Memadukan
Keindonesiaan dan Keislaman
Salahuddin Wahid ; Pengasuh
Pesantren Tebuireng
|
REPUBLIKA, 07 Desember
2016
Hampir dua bulan
terakhir, kita disibukkan dan diganggu oleh suasana yang tidak menyenangkan,
akibat pro kontra terhadap ucapan Basuki Tjahaja Purnama tentang surah
al-Maidah ayat 51. Muncul adanya dugaan penistaan agama yang dilakukan
Basuki.
Pendapat dan sikap
keagamaan Majelis Ulama Indonesia (MUI) terhadap ucapan itu menjadi dasar
banyak pihak untuk menuntut Basuki ke pengadilan. Kita menunggu hasil dari
proses penyidikan yang dilakukan oleh Polri terhadap Basuki, yang telah
ditetapkan sebagai tersangka.
Namun, menurut
saya, masih ada satu masalah yang akan tetap menjadi masalah sampai kapan pun
kalau kita tidak mendudukkannya pada proporsi yang benar. Yakni, terkait
pendapat bahwa dengan bersikap untuk tidak memilih pemimpin non-Muslim dalam
pilkada atas dasar larangan di dalam ayat Alquran, maka umat Islam tidak
menghormati kebinekaan atau keberagaman. Apakah pendapat itu benar?
Pancasila versus
Islam
Untuk menjawab
pertanyaan ini, kita harus melihat kembali ke tahun 1945 karena keadaan yang
kita hadapi saat ini, tidak dapat dilepaskan dari perjalanan kesejarahan
bangsa dan negara Indonesia. Semua tokoh Islam pada sidang BPUPKI berjuang
supaya Islam dijadikan dasar negara.
Komprominya ialah
Piagam Jakarta (22/6/1945). Kelompok Islam bersedia menerima dasar negara
Pancasila dengan sila pertama berbunyi, "Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".
Karena ada
penolakan dari sekelompok kecil umat Kristiani, demi berdirinya negara
Republik Islam, para tokoh Islam setuju menghapus tujuh kata Piagam Jakarta.
Sila pertama diubah menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa".
Perjuangan mendirikan
negara berdasarkan Islam dilanjutkan dalam Konstituante pada 1956-1959,
tetapi kembali gagal. Dalam pemungutan suara, kelompok Islam hanya mencapai
53 persen.
Karena ada
kebuntuan politik, Bung Karno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 yang
memberlakukan kembali UUD 1945. Dalam Dekrit itu, "Piagam Jakarta"
dijadikan dasar pertimbangan.
Selama kampanye
Pemilu 1971, partai-partai Islam termasuk Partai NU masih memperjuangkan
negara berdasarkan Islam. Juru kampanye Partai NU dan partai Islam lain di
berbagai daerah sering mendapat perlakuan tidak baik dan tidak adil dari
militer.
Pada akhir 1984,
Muktamar NU menerima Pancasila sebagai dasar negara. Langkah ini diikuti
hampir semua ormas Islam dan Partai Persatuan Pembangunan.
Menarik bagi saya,
mengapa partai Islam dan ormas Islam selama hampir 40 tahun
"keukeuh" menolak Pancasila menjadi dasar negara RI? Padahal, sejak
1955 saat di kelas 6 SD, saya sudah berpendapat Pancasila itu layak menjadi
dasar negara. Kalau kita cermati Pembukaan UUD 1945, kalimat-kalimatnya
mengandung banyak kata bahasa Arab yang sudah menjadi khazanah Islam.
Setelah lama
merenungkannya, saya menemukan jawaban. Kita semua tahu bahwa Bung Karno
adalah penggali Pancasila. Angkatan saya atau yang lebih tua mengetahui Bung
Karno sering menyebut nama dan mengutip pendapat Kemal Ataturk, yang
mendirikan Republik Turki yang UUD-nya menyatakan Turki adalah negara
sekuler.
Karena Bung Karno
sering mengutip pendapat Kemal pendiri negara Turki yang sekuler, wajar kalau
banyak tokoh Islam dan pengikut mereka beranggapan bahwa negara berdasarkan
Pancasila adalah negara sekuler, yang antiagama (Islam). Karena itu, kelompok
Islam menolak Pancasila sebagai dasar negara.
Menurut saya,
salah satu hal yang ikut mendorong ormas Islam dan partai Islam bersedia
menerima Pancasila sebagai dasar negara ialah diundangkannya UU Perkawinan
pada 1974. UU itu memberi kesempatan bagi diterimanya ketentuan syariat Islam
ke dalam sistem hukum nasional.
Para tokoh Islam
menyadari, tanpa Islam menjadi dasar negara, ternyata ketentuan syariat Islam
bisa masuk ke dalam UU. Jadi, ketika ada tuntutan keadaan untuk menerima
Pancasila sebagai dasar negara, pihak yang menolak bisa diyakinkan untuk
menerima Pancasila sebagai dasar negara.
UU lain yang
memuat ketentuan syariat Islam, yaitu UU Peradilan Agama pada 1989. Peradilan
Agama yang semula di dalam Kementerian Agama beralih ke Mahkamah Agung. Kini
pengadilan agama menjadi lembaga peradilan kedua terbesar setelah pengadilan
negeri.
Setelah itu,
lahirlah UU Perbankan Syariah, UU Zakat, UU Haji, UU Wakaf, UU Jaminan Produk
Halal, dan UU Sisdiknas yang memberi tempat bagi pendidikan Islam dalam
sistem pendidikan nasional. Kini sedang diajukan RUU tentang Pesantren dan
RUU tentang Lembaga Pendidikan Islam. Sejumlah UU ini adalah bagian dari
perpaduan keindonesiaan dan keislaman.
Kementerian Agama
adalah langkah awal dalam memadukan keindonesiaan dan keislaman. Pembentukan
madrasah (MI, MTs, MA) dilakukan pada 1950 oleh Menteri Agama Wahid Hasyim,
bersamaan dengan kebijakan memberikan mata pelajaran agama di sekolah.
Ormas Islam dan
pesantren telah banyak mendirikan universitas dan sekolah tinggi di berbagai
provinsi. Pendidikan Islam berperan besar dalam memadukan keindonesiaan dan
keislaman.
Menafikan
kebinekaan?
Kembali pada
pertanyaan di atas, apakah menyampaikan larangan bagi kaum Muslimin untuk
memilih pemimpin non-Muslim adalah bertentangan dengan kebinekaan? Perlu
diingat adanya perdebatan dalam sidang BPUPKI tentang usul supaya ada syarat
bahwa presiden dan wakil presiden harus orang Islam. Akhirnya, usul itu
ditolak.
Dalam kenyataan
sejarah, memang presiden dan wakil presiden adalah Muslim. Perlu dicatat,
seorang beragama Kristen pernah menjadi pejabat presiden, yaitu Dr Leimena.
Tidak adanya syarat di dalam UUD dan UU tentang Calon Presiden harus beragama
Islam adalah bukti kita menghargai kebinekaan dan memberi hak yang sama di
depan hukum kepada semua warga negara tanpa memandang agama.
Apakah seorang
Muslim tidak boleh mempunyai keyakinan bahwa menurut agama Islam dirinya
dilarang memilih pemimpin non-Muslim? Tentu boleh dan itu dijamin oleh UUD
dan UU.
Kalau kita larang,
justru berarti kita mengurangi haknya untuk mengikuti ajaran agamanya. Apakah
seorang Muslim tidak toleran kalau dia berpendapat bahwa dirinya tidak boleh
memilih non-Muslim sebagai pemimpin?
Menurut saya, dia
tetap toleran sejauh dia menghormati agama lain dan umat agama lain. Muslim
harus toleran dalam masalah sosial, tidak dalam masalah ajaran dan keyakinan.
Apakah seorang
ulama boleh menyampaikan ajaran agamanya bahwa Muslim dilarang memilih
pemimpin non-Muslim? Tentu boleh, sepanjang itu dilakukan secara
proporsional, pada tempatnya dan dengan cara yang baik.
Jangan itu
disampaikan dengan bahasa kasar yang penuh kebencian, menyinggung perasaan
kelompok lain, apa lagi dengan menghasut. Jangan juga disampaikan dengan
menyerang pendapat kelompok Muslim yang membolehkan, apalagi mengafirkan
mereka.
Tentu tidak mudah
untuk menentukan kriteria "proporsional dan pada tempatnya" itu
seperti apa. Karena itu, demi merawat perpaduan keislaman dan keindonesiaan
yang sudah kita capai, akan jauh lebih baik bila dakwah tentang umat Islam
tidak boleh memilih pemimpin non-Muslim, tidak dilakukan secara terbuka.
Pada Pilgub DKI
2012, tidak banyak dakwah semacam itu. Pada pilgub saat ini, di hampir setiap
masjid di DKI, terdapat khotbah semacam itu karena dipicu ucapan Basuki yang
menurut sebagian besar umat Islam telah menghina Islam. Bahkan, di luar DKI.
Menjaga dan
merawat keindonesiaan bagi saya ialah menjaga perpaduan keindonesiaan dan
keislaman, yang sudah kita capai selama ini. Jangan lagi kita
mempertentangkan keindonesiaan dan keislaman.
Jangan lagi
memperdebatkan, apakah kita ini orang Indonesia yang beragama Islam atau
orang Islam yang tinggal di Indonesia. Kita adalah orang Indonesia yang
beragama Islam, sekaligus orang Islam yang berbangsa Indonesia.
Ada yang
menyatakan bahwa ayat-ayat konstitusi lebih tinggi daripada ayat-ayat kitab
suci. Langsung muncul pendapat yang menolak pernyataan itu. Yang membuat
pernyataan itu tidak memahami dengan baik psikologi massa umat Islam dan
tidak pandai menyampaikan pendapat dengan kata-kata yang maksudnya sama, tapi
tidak menimbulkan masalah.
Mestinya dia
menyatakan bahwa ayat-ayat dalam kitab suci baru berlaku di dalam masyarakat
di Indonesia kalau sudah diserap ke dalam UU, seperti UU Perkawinan, UU
Peradilan Agama.
Kita perlu juga
mencatat, perpaduan keindonesiaan dan keislaman dalam aspek budaya. Contohnya
ialah perayaan Idul Fitri yang sudah menjadi budaya bangsa Indonesia. Hal
lain ialah diterimanya lagu keagamaan Islam seperti lagu "Tuhan"
karya Bimbo, yang menjadi lagu keagamaan bagi semua rakyat Indonesia,
termasuk non-Muslim.
Hal lain ialah
tidak adanya larangan dan kewajiban berjilbab bagi Muslimah di sekolah
negeri, universitas negeri, dan kantor swasta ataupun pemerintah, seperti
yang pernah terjadi beberapa puluh tahun lalu. Memang masih ada larangan,
yaitu di TNI dan sedikit kantor atau tempat usaha swasta.
Pendapat yang
tajam di antara sesama Muslim bila kita masuk ke dalam wilayah abu-abu
seperti di atas yang menyangkut sosial-politik, di mana sebagian Muslim
melarang dan sebagian Muslim membolehkan. Atau ketika kita bicara tentang
HAM, padahal UUD Pasal 28 huruf J telah mengatur bahwa HAM di Indonesia harus
menghormati dan tidak boleh mengabaikan nilai budaya dan agama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar