Moratorium
Ujian Nasional
Darmaningtyas ; Pengamat
Pendidikan
|
TEMPO.CO, 06 Desember 2016
Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengusulkan perlunya moratorium ujian
nasional (UN) dengan sejumlah alasan. Pertama, mutu pendidikan belum merata.
Baru 30 persen sekolah yang sudah mencapai standar nasional pendidikan (SNP),
sedangkan yang 70 persen belum memenuhi SNP, sehingga lebih baik meningkatkan
kualitas mereka. Kedua, terkait dengan pelimpahan kewenangan pengelolaan pendidikan
dasar di kabupaten/kota, serta SMA/SMK ke pemerintah provinsi. Ketiga,
besarnya dana yang diperlukan untuk penyelenggaraan UN, yang mencapai Rp 500
miliar per tahun.
Bagi penulis,
wacana tentang moratorium UN tersebut merupakan kabar gembira, karena itulah
yang selama satu dekade lebih penulis perjuangkan melalui berbagai tulisan
dan forum. Perjuangan pertama agar ujian nasional tidak menjadi penentu
kelulusan telah berakhir dua tahun lalu ketika Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Anies Baswedan menghapus fungsi UN sebagai penentu kelulusan dan
hanya menjadikan UN sebagai sarana pemetaan kualitas. Keputusan Menteri Anies
itu mampu meredam kehebohan di masyarakat yang selalu muncul menjelang
pelaksanaan UN.
Moratorium ujian
nasional yang diwacanakan oleh Menteri Muhadjir ini lebih radikal lagi,
karena tak hanya menyederhanakan fungsi UN sebagai pemetaan kualitas, tapi
juga menghentikan sementara pelaksanaan UN sampai terpenuhinya delapan SNP
sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional. Delapan SNP
tersebut mencakup standar kompetensi kelulusan, standar isi, standar proses,
standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar prasarana dan sarana,
standar pengelolaan, standar pembiayaan pendidikan, serta standar penilaian.
Pelaksanaan ujian diserahkan ke daerah sesuai dengan kewenangannya. Tingkat
SD-SMP diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota dan SMA/SMK diserahkan
kepada pemerintah provinsi. Ini sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
Pelaksanaan UN
selama ini memang ironis karena tujuh standar nasional pendidikan lainnya,
yang menjadi penopang utama kualitas pendidikan, belum terpenuhi, tapi
standardisasi penilaian melalui UN sudah dilakukan. Semestinya standar
penilaian itu diterapkan terakhir ketika tujuh SNP lainnya sudah terpenuhi,
terutama prasarana dan sarana serta tenaga pendidik (guru), mengingat sampai
saat ini masih banyak sekolah yang gedungnya reyot dan tidak memiliki
fasilitas lain, seperti laboratorium, perpustakaan, serta ruang guru.
Distribusi guru juga tidak merata, menumpuk di kota.
Kita tidak perlu
jauh-jauh mengambil contoh. Di wilayah sekitar Jakarta saja ada contoh yang
menyedihkan. Sebanyak 62 sekolah dasar negeri di sebuah kecamatan di
Kabupaten Bogor, misalnya, rata-rata hanya memiliki 2-3 guru yang berstatus
pegawai negeri sipil, termasuk kepala sekolah. Akhirnya, proses pembelajaran
dicukupi oleh guru honorer. Tapi gaji guru honorer hanya Rp 450 ribu sehingga
tidak layak dan tak mampu memberikan insentif kepada guru untuk bertugas
lebih giat lagi. Pada 2020 nanti diperkirakan terjadi darurat guru pegawai
negeri karena guru-guru senior sudah pensiun, sementara pengangkatan guru
pegawai negeri baru satu tahun dalam satu kabupaten hanya 50 orang.
Persoalan yang
dihadapi oleh Kabupaten Bogor itu merupakan representasi dari persoalan
nasional. Distribusi guru tidak merata karena mayoritas guru menumpuk di
kota-kota besar, sehingga daerah pinggiran kekurangan guru. Padahal guru
merupakan kunci utama keberhasilan pendidikan. Kalau guru tidak tersedia,
proses pendidikan tidak dapat berjalan. Wajar bila kemudian, setelah 14 tahun
kebijakan UN diterapkan, kesenjangan pendidikan itu tidak teratasi dan hanya
30 persen sekolah yang mampu memenuhi standar nasional pendidikan.
Moratorium UN yang
akan dilakukan oleh Menteri Muhadjir ini dapat menjadi momentum yang bagus
untuk membenahi delapan standar nasional pendidikan. Lalu, bagaimana proses
seleksi penerimaan murid baru bila tidak ada UN?
Jawabanya
sederhana saja. Sesuai dengan kewenangannya, seleksi penerimaan murid baru di
SD-SMP itu menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota dan penerimaan murid
baru di SMA/SMK menjadi kewenangan pemerintah provinsi. Jadi, penerimaan
murid dapat berdasarkan hasil ujian yang diselenggarakan oleh pemerintah
daerah tersebut.
Jadi, moratorium
ujian nasional itu sama sekali tidak akan menyulitkan proses penerimaan murid
baru pada masing-masing jenjang. Keuntungan dari moratorium UN ini adalah
penghematan anggaran Rp 500 miliar setiap tahun yang selama ini dipakai untuk
UN, yang nanti dapat dipergunakan untuk perbaikan infrastruktur pendidikan
maupun peningkatan kuantitas dan kualitas guru. Kelak, setelah 70 persen
sekolah di Indonesia memenuhi standar nasional pendidikan, moratorium bisa dicabut
dan UN dilaksanakan lagi. Khusus SMK tidak perlu UN karena kompetensi mereka
ditentukan oleh pasar. Sia-sia saja mereka mengikuti ujian nasional, tapi
nilai UN itu tidak diperlukan pasar tenaga kerja. Yang diperlukan adalah
kompetensi yang dimilikinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar