuhnya korban jiwa yang terperangkap
dalam bangunan yang ambruk.
Pertanyaannya, apa
saja yang kita sudah lakukan 10 tahun terakhir sejak gempa Bantul,
Yogyakarta, untuk benar-benar berupaya mengurangi kerusakan dan korban jiwa
akibat gempa?
Satu hal yang
perlu dipahami adalah bukan gempa yang membunuh, melainkan bangunan dan
infrastruktur lain yang dibangun tidak tahan gempa yang membawa korban jiwa.
Beranjak dari pemahaman ini, sebenarnya upaya mitigasi gempa yang paling
mendasar sudah sangat jelas, yaitu bangunan dan infrastruktur apa pun di
kawasan rawan gempa harus dibangun dengan memperhatikan ketahanan bangunan
tersebut terhadap gempa.
Aturan-aturan yang
diperlukan untuk melaksanakan hal ini juga sudah tersedia. Sejak tahun 2002,
kita telah memiliki Standar Nasional Indonesia, yakni SNI 1726-2002 tentang
standar perencanaan ketahanan gempa, Pedoman Teknis Rumah dan Bangunan Tahan
Gempa tahun 2006, dan terakhir SNI 1726-2012 tentang perencanaan gedung dan
nongedung tahan gempa.
Akan tetapi,
tantangan sebenarnya adalah bagaimana agar aturan-aturan tersebut bisa
dilaksanakan dan terimplementasi di masyarakat? Di luar negeri, pekerja
bangunan harus memiliki sertifikasi dan izin mendirikan bangunan berdasarkan
desain disesuaikan dengan kondisi daerah di mana bangunan akan didirikan.
Akan tetapi, di
Indonesia kondisinya berbeda. Rumah tinggal biasanya dibangun oleh pekerja
bangunan setempat dan kaidah-kaidah pendirian bangunan yang diterapkan
biasanya hanya mengacu pada ketersediaan dana yang ada dan bukan pada aturan
dan standar pendirian bangunan yang resmi. Akibatnya, struktur bangunan sudah
pasti tidak ideal untuk menghadapi kondisi-kondisi seperti gempa dan bencana
alam lainnya.
Keharusan di masa
depan
Upaya sistematis
dan persuasif harus dilakukan agar implementasi aturan mengenai standar
bangunan tahan gempa dapat terimplementasi. Pemerintah harus mengambil peran
upaya sistematis yang secara cepat dapat menjangkau segenap lapisan
masyarakat. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah mengintegrasikan
standar bangunan tahan gempa ke dalam persyaratan Izin Mendirikan Bangunan
(IMB).
Agar upaya ini
terlaksana, revisi peta gempa nasional yang kemudian diturunkan dan
didetailkan dalam peta mikrozonasi kegempaan di tingkat kabupaten dan kota
mutlak diperlukan. Hal ini supaya implementasi dari standar perencanaan
bangunan tahan gempa tersebut bisa mengakomodasi karakteristik potensi dampak
gempa dalam skala lokal.
Selanjutnya,
upaya-upaya persuasif juga harus dilakukan. Jika melihat proses yang
dilakukan di Jepang setelah tsunami tahun 2011, pemerintah melakukan
pendekatan secara persuasif untuk merelokasi penduduk yang masih ingin tetap
bertahan di kawasan terdampak tsunami.
Mereka yang tidak
mau pindah ke lokasi yang lebih aman dari tsunami tidak akan mendapatkan
insentif asuransi perumahan, sedangkan mereka yang mau pindah dan membangun rumah
di lokasi yang lebih aman akan mendapatkan asuransi perumahan.
Hal yang sama juga
bisa dilakukan di Indonesia. Insentif asuransi dapat menjadi salah satu
faktor penarik bagi masyarakat untuk memasukkan komponen standar bangunan
tahan gempa ke dalam desain bangunan sebelum pengurusan IMB. Untuk bangunan
yang sudah dibangun, inisiatif retrofitting atau penguatan struktur bangunan
agar tahan gempa juga bisa diganjar dengan insentif asuransi properti. Dengan
demikian, ada penghargaan kepada masyarakat yang mau dan berinisiatif untuk
mengurangi risiko kerusakan akibat gempa di masa depan.
Untuk
gedung-gedung pemerintah dan sekolah, harus ada alokasi khusus untuk
penguatan struktur bangunan tersebut agar bisa tahan gempa. Pada 2008,
Pemerintah Jepang mengalokasikan dana sangat besar untuk me-retrofitting
18.240 bangunan sekolah setelah melakukan audit terhadap 48.000 bangunan
sekolah dan menemukan bahwa 38 persen dari jumlah tersebut tidak tahan gempa.
Tidak heran kalau
pada saat gempa besar tahun 2011, tidak ada satu bangunan sekolah pun yang
roboh akibat gempa, malahan sebagian besar sekolah tersebut digunakan sebagai
tempat evakuasi dari tsunami.
Asuransi bencana
Khusus untuk
asuransi bencana, kiranya pemerintah sudah harus serius menyiapkan skema asuransi
untuk bencana. Hal ini tidak hanya diperlukan agar upaya pemulihan setelah
bencana dapat berlangsung lebih cepat karena properti yang diasuransikan bisa
segera dapat dibangun kembali tanpa harus menunggu bantuan pemerintah, tetapi
juga untuk memunculkan kesadaran masyarakat guna ikut mengurangi risiko
mereka sendiri dengan jalan mengalihkan risiko tersebut ke pihak asuransi.
Pada saat gempa
besar Jepang tahun 2011, kerugian akibat kerusakan bangunan mencapai 10,4
triliun yen, tetapi 1,3 triliun yen di antaranya merupakan bangunan yang
berasuransi dan klaim asuransi tersebut sudah didapatkan oleh masyarakat dua
bulan setelah gempa.
Hal ini memberikan
peluang bagi masyarakat untuk bisa memulai hidup dan kehidupan mereka kembali
dengan cepat setelah bencana.
Dengan demikian,
kegiatan penanggulangan bencana bisa secara bersama-sama dilakukan
pemerintah, masyarakat, dan pihak swasta sebagaimana diamanatkan oleh
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Selain itu, dengan
implementasi standar bangunan tahan gempa secara konsisten kita bisa berharap
ke depan, kerugian dan korban jiwa akibat gempa berkurang secara signifikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar