Antara
Politik Islam dan Islam Politik
Rachman Wellmina ; Mahasiswa
Pasca Sarjana Filsafat Islam;
Pegiat di Rumi Institute Jakarta
|
TEMPO.CO, 07 Desember 2016
Sebuah bangsa
dibangun dengan hati penyair
Namun hancur
ditangan politikus
(Dr. Mohammad Iqbal)
Dalam petikan
sajak Iqbal, filsuf-penyair Pakistan tersebut menyelipkan pesan sinis
terhadap politikus berkaitan nasib keberadaan sebuah bangsa. Sebaliknya Iqbal
memuji peran penyair bagi keberadaan dan kelangsungan hidup sebuah bangsa.
Mungkin karena Iqbal juga seorang penyair, maka wajar jika dia memuji
kelompoknya. Namun kita tidak bisa serta merta berpikir demikian, mengingat
Iqbal juga seorang aktivis politik. Berdirinya Pakistan, tak lepas dari
upaya-upaya kerja keras perjuangan politik dan curahan pemikiran filosofis
Iqbal. Maka tak mengherankan jika beliau digelari sebagai Bapak Spiritual
Pakistan. Besarnya pengaruh dari puisi-puisi Iqbal tak hanya di India, tanah
kelahirannya, namun juga menembus batas-batas negerinya. Para pejuang
revolusi Iran yang terlibat dalam revolusi 1979 saat menggulingkan kekuasaan
monarkhi Syah Reza Pahlevi, misalnya dalam diri Dr ‘Ali Syariati, Muthahari
dan Ali Khamenei, mereka termasuk para pemikir Iran yang terinspirasi oleh
puisi-puisi Iqbal.
Peranan seorang
penyair bagi pembentukan dan kelangsungan hidup sebuah bangsa tidak hanya
ekslusif dimainkan oleh Iqbal saja. Negeri ini pun memiliki kisahnya sendiri.
Jika kita tengok sejarah negeri ini, kita juga memiliki Chairil Anwar, yang
sajak sajaknya menginspirasi kaum pergerakan di revolusi kebangsaan.
Sajak-sajak Chairil mampu mengobarkan semangat anak bangsa untuk bangkit
memperjuangkan dan mengisi kemerdekaan. Alhasil, kita dapat mengatakan
penyair bukan hanya soal bergelut mengolah kata semata, namun juga soal
menyuntikkan makna bagi segenap pembacanya agar bergerak mengubah keadaan.
Menimbang
Pandangan Iqbal
Bapak Spiritual
Pakistan, sekaligus filsuf penyair yang paling berpengaruh di abad 19, Dr
Mohammad Iqbal, secara jernih membedakan antara “Politik Islam” dengan “Islam
Politik”. Politik Islam adalah bagaimana nilai-nilai Islam dapat ditegakkan
dalam kehidupan dengan berporos pada keadilan. Ini artinya perjuangan politik
Islam tidak selalu harus berbentuk partai politik. Karena upaya mewujudkan
terciptanya nilai-nilai Islam dalam konteks kehidupan berbangsa, dapat
dilakukan di segenap lini kehidupan. Dengan konsepsi seperti yang diajukan
Iqbal, maka kita menjadi lebih bisa memahami saat seorang pemikir muslim,
Muhammad Abduh mengatakan, saya melihat Islam di Barat, tapi tak melihat
muslim. Sedangkan di Timur saya melihat muslim, namun saya tak melihat Islam.
Artinya Islam sebagai sebuah nilai, seperti keadilan, pembelaan kepada kaum
tertindas (mustadh’afien), menghargai akal-keberpikiran dan mendorong
berkembangnya ilmu pengetahuan, sebagaimana banyak dinyatakan oleh Al Quran,
belum tentu dapat terlihat pada sebuah komunitas muslim. Dan demikian pula
sebaliknya, komunitas muslim juga tak serta merta merupakan manifestasi ideal
dari nilai-nilai Islam. Atau dengan kata lain, Islam secara normatif, dimana
nilai-nilainya begitu ideal, belum tentu sama dan selaras dengan Islam secara
historis-sosiologis yang mewujud dalam kehidupan nyata secara sosial budaya
dalam sebuah komunitas bangsa muslim.
Berbeda dengan
Politik Islam yang mengidealkan terciptanya nilai-nilai Islam dalam
kehidupan, Iqbal menjelaskan Islam Politik secara menarik. Menurut Iqbal,
Islam Politik adalah upaya sekelompok orang dengan menggunakan simbol-simbol
Islam untuk kepentingan meraih kekuasaan. Iqbal dengan tegas mengkritik
mereka yang masuk kelompok ini, yang hobi menggunakan simbol-simbol Islam
demi kepentingan pribadinya dan kelompoknya. Tak jarang hal ini akan sangat
merugikan umat Islam secara keseluruhan. Karena seringkali aksi-aksi Islam
Politik bersifat sangat pragmatis dan cenderung terkesan untuk sekedar
memuaskan hasrat untuk berkuasa. Dalam kehidupan nyata, kita tak mudah untuk
membedakan mana Politik Islam dan mana yang Islam Politik. Karena mereka yang
sejatinya pendukung Islam Politik, takkan mungkin mau mengaku demikian.
Sebaliknya mereka pasti akan mengaku sebagai perwujudan par excellence dari
Politik Islam. Namun secara mudahnya, untuk membedakan Politik Islam dan
Islam Politik, kita dapat melihat pada orientasi akhir dari arah perjuangan
gerakan mereka. Mana gerakan yang ujung-ujungnya merupakan ekspresi dari
upaya memuaskan libido kekuasaan, dan mana gerakan yang berorientasi pada
terciptanya keadilan dan membela kaum kecil yang tertindas, terdzalimi dan
terpinggirkan tanpa harus berkuasa.
Senafas dengan
pandangan Iqbal, seorang pemikir modern, Bassam Tibi menguatkan pandangan
Iqbal. Bassam Tibi lewat karyanya yang monumental (Islamism and Islam. 2012)
membedakan antara Islam dan Islamisme. Islam adalah sebuah agama, sebuah
keyakinan religius. Sedangkan Islamisme adalah tafsir politis keagamaan yang
diturunkan dari konstruksi ideologi Islam. Bassam Tibi secara tegas
membedakan antara dua hal ini, antara Islam dan Islamisme. Permasalahan
muncul ketika pandangan kaum Islamis, yang merupakan tafsir politis atas
agama Islam berusaha dibuat sedemikian rupa sehingga nampak sakral dan seolah
menjadi benar secara mutlak. Hal ini tak jarang menimbulkan percikan-percikan
keretakan sosial di dalam tubuh kaum muslim sendiri. Mengingat ekspresi
politik kaum muslim tak pernah sama di sepanjang masa. Selalu ada perbedaan
dan ada gradasi pemaknaan di segenap sendi-sendi ajaran agama dan kehidupan.
Masih menurut Bassam Tibi, para pengusung Islamisme, tentu takkan menerima
begitu saja saat mereka disebut sebagai kaum Islamis. Dan sebagai mekanisme
pertahanan atas tuduhan tersebut, mereka akan mewacanakan Islamophobia.
Mereka berdalih bahwa orang-orang yang anti Islam Politik adalah kaum
Islamophobia, orang-orang yang memiliki ketakutan berlebihan dan tak berdasar
kepada para aktivis Islam.
Mendefinisikan
Ulang Kemenangan
Disadari atau
tidak, perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh persepsinya atas segala
sesuatu. Kepala dua orang boleh sama hitamnya, namun persepsi atas suatu peristiwa
atau suatu hal yang sama, akan sangat berbeda persepsinya, antara orang yang
satu dan orang kedua. Kita hidup di bawah kolong langit yang sama, namun
horizon persepsi kita takkan pernah sama. Hal ini dikarenakan persepsi sangat
bergantung kepada definisi yang kita lekatkan kepada segala sesuatu.
Konsekuensi logisnya dari hal ini adalah, kita tidak melihat dunia
sebagaimana adanya, melainkan kita melihat dunia sebagaimana yang ingin kita
lihat. Contoh konkret dalam hal ini adalah bagaimana pemaknaan atas arti
kemenangan disematkan oleh orang secara berbeda.
Perbedaan ekspresi
keberagamaan antara Politik Islam dan Islam Politik, salah satunya dapat
dilacak pada bagaimana cara mendefinisikan arti dari kemenangan. Sebuah
kemenangan seringkali hanya diukur dari satu aspek empiris : berupa dominasi
dalam pemilu, dan juga dominasi dalam berbagai jabatan publik. Akibatnya
definisi tunggal kemenangan ini menyebabkan umat menjadi gelap mata untuk
dapat meraihnya. Beragama diubah menjadi arena balap pacu untuk meraih
kekuasaan publik.
Salah satu makna
mendasar kemenangan ialah, bagaimana kita agar senantiasa bejalan dan berlaku
sesuai prinsip yang kita yakini sebagai kebenaran. Ketika seseorang menjalani
dan bersikap sesuai dengan tuntunan nilai-nilai yang dia yakini, maka itulah
kemenanga yang hakiki baginya. Tak peduli dalam dunia nyata dia terlihat
kalah dalam kontestasi empiris, namun dia tetap berpegang pada kesucian
prinsip-prinsip yang diyakininya sebagai kebenaran. Sayangnya, kebanyakan
orang justru menggadaikan nilai-nilai prinsip yang diyakininya, semata-mata
agar dapat meraih kemenangan secara empiris dan diakui publik. Kemenangan
yang demikian ini, sesungguhnya merupakan kemenangan yang semu. Untuk apa
meraih kemenangan jika dia harus kehilangan dirinya dan jati dirinya.
Kehilangan harga dirinya.
Kemenangan Dalam
Perspektif Mistis – Filosofis
Dalam perspektif
mistis-filosofis, manusia bukan sekedar sebentuk makhluk darah dan daging
semata. Namun juga meliputi ‘aql, ruh dan jiwa. Manusia merupakan makhluk
mikrokosmos, tetapi di dalamnya sekaligus terkandung makrokosmos, seluruh
alam semesta. Dalam diri manusia terdapat kerajaan-kerajaan batin yang sangat
luas. Lengkap dengan ribuan atau mungkin jutaan tentaranya berupa pikiran,
khayalan, imajinasi dan juga berbagai hasrat lainnya. Jika manusia menyadari
akan besarnya kerajaan di dalam dirinya, mungkin dia akan mampu menginsyafi
betapa kekuasaan tak selalu berkonotasi pada kekuasaan jabatan publik.
Kekuasaan manusia terhadap kerajaan dirinya jauh lebih penting untuk
diperhatikan. Syeikh Akbar Ibn ‘Arabi dalam kitab Tadbirat Al Ilahiyyah,
secara panjang lebar mengingatkan kita akan kerajaan yang ada di dalam diri
manusia. Dan kemengan sejati bagi kita, manakala kita mampu dengan baik
mengelola kerajaan yang ada di dalam diri kita.
Dengan bahasa yang
agak lain, dalam kata-kata Maulana Jalaluddin Rumi juga mengingatkan kita
akan makna kemenangan sejati. Kata Rumi, “Raja sejati bukanlah dia yang
pikirannya menguasai dunia. Melainkan dia yang mampu menguasai pikiran-pikirannya
sendiri”. Jelas sekali Maulana Rumi hendak mengingatkan agar manusia
hendaknya tidak lupa untuk menjaga dengan baik kerajaan diri. Dan yang
demikian, baik yang disampaikan oleh Syeikh Akbar Ibn ‘Arabi maupun oleh
Maulana Rumi, sebenarnya sejalan Sebagaimana firman Al Quran, “Jagalah dirimu
dan keluargamu dari siksa api neraka”. Dalam suatu riwayat dikisahkan
bagaimana Kanjeng Nabi menyambut para Sahabatnya yang baru saja memenangakan
pertempuran. Beliau berkata, “Selamat datang wahai kalian yang baru saja
memenangkan pertempuran kecil. Dan masih harus berjuang dalam pertempuran
besar”. Para Sahabat terkejut dan bertanya, apakah pertempuran besar tersebut
ya Rasululah. Kemudian Kanjeng Nabi menjawab, “Sesungguhnya pertempuran
terbesar adalah jihad melawan diri sendiri”. Betul sekali bahwa jihad melawan
diri kita merupakan jihad yang terbesar. Karena musuh terbesar setiap orang
sesungguhnya adalah masing-masing diri kita sendiri.
Redefinisi arti
kemenangan dalam ber-Islam penting sekali bagi kita semua, guna menengok
kembali cara ber-Islam kita. Dengan bebas memilih definisi kemenangan dalam
berIslam, kita akan dapat melihat apakah kita cenderung kearah Politik Islam,
ataukah sebaliknya cenderung kearah Islam Politik. Sehingga dengan demikian kita
tetap dapat menjadikan Islam sebagai oase spiritualitas dan santapan ruhani
atas kehidupan keseharian kita. Sehingga kita dapat lebih menghayati tujuan
diutusnya Kanjeng Nabi untuk menyempurnakan akhlak. Tiadalah Rasulullah
diutus melainkan untuk menyempurnakan akhlak. BerIslam dengan cara demikian
dengan sendirinya akan penuh kesejukan dan kedamaian bagi jiwa kita dan bagi
lingkungan di sekitar kita. Maka tidak selalu Ber-Islam harus diukur dengan
ukuran tunggal kemenangan kekuasaan dan jabatan politik. Dalam bahasa
puisinya Iqbal, “Hidup politik sejati tidak dimulai dengan klaim atas
hak-hak, melainkan dengan pelaksanaan tugas tugas”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar