Sabtu, 17 Desember 2016

Menyidang Ahok dan Menimbang Amok

Menyidang Ahok dan Menimbang Amok
Denny Indrayana  ;   Guru Besar Hukum Tata Negara UGM;  Visiting Professor
pada Melbourne Law School dan Faculty of Arts, University of Melbourne
                                               KOMPAS.COM, 15 Desember 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kasus Ahok dan problematika hukum di sekitarnya tetap menjadi isu yang menarik untuk dikaji dan ditulis. Karena itulah, catatan Kamisan saya kembali mengulas soal Ahok, dan persoalan hukum di sekitarnya.

Namun, menulis soal Ahok—utamanya akhir-akhir ini—bukanlah persoalan mudah.

Sekeras apa pun kita berusaha untuk menulis secara obyektif, berdasarkan ilmu hukum yang saya pelajari, tetap saja hasil tulisan itu akan dilihat secara subyektif berdasarkan sudut pandang masing-masing pendukung ataupun penentang Ahok.

Mau tidak mau, situasi kompetisi Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tetap menyeruak dalam alam pikir para pembaca, sehingga memaknai narasi yang saya tuliskan dalam suasana hatinya masing-masing.

Bagi saya, hal demikian wajar dan tidak bisa dihindari. Jadi, saya pasrahkan saja kepada sidang pembaca untuk menilai dan menyikapi catatan ini.

Hal yang pasti dari sisi saya, catatan Kamisan ini tetap saya tuliskan seobyektif mungkin tanpa pretensi untuk mendukung atau menjadi alat kampanye pihak mana pun.

Namun, bukan berarti tulisan ini tidak punya nilai keberpihakan. Bersikap obyektif bukan berarti tidak memihak.

Bersikap obyektif berarti menyampaikan pemikiran berdasarkan keilmuan, profesional, rasional, bukan berdasarkan keberpihakan emosional apalagi partisan—terlebih karena bayaran.

Namun, jika sikap obyektif itu menguntungkan posisi salah satu pihak, bukan berarti itu sikap partisan yang diharamkan.

Menurut saya, justru itu adalah keberpihakan profesional yang wajib dihalalkan.

Dengan pengantar demikian, izinkan saya mengklarifikasi dua hal. Pertama, menegaskan kepada pendukung atau pun penentang Ahok bahwa tulisan ini adalah sumbangsih pemikiran saya atas persoalan hukum di sekitar kasus Ahok.

Hal yang pasti, saya pribadi bukanlah pendukung Ahok, khususnya dalam kontestasi Pilkada DKI Jakarta.

Kebetulan pula saya sedang di Melbourne, Australia, sehingga tidak ikut memilih gubernur Jakarta pada Februari yang akan datang.

Kenapa saya perlu menegaskan posisi itu? Karena menurut saya, banyak faktor yang berkelindan dalam kasus penodaan agama Ahok, termasuk salah satunya adalah kompetisi pada Pilkada DKI Jakarta 2017.

Dengan menegaskan bahwa saya bukan pendukung Ahok dalam kompetisi tersebut, saya berharap agar pandangan saya dalam catatan ini bisa dibaca dengan kacamata lebih obyektif—meskipun saya paham, hal demikian tidaklah mudah.

Dari beberapa kali berkomunikasi dengan pendukung dan penentang Ahok, masing-masing sudah punya penyikapan sendiri dan sulit menerima pandangan yang berbeda.

Padahal, perbedaan adalah keniscayaan dan bagaimana menemukan persamaan adalah kunci solusi untuk menyelesaikan pertikaian.

Klarifikasi kedua, adalah soal judul catatan Kamisan kali ini, “Menyidang Ahok dan Menimbang Amok”. Saya memilih judul itu dengan berbagai pertimbangan.

Di samping enak dibaca, judul itu sebenarnya ingin menunjukkan inti dilema hukum dalam tulisan ini, yaitu pertarungan antara prinsip independensi peradilan di satu sisi, dengan urgensi intervensi pada sisi yang lain.

Posisi dilematis demikian hadir dalam banyak kasus dan dalam kasus Ahok kadar dilematisnya menjadi jauh lebih besar.

Selanjutnya, kata "Ahok" dan "Amok" juga menyimpan makna lebih dalam. Pada batas tertentu, kata "Ahok" menjadi ciri khas Indonesia, karena dia adalah alias dari nama Indonesia Basuki Tjahaja Purnama.

Saudara-saudara kita yang beretnis Tionghoa, berdasarkan Pasal 5 Keputusan Presiden Nomor 240 Tahun 1967 tentang Kebijaksanaan yang Menyangkut Warga Negara Indonesia Keturunan Asing, dianjurkan mengganti namanya dengan nama Indonesia.

Meskipun hanya merupakan anjuran, aturan hukum itu dirasakan menjadi wajib. Saya berpandangan, sikap diskriminatif demikian ada baiknya kita hentikan.

Setiap orang harus diberikan kebebasan untuk memilih nama sesuai adat dan kebiasaan, agama atau pun asal-usul keluarganya. Mari kita hentikan kebijakan rasis dalam bentuk apa pun.

Kata "Amok", adalah kata khas dari bahasa Indonesia yang diadopsi ke dalam Bahasa Inggris, untuk menggambarkan aksi kumpulan masa yang destruktif.

Perlu saya tegaskan—agar tidak disalahpahami—kata "Amok" ini dijadikan judul sama sekali bukan untuk menggambarkan “Aksi Bela Islam”, khususnya pada 2 Desember, yang sangat damai, tetapi sekali lagi untuk menggambarkan dilema penegakan hukum yang tidak jarang muncul antara independensi peradilan dengan urgensi intervensi—antara Ahok yang sidangnya harus independen, dengan urgensi intervensi tentu tanpa menghadirkan Amok.

Adalah suatu prinsip hukum dasar bahwa setiap proses peradilan harus independen. Tanpa independensi, penegakan hukum tidak akan pernah hidup.

Independensi peradilan (independence of judiciary) adalah prinsip hukum dasar yang diterima secara universal sebagai syarat utama proses hukum berujung putusan yang adil.

Di tanah air, prinsip itu ditegaskan dalam Pasal 24 UUD 1945 yang mengatur, “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.

Pilihan kata “merdeka” menunjukkan bagaimana pentingnya makna independensi peradilan itu.

Itulah sekali-sekalinya, satu-satunya, kata “merdeka” muncul dalam konstitusi kita, untuk menegaskan arti pentingnya pengaturan prinsip independensi kekuasaan kehakiman.

Saking pentingnya prinsip independensi itu, maka setiap proses hukum harus dipastikan steril dari berbagai bentuk intervensi.

Yang saya maksud proses hukum adalah seluruh proses penegakan hukum dari hulu hingga ke hilir, sehingga dalam konteks kasus pidana, tidak hanya proses di persidangan, tetapi juga penyelidikan dan penyidikan.

Karena itu, saya berpandangan proses di kepolisian dan kejaksaan, atau KPK dalam kasus korupsi, adalah juga bagian dari proses penegakan hukum yang harus dijaga kemerdekaannya dari berbagai bentuk intervensi.

Dalam kasus Ahok, meskipun sudah lewat, tetap muncul pertanyaan kritis, apakah penetapannya menjadi tersangka oleh kepolisian adalah proses penegakan hukum yang independen tanpa intervensi?

Persoalannya, apakah prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman tanpa intervensi itu adalah harga mati? Apakah tidak ada ruang sama sekali untuk melakukan campur tangan bagi proses penegakan hukum?

Pada teorinya, setiap prinsip hukum selalu mempunyai pengecualian. Pengecualian bagi suatu prinsip hukum bukanlah pelemahan.

Justru adanya pengecualiaan akan menguatkan keberadaan prinsip hukum. Suatu prinsip hukum tidak akan ada tanpa adanya pengecualian atas prinsip hukum itu sendiri.

Persoalannya adalah bagaimana memastikan agar pengecualian itu menguatkan prinsip hukum dan bukan justru melemahkannya.

Prinsipnya, kemerdekaan kekuasaan kehakiman tidak boleh diintervensi oleh siapa pun, dalam bentuk apa pun, pada waktu kapan pun.

Namun, terhadap prinsip itu selalu ada pengecualian. Saya berpandangan tingginya derajat independensi peradilan harus disesuaikan dengan prinsip akuntabilitas.

Makin bersih suatu proses peradilan, maka derajat independensinya harus ditinggikan dan sebaliknya.

Atau, makin dapat dipercaya suatu proses peradilan maka, intervensi harus makin diharamkan, dan sebaliknya.

Dalam konteks itulah, ketika terjadi konflik Cicak versus Buaya terkait penanganan kasus korupsi oleh KPK atas oknum petinggi polisi, saya termasuk memberikan masukan agar Presiden ikut membantu melindungi kelembagaan KPK dari serangan balik para koruptor.

Bagi saya, bentuk campur tangan Presiden yang demikian justru wajib dihalalkan dan tidak dapat dianggap sebagai intervensi atas proses hukum yang harus diharamkan.

Hubungan antara independensi dan akuntabilitas adalah ibarat dua sisi dari satu keping uang logam, tidak terpisahkan.

Pada setiap independensi peradilan karenanya melekat sistem pengawasan untuk menjaga agar akuntabilitas proses yang dihasilkan dapat terjaga kualitas keadilannya.

Prinsip independensi tidak boleh menjadi tameng dan benteng perlindungan bagi perilaku peradilan yang koruptif.

Karena itu, konstitusi Amerika Serikat, misalnya, menegaskan independensi hakim agungnya dengan jabatan seumur hidup.

Namun, kadar independensi demikian tetap dapat didobrak dengan pemberhentian, jika sang hakim agung melanggar batas demarkasi good behavior.

Dalam konteks ini, menjadi menarik untuk mencermati uji materi UU Mahkamah Konstitusi yang sekarang sedang berjalan, yang jika dikabulkan dapat menyebabkan hakim konstitusi bisa menjabat seumur hidup.

Pertanyaannya, apakah hakim konstitusi dapat memutus soal batas umur masa jabatannya sendiri?

Lalu, apakah Integritas hakim konstitusi kita sudah layak untuk mendapatkan apresiasi jabatan seumur hidup?

Kembali ke soal Ahok dan kasus dugaan penodaan agamanya. Saya tidak akan masuk ke ranah pidananya, soal apakah betul Ahok melakukan penodaan agama atau tidak.

Biarlah itu menjadi kompetensi para ahli pidana dan akhirnya majelis hakim yang memutuskannya.

Sebagai orang yang lebih banyak belajar soal hukum tata negara, saya tidak ingin berpendapat pada bidang yang tidak saya kuasai.

Karenanya, izinkan saya hanya berfokus pada bagaimana cara kita mengawal agar kasus Ahok tetap dalam koridor penegakan hukum yang independen, tanpa menghadirkan intervensi yang justru merusak proses keadilan itu sendiri?

Ada pandangan bahwa kasus Ahok saat ini dipengaruhi oleh aksi massa (mobocracy).

Pandangan demikian didasarkan adanya demonstrasi yang memaksa agar Ahok ditetapkan menjadi tersangka, ditahan, bahkan harus divonis bersalah sehingga wajib masuk penjara.

Sebagai orang hukum, saya memang merasakan tekanan itu dan khawatir akan terjajahnya proses hukum dan tidak merdekanya lagi proses di kepolisian, kejaksaan, dan bahkan keputusan hakim kelak setelah persidangan.

Namun, di sisi lain, saya juga memahami bahwa ada kekhawatiran tanpa proses pengawalan yang ketat—termasuk desakan massa yang kuat—maka Ahok seakan-akan mendapatkan perlindungan dari kekuatan politik, yang menyebabkan dirinya imun dari proses hukum pidana.

Kedua belah pihak yang pro maupun kontra Ahok menurut saya harus bisa menahan diri untuk tidak melewati batas demarkasi, dari pengawasan dan pengawalan yang diperlukan, menuju intervensi yang merusak.

Proses hukum Ahok saat ini sudah masuk ke tahap persidangan. Kita semua harus memastikan agar majelis hakim yang memeriksa kasus Ahok dapat bekerja secara profesional, berdasarkan bukti, dan tidak memutuskan berdasarkan persoalan lain di luar ranah hukum pidana.

Mari kita semua menjadi penonton dan pengawal persidangan yang baik, yaitu tertib dan sopan dalam mengikuti persidangan, meskipun tetap dapat bersikap kritis.

Ingat, dalam mengikuti persidangan juga ada batasan. Jangan sampai melakukan contempt of court, yang dapat dijerat dengan sanksi pidana. Salah satu sikap kita sebagai pengawal yang baik adalah menerima apa pun nanti putusan hakim dalam kasus Ahok ini.

Tidak boleh ada tekanan apa pun yang mewajibkan Ahok harus bebas ataupun Ahok harus dihukum. Revolusi tidak perlu diancamkan jikalau Ahok bebas, demikian pula sebaliknya.

Kalau ada pihak yang tidak puas, kita serahkan pada proses hukum banding, kasasi dan peninjauan kembali.

Jika ada sikap jaksa penuntut umum, advokat, hakim yang kita anggap tidak sesuai etika, kita laporkan ke Komisi Kejaksaan, organisasi advokat dan Komisi Yudisial.

Mari kita semua tetap mengikuti dengan kritis jalannya persidangan, sambil tetap menghormati kemerdekaan kekuasaan kehakiman.

Pada tahap persidangan semacam ini, sebaiknya pengerahan massa sebagai bentuk tekanan kepada jalannya persidangan, ada baiknya dihindari.

Bagaimanapun, kita harus memberi ruang pikir yang cukup kepada majelis hakim agar dapat memutuskan berdasarkan bukti hukum, logika pikir dan rasa hati yang berkeadilan.

Tekanan massa yang mewajibkan penghukuman atau sebaliknya, tidak akan membantu hadirnya proses hukum yang berkeadilan itu.

Mari kita pastikan persidangan Ahok berujung pada keadilan dan tidak menimbang Amok yang berujung pada kerusakan.

Keep on fighting for the better Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar