Polarisasi
Opini Kelas Menengah
Wasisto Raharjo Jati ; Peneliti
di Pusat Penelitian Politik-LIPI
|
KORAN SINDO, 30 November
2016
Polarisasi
dan fragmentasi opini kelas menengah Indonesia yang didominasi kaum urban
terjadi cukup kuat dalam ruang dunia maya akhir-akhir ini. Dua fenomena tersebut muncul karena prilaku
di dunia maya tidak sehat, yang mendominasi netizen dalam menyampaikan dan
menerima informasi elektronik khususnya melalui media sosial. Menurut data
Bareskrim Polri sepanjang Januari–September 2016, tercatat kasus kejahatan
cyber didominasi oleh kasus penghinaan (638 kasus) dan penipuan informasi
online (598 kasus). Dua bentuk ekspresi negatif tersebut merupakan bentuk
dari produk literasi digital rendah dari netizen kelas menengah dalam
mengakses dan menerima informasi dari internet yang didominasi perilaku
membaca cepat (scanning) dan
membaca sekilas (skimming).
Dua hal
itu yang memicu publik–yang didominasi kelas menengah–kemudian mudah untuk
teragitasi dan terprovokasi oleh berbagai macam variasi informasi di dunia
maya tanpa melakukan verifikasi informasi sebelumnya. Berbagai macam bentuk
informasi negatif tersebut sebenarnya merupakan imbas dari pola komunikasi
yang bertujuan ofensif daripada konstruktif. Dikatakan ofensif karena para
buzzer di dunia maya berupaya saling perang satu sama lain dalam
memperebutkan follower.
Meski
demikian, sifat ofensif dalam dunia online tersebut justru berkembang menjadi
agresif dalam dunia offline bagi para pelaku netizen. Kondisi tersebut yang
kemudian memicu ada konflik baik itu sifatnya laten maupun manifes dalam
dunia nyata. Dalam ruang publik dunia maya berbagai macam informasi dapat
dikategorisasikan dalam berbagai jenis baik itu hoax, real-time, incidental, maupun juga yang sifatnya edukatif.
Kendati demikian, secara sosiologis netizen lebih menyukai tipe informasi
yang sifatnya real-time juga incidental daripada yang sifatnya
edukatif.
Hal ini
karena rasionalitas pengetahuan yang dibangun oleh kelas menengah Indonesia
saat ini lebih cenderung pada pola pengakuan dan pelemahan identitas pribadi
dan kolektif. Identitas tersebut bisa dilihat secara lahiriah by ascribed maupun prestasi (by achieved). Netizen melalui ruang
publik dunia maya berusaha untuk saling memengaruhi satu sama lain seraya
menghakimi identitas lain agar mendapatkan kekuasaan baik itu dalam dunia
online maupun offline.
Tentunya
dengan melihat ada kontestasi identitas dalam ruang publik dunia maya
sekarang ini sudah agak melenceng dari hadirnya demokrasi digital saat ini.
Secara garis besar pemahaman demokrasi digital sendiri memadukan antara
konsep demokrasi perwakilan dan demokrasi partisipatif melalui pertukaran
informasi elektronik di dalam dunia internet (Andriadi, 2016). Pada dasarnya,
ide dasar demokrasi digital adalah memberikan ruang sebesar- besarnya bagi
setiap entitas netizen untuk sama-sama mendapatkan ruang afirmasi satu sama
lain.
Demokrasi
digital sebenarnya ruang alternatif yang meniadakan aspek mayoritas-
minoritas yang terjadi di dunia offline untuk mendapat pengakuan di dunia
online. Karena itulah, secara normatif kelompok minoritas sebenarnya
mendapatkan peluang penting dalam demokrasi digital ini untuk mendapatkan
pengakuan penting dari sesama pelaku netizen di dunia maya. Namun, justru
dalam kasus Indonesia, ruang publik di dunia maya kini menjadi ajang penting
untuk menggalang massa dan opini.
Dalam
hal ini, konteks ”benar/salah” maupun ”hitam/ putih” menjadi kabur satu sama
lain karena semua tergantung seberapa massa yang didapat dan kekuatan pemaksa
yang dilakukan untuk menekan pada pihak lain. Kondisi tersebut berpengaruh
pada saluran diskusi dan interaksi yang sebelumnya ditekan dalam demokrasi
digital, malah justru tidak terjadi dalam kasus Indonesia. Polarisasi opini
dalam netizen kelas menengah di dunia offline berimplikasi lurus dengan
terbentuknya masyarakat yang terfragmentasi dalam komunikasi dan interaksi
sosial.
Polarisasi
tersebut memicu ada kebangkitan masalah sentimen identitas– yang sebenarnya
itu merupakan masalah privat–, namun kemudian berkembang menjadi masalah
publik. Dalam pengalaman Indonesia, ruang media sosial berkembang menjadi
arena publisitas sentimen identitas yang lebih mengarah pada isu primordial
berbasis SARA daripada material. Hal ini karena secara psikologis, ruang
interaksi masyarakat netizen masih berupaya mencari persamaan komunikasi
berbasiskan pada kesamaan identitas.
Kelas
menengah Indonesia dapat melakukan pengelompokan ( social grouping) di dunia
offline dengan terlebih dahulu melakukan pembilahan sosial ( social sorting)
dunia online.Hal tersebut untuk memastikan, melegitimasi, dan menguatkan
bahwa terjadi pembentukan kepentingan yang sama berdasarkan identitas
tersebut. Implikasinya bisa kita simak pada pola interaksi dan diskusi kelas
menengah netizen di dalam dunia maya dan dunia nyata yang kini justru
menciptakan kelompok lovers dan haters dalam ruang diskusi multilateral.
Beragam
isu kemudian dibahas dengan dibumbui masalah SARA yang pada akhirnya
menciptakan pola relasi yang tidak seimbang satu sama lainnya. Pada akhirnya
kemudian polarisasi opini berkembang menjadi fragmentasi, dan besar
kemungkinan akan menciptakan ada segregasi bangsa karena pembilahan pendapat
yang cukup sengit di dunia maya.
Tentunya
kita tidak ingin ini menjadi kenyataan apabila segregasi bahkan disintegrasi
terjadi hanya karena masalah polarisasi opini di ruang maya berlarut- larut
tanpa penyelesaian. Ke depan perlu ada mekanisme rambu-rambu tersendiri yang
menegaskan ada pengaturan komunikasi netizen di dunia maya tersebut agar
tidak berdampak signifikan di dunia nyata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar