Castro
Dinna Wisnu ; Pengamat
Hubungan Internasional;
Co-founder Paramadina Graduate
School of Diplomacy
|
KORAN SINDO, 30 November
2016
Pada
akhir masa hidupnya, Fidel Castro—mantan presiden Kuba yang baru saja
berpulang, masih menggugah dunia untuk memperdebatkan tentang apakah ia dapat
disebut sebagai pejuang pembebasan atau seorang diktator.
Di satu
sisi, Fidel Castro membatasi hak-hak kebebasan sipil seperti kebebasan
berbicara atau mengorganisir diri dalam organisasi politik, namun di sisi
lain ia telah membawa Kuba unggul dalam bidang pendidikan dan kesehatan.
Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau menggambarkan Fidel Castro sebagai tokoh
revolusioner dan orator legendaris yang “memberi perbaikan signifikan pada
pendidikan dan kesehatan di negerinya”.
Pernyataan
Justin Trudeau tersebut kemudian dikritik oleh Maxime Bernie, lawan
politiknya yang menyatakan bahwa seharusnya Trudeau menggambarkan Fidel
Castro sebagai “diktator brutal yang membunuh dan memenjarakan begitu banyak
orang Kuba, sementara sisa warganya dibiarkan miskin karena ideologi
komunisnya yang ngawur”. Karena komentarnya itu, Justin Trudeau dikabarkan
mengalami tekanan politik yang dikhawatirkan merusak citranya sebagai tokoh
liberal.
Amnesty
Internasional, sebuah organisasi pemantau hak asasi manusia (HAM), juga
mengakui bahwa di bawah kepemimpinan Castro, masyarakat Kuba telah terbebas
dari buta huruf. Kuba juga memiliki sistem kesehatan yang telah membuat angka
harapan hidup penduduknya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara
Amerika Latin lain. Namun demikian, pelanggaran HAM dan penangkapan para
aktivis politik yang menentang otoritas dan kekuasaannya membuat Fidel Castro
dapat dikategorikan sebagai diktator.
Alih-alih
menyebutnya sebagai diktator atau tokoh pembebasan, PM Justin Trudeau dan
Amnesty Internasional menyebut Fidel Castro sebagai “polarizing figure“ atau
dalam terjemahan kasarnya adalah seseorang yang di satu sisi kontroversial,
memicu perdebatan dan pembelahan di masyarakat namun di sisi lain menarik perhatian
dan populer. Beberapa media massa pernah menyematkan istilah tersebut kepada
tokoh seperti Margaret Thatcher, Dick Cheney, atau Bill Clinton. Istilah ini
biasanya muncul dalam polling atau survei terkait dengan hubungan antara
popularitas dan elektabilitas dalam pemilihan umum.
Namun demikian,
bagi tokoh-tokoh pergerakan yang pernah bekerja sama atau dibantu oleh Kuba,
seperti Nelson Mandela atau Yasser Arafat, Fidel Castro bukanlah sekadar
tokoh yang kontroversial. Namun, Castro memang seorang yang tulus membantu
masyarakat lain yang sedang terjajah. Contohnya, satu tahun setelah Mandela
dibebaskan dari penjara yang telah ditinggalinya selama 27 tahun, ia ke Kuba
untuk mengunjungi Fidel Castro pada 1991.
Sebelum
kedua pemimpin itu memulai pembicaraan, Mandela mendahuluinya dengan
pertanyaan tajam yang bernada kekecewaan. Ia berdiri berhadapan dengan Castro
yang duduk di sofa dan bertanya dengan nada yang tinggi kapan Fidel Castro
akan mengunjungi Afrika Selatan? Mandela mengatakan bahwa seluruh pemimpin
dari seluruh penjuru dunia sudah datang mengunjunginya (setelahia
dibebaskan), namun teman kami, Kuba, yang telah melatih masyarakat Afrika
Selatan dan mendistribusikan sumber daya dalam perjuangan, belum sekalipun
mengunjungi Afrika Selatan.
Kapan,
kapan Anda mau datang? Pertanyaan tersebut menunjukkan arti penting Kuba
dalam perjuangan masyarakat Afrika Selatan dalam membebaskan diri dari
politik Apartheid yang memarjinalisasi masyarakat kulit hitam. Banyak negara
yang dulunya diam atau membantu langsung rezim kulit putih di Afrika Selatan
menindas masyarakat kulit hitam tiba-tiba berubah menjadi teman baik Mandela
ketika ia bebas.
Negara-negara
seperti Israel, Inggris, dan Prancis, termasuk Amerika Serikat (AS) yang
menyediakan informasi intelijen CIA kepada rezim kulit putih Afrika Selatan
untuk menangkap Mandela, tampak muncul sebagai “pembebas” masyarakat Afrika
Selatan. Namun, Mandela ternyata lebih terkesan kepada Kuba yang hadir ketika
perjuangan masyarakat Afrika Selatan mengalami masa-masa susah dan bukan pada
saat senang.
Tidak
banyak pemimpin negara, terutama dari negara maju, yang menyukai Fidel
Castro. Beberapa pendapat menilai Fidel Castro sebagai seorang diktator yang
memerintah dengan tangan besi, terutama dalam memberangus kebebasan sipil. Di
tangan Castro, beberapa kelompok penentangnya memang ditangkap dan dipenjara.
Elizardo Sanchez, kepala Komisi Independen HAM Kuba (the Independent Cuban Commission on Human Rights and National
Reconciliation) menyebut ada 167 tahanan politik pada 2010.
Sebanyak
53 orang di antaranya dibebaskan pada 2015 sebagai bagian dari paket
normalisasi hubungan dengan AS. Donald Trump, presiden terpilih AS, telah
mengancam melalui Twitter: Bila Kuba tidak bersedia memberi kesepakatan yang
lebih baik bagi rakyat Kuba maka segenap rakyat Amerika dan Amerika keturunan
Kuba akan membatalkan perjanjian (kerja sama) yang ada (antara Kuba dengan
AS).
Reince
Priebus, kepala Dewan Pimpinan Nasional Partai Republikan yang ditunjuk Trump
sebagai calon kepala staf Gedung Putih, mengatakan bahwa perubahan
yangharusterjadidiKubaadalah penghapusan model represif dalam politik,
kebebasan pasar, kebebasan beragama, dan pembebasan tahanan politik. The Heritage Foundation yang membuat
Indeks Kebebasan Ekonomi tahun 2016 menempatkan Kuba sebagai negara paling
tertindas ekonominya dibandingkan dengan negaranegara lain.
Kuba
mendapat nilai 29,8% di bawah rata-rata negara-negara Amerika Latin sebesar
59,9%. Kebebasan ekonomi di Kuba bahkan lebih rendah dari kebebasan ekonomi
rata-rata dunia sebesar 60,7%. GDP Kuba hanya USD6.789 dan berada di bawah
rata-rata GDP negara-negara Amerika Latin sebesar USD10.227 di tahun 2013.
Kritik menyasar kepada sistem sosialisme Kuba dalam perekonomiannya.
Ekonomi
pasar dibatasi sehingga tidak ada kreativitas dan kegiatan ekonomi lain
selain pertanian, perkebunan, dan pariwisata. Negara memiliki banyak beban
karena harus menggaji tidak hanya pegawai negeri dan tentara, tetapi juga
pekerjaan lain seperti dokter, perawat hingga tukang bangunan. Beberapa sektor
sudah diliberalisasi (khususnya yang terkait dengan pariwisata seperti
pemandu wisata, hotel, sopir taksi) untuk menyerap dolar dari turis yang
datang.
Namun,
hal ini justru menimbulkan persoalan baru karena mereka yang menerima gaji
dolar lebih tinggi kesejahteraannya daripada yang tidak. Dari semua variabel,
khususnya kebebasan hak sipil, yang digunakan untuk menggolongkan Fidel
Castro sebagai diktator, pencapaian di bidang pendidikan dan kesehatan adalah
kenyataan yang sebetulnya bertolak belakang dari sejarah para diktator di
dunia ini.
Mereka
yang menolak Fidel Castro menganggap pencapaian pendidikan dan sistem
kesehatan hanya alat untuk melegitimasi kekuasaannya. Castro harus mewujudkan
itu karena bila tidak maka ia akan kehilangan popularitasnya. Pada
kenyataannya, pendidikan dan sistem kesehatan bukanlah “sekadar” program.
Apabila Castro memang memiliki ambisi berkuasa maka ia tentu tidak ingin
warganya menjadi terdidik.
Dalam
sejarah pembebasan dari penjajahan, pendidikan adalah alat untuk melawan
kolonialisme sehingga kebodohan enggan diberantas demi melanggengkan
kekuasaan. PBB mencatat bahwa Kuba adalah yang terbaik dalam hal investasi di
bidang pendidikan. Dengan 13% alokasi pendapatan negara untuk pendidikan,
UNESCO mengatakan bahwa Kuba mengalokasikan jauh lebih banyak anggaran untuk
pendidikan dibandingkan Amerika Serikat (2%) atau Inggris (4%).
Besarnya
alokasi anggaran salah satunya karena pemerintah Kuba memberi subsidi 100%
agar seluruh warga bisa bersekolah gratis hingga universitas. Hal ini kontras
perbedaannya dengan negara diktator lain seperti Korea Utara di mana sekolah
adalah eksklusif bagi kalangan tertentu dan para lulusannya sepenuhnya
bekerja untuk rezim berkuasa. Di Kuba, tidak hanya perempuan boleh
bersekolah, tingkat capaian nilai matematika dan bahasa dari Kuba menurut
UNESCO terbilang di atas rata-rata lulusan di Amerika Tengah dan Amerika
Selatan.
Bank
Dunia dalam laporan 2014 bahkan mengakui bahwa sistem pendidikan di Kuba
adalah yang terbaik di Amerika Latin dan Karibia karena para dosennya yang
berkualitas tinggi. Tak heran jika Kuba mencetak para ahli yang mengabdi ke
seluruh dunia seperti dokter dengan reputasi sangat baik. Dengan mutu
manusianya, Kuba kemudian rajin mengirim dokter-dokternya untuk membantu kegiatan
kemanusiaan di berbagai negara yang kesusahan seperti saat wabah ebola di
Sierra Leone.
Dalam
hal layanan kesehatan, rakyat Kuba boleh gembira karena pemerintah memberi
akses gratis air minum yang aman dan sanitasi. Kematian Castro adalah pengingat
bagi negara-negara berkembang tentang makna solidaritas yang melebihi sekadar
kerja sama perdagangan.
Pada
saat Castro menyejahterakan warganya lewat pendidikan dan kesehatan, ia tidak
hanya memikirkan Kuba yang sejahtera dan bisa bersaing dengan negara yang
ideologinya bertentangan dengan Kuba, tetapi ia juga memikirkan negara-negara
lain yang masih menderita. Kuba bersedia memberi dengan cuma-cuma.
Nilai-nilai inilah yang terasa minim hari ini dan mungkin dengan kepergian
Castro kita diingatkan kembali akan pentingnya solidaritas macam itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar