Hukum,
Kekuasaan & Korupsi
Denny Indrayana ; Guru
Besar Hukum Tata Negara UGM; Visiting
Professor pada Melbourne Law School dan Faculty of Arts, University of
Melbourne
|
TEMPO.CO, 02 Desember 2016
Bagaimana teori
relasi hukum dan kekuasaan menjelaskan berangnya Presiden Joko Widodo atas
pencatutan namanya dalam dugaan meminta saham Freeport akhir tahun lalu, dan
dilantiknya Setya Novanto sebagai Ketua DPR (lagi) pada rabu kemarin
(30/11/2016). Itulah catatan kamisan saya kali ini.
Sejak mahasiswa
hingga sekarang, setiap melihat problematika hukum dan kekuasaan, saya selalu
diingatkan pada postulat usang dari Lord Acton, "Power tends to corrupt,
and absolute power corrupts absolutely". Bahwa kekuasaan itu cenderung
korup, dan makin absolut suatu kekuasaan, maka makin cenderung koruplah ia.
Untuk memagari nafsu kuasa yang koruptif itulah dihadirkan hukum. Tentu hukum
yang bermoral. Hukum yang beretika. Hukum yang melahirkan keadilan. Bukan
hukum yang bersalin rupa menjadi komoditas yang diperjualbelikan oleh mafia
peradilan. Bukan pula hukum yang justru dijadikan alat untuk melanggengkan
kekuasaan yang cenderung korup itu sendiri.
Persoalannya,
hukum bukan lahir dari ruang hampa. Hukum-baik tertulis ataupun tidak
tertulis-adalah hasil dialektika yang berkembang di tengah masyarakatnya.
Hukum adalah hasil pertarungan kekuasaan itu sendiri. Maka, di sinilah lahir
dilema terbesar dari fungsi dan tujuan berhukum. Di satu sisi, hukum
ditugaskan untuk mengontrol kekuasaan yang cenderung korup, di sisi lain,
hukum adalah hasil dari pertarungan antar kekuasaan koruptif itu sendiri.
Profesor Moh. Mahfud MD dalam hasil disertasinya yang terkenal merumuskan
hukum adalah produk politik. Lalu bagaimana jika politik sendiri masih
diwarnai dengan perilaku koruptif, mungkinkah kita menggantungkan nasib
keadilan dan peradaban pada produk hukum yang dihasilkan dari perdagangan
kepentingan yang manipulatif?
Karena itu,
menurut saya, pertarungan sebenarnya bukan pada produk hukumnya, tetapi
bagaimana hukum itu dihasilkan. Peperangan terbesarnya adalah merebut agar
warna hukum tidak dilukis oleh para politisi dan pemegang kuasa yang korup.
Pergulatan sebenarnya adalah bagaimana rakyat sebagai pemegang kedaulatan
utama berhasil menempatkan orang-orang baik pada pusat kekuasaan dan pada
episentrum perpolitikan. Karena jika kita salah memilih pemimpin kuasa atau
para tetua partai, maka yakinlah hukum yang mereka diskusikan adalah
komoditas kepentingan elit yang koruptif, dan bukan kebutuhan kawula alit
yang berbicara tentang keadilan yang substantif.
Karena itu, untuk
menghadirkan hukum yang adil, diperlukan konfigurasi politik yang demokratis.
Para elit yang dihasilkan dari sistem pemilu yang bersih, jujur dan adil.
Sistem pemilu yang menghasilkan pemimpin kekuasaan karena rekam jejak dan
integritas-moral serta kapasitas-intelektual, bukan karena modal-finansial,
apalagi melalui praktik nakal politik uang.
Disitulah letak
persoalan berbangsa kita saat ini. Pemilu kita secara prosedural sudah rutin
dilaksanakan setiap lima tahunan. Namun, sudahkah pemilu kita secara
substansial menghadirkan elit politik yang bermoral? Itulah para elit
pemimpin yang menghambakan kepentingan kuasanya demi bangsa dan rakyat.
Itulah para negarawan yang bisa merumuskan hukum yang adil dan, menggunakan
hukum bermoral itu untuk mengekang nafsu koruptif dalam kuasa yang
digenggamnya.
Saya khawatir,
pemilu kita sudah sukses secara prosedural, tetapi gagal secara substansial.
Saya khawatir, pemilu kita sukses secara tahapan rutinitas penyelenggaraan,
tetapi gagal dalam menghilangkan praktik koruptif politik uang-dan karenanya
gagal menghadirkan para pemegang kuasa yang amanah. Akibatnya, relasi hukum
dan kekuasaan kita masih koruptif. Hukum karenanya adalah kalkulasi jual-beli
kepentingan politik semata. Jika menguntungkan secara kalkulasi koalisi,
keadilan diperjuangkan. Jika merugikan dalam hitungan politik, keadilan
digadaikan.
Hukum yang
berkeadilan sebenarnya adalah hitam-putih, hukum yang tidak pernah abu-abu.
Hukum yang berkeadilan adalah hukum yang tegas kepada koruptor, siapapun dia,
apapun posisinya. Hukum yang bermoral adalah yang mengatakan tidak pada mafia
dengan segala bentuknya, sebutlah mafia migas, mafia peradilan, mafia
koruptor, mafia pajak, mafia perikanan dan lain sebagainya.
Maka, seorang
pemimpin yang memperjuangkan hukum yang berkeadilan akan memilih rekan
juangnya, dan menolak lawan tandingnya. Seorang pemegang kuasa yang amanah
akan memilih partai koalisi yang jelas rekam jejak antikorupsinya, sebagai
rekan satu perjuangan-dan menjadikan politisi yang korup sebagai musuh
politiknya.
Untuk hukum yang
berkeadilan, seorang pemimpin yang amanah akan meletakkan orang-orang dengan
integritas tak terbeli dan rekam jejak terbaik untuk posisi-posisi kunci,
sebutlah Kapolri, Jaksa Agung, Menkopolhukam, Menkumham, Kepala BIN, Kepala
BNN, Kepala PPATK, Pimpinan KPK, Pimpinan Mahkamah Konstitusi, Pimpinan
Mahkamah Agung, dan seterusnya. Jika pemimpin itu adalah presiden, sebagai
orang terkuat di republik, maka beberapa posisi itu berada dalam lingkup hak
prerogatifnya untuk menentukan. Beberapa lagi memang tidak bisa ditentukannya
sendiri, tetapi dalam wilayah yang tetap bisa dipengaruhinya.
Maka, ambillah
satu contoh. Upaya memberantas mafia migas. Di antara banyak pertarungan hukum
dan kekuasaan, inilah salah satu yang paling rumit. Inilah mafioso yang
paling banyak dedemitnya, paling berlimpah godaan duitnya. Siapapun yang
mendapat amanah untuk membenahi sektor migas, dan mencoba untuk memberantas
praktik gangster di dalamnya, akan berhadapan dengan peperangan relasi hukum
dan kuasa yang maha dahsyat. Pada konteks itu selalu penting untuk melihat
siapa yang diangkat Presiden menjadi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM), salah satu posisi yang menentukan hidup-matinya mafia migas.
Bagaimana presiden
mengangkat, memberhentikan dan mencari pengganti sosok Menteri ESDM akan
menunjukkan ke arah mana kecenderungan sang pemimpin untuk memegang amanah.
Apakah kepada pemberantasan mafia migas, ataukah tunduk patuh pada relasi kekuasaan dan hukum yang
cenderung koruptif.
Dalam kompleksitas
pemberantasan mafia migas itulah kita bisamelihat dengan kasat mata
pertarungan hukum yang berkeadilan dan kekuasaan yang koruptif. Salah satu
pemimpin sektor migas di pemerintahan mengatakan, dalam dua tahun terakhir
dia harus menyesuaikan diri lagi (dan lagi) karena pimpinan di Kementerian
ESDM telah berganti empat kali. Sudirman Said tidak genap dua tahun membenahi
kementerian; Arcandra Tahar hanya menjabat dua puluh hari; Menko Maritim Luhut
Pandjaitan sempat menjabat dua menteri-termasuk Plt Menteri ESDM; dan
Ignasius Jonan kembali mencatatkan menteri keduanya sebagai Menteri ESDM,
setelah kali pertamanya diberhentikan sebagai Menteri Perhubungan.
Datang-pergi-dan-kembalinya
para Menteri ESDM itu bukan soal pergantian anggota kabinet biasa. Itulah
pertarungan hukum berkadilan melawan para kuasa mafia migas. Wilayah
pertarungan bukan hanya di eksekutif, namun juga merambah ke legislatif
dengan berbagai riuh rendah sidang Mahkamah Kehormatan Dewan, yang sempat
berujung dengan mundurnya Setya Novanto pada akhir tahun lalu, hingga
dilantiknya kembali ia menjadi Ketua DPR kemarin (30/11/2016). Pertarungan
juga masuk di wilayah yudikatif dengan pemeriksaan perkara di Kejaksaan
Agung, yang tidak menghasilkan satu tersangkapun, dan gagalnya menghadirkan
Mohammad Riza Chalid meskipun telah dipanggil berkali-kali oleh aparat
kejaksaan. Serta, jangan lupa, pertarungan di level uji konstitusionalitas di
Mahkamah Konstitusi yang berujung putusan mengharamkan rekaman "papa
minta saham" sebagai alat bukti.
Ujung dari
pertarungan hukum berkeadilan dan para kuasa mafia migas itu sudah mulai
jelas terlihat. Sudirman Said tidak lagi Menteri ESDM, Setya Novanto merebut
Ketua Umum Golkar, sempat mundur dan kembali menjabat Ketua DPR, Riza Chalid
mungkinkah akan dipanggil lagi oleh kejaksaan-kali ini secara paksa? Jangan
lupa, mantan KSAU Chappy Happy bintang empat Marsekal Utama, menggantikan
Maroef Sjamsoeddin yang hanya bintang dua Marsekal Muda sebagai Presiden
Direktur PT Freeport Indonesia.
Last but not least, dilema relasi hukum dan kekuasaan ada pada Presiden,
yang konon kabarnya sempat menggebrak meja dan berucap "Ora sudi!",
karena berang namanya dicatut sang peminta saham. Mungkin, meja istana yang
digebrak presiden berbeda dengan meja istana ketika beliau mengundang makan
siang Setya Novanto, yang sekarang Ketua DPR (lagi), Ketum Golkar dan
pengusung Jokowi sebagai calon presiden 2019.
Relasi hukum dan
kekuasaan memang tidak mudah untuk diarahkan menghadirkan keadilan.
Sebagaimana hapalan saya atas rumus Lord Acton di atas, hukum-sayangnya-lebih
sering digoda untuk menjadi pelindung kekuasaan yang cenderung korup.
Keep on fighting for the
better Indonesia.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar