Sabtu, 17 Desember 2016

Demokrasi dalam Hikmat Kebijaksanaan

Demokrasi dalam Hikmat Kebijaksanaan
Dimas Oky Nugroho  ;   Direktur Eksekutif Akar Rumput Strategic Consulting
                                              KORAN SINDO, 16 Desember 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SEJUMLAH aksi demonstrasi dan mobilisasi massa yang marak saling balas beberapa waktu terakhir menjadi menyedihkan. Terlihat bangsa ini seolah begitu rentan terhadap perbedaan.

Kita tampak seperti sebuah conflict-prone society alias masyarakat yang rentan dan genit konflik. Dalam sebuah persepsi ketidakpastian politik, apa yang bisa kita lakukan untuk menjaga stabilitas politik tanpa mengorbankan penguatan demokrasi?

Memperkuat Demokrasi
 
Pada era pemerintahan sebelumnya, kita disebutkan telah melewati fase transisi menuju demokrasi. Artinya, mestinya saat ini kita sudah masuk pada fase pendalaman (deepening democracy).

Dengan demokrasi, kita berharap seluruh warga negara akan dihormati hak-hak sipil dan martabatnya, didorong partisipasi politiknya, khususnya untuk aktif terlibat dalam berbagai proses perumusan kebijakan publik. Institusi-institusi publik didorong untuk bekerja dengan baik sesuai dengan prinsip pemerintahan yang responsif, profesional, bersih, transparan, dan akuntabel.

Hukum ditegakkan secara adil dan konsisten. Regenerasi kepemimpinan berlangsung secara terbuka, berkualitas, tanpa kekerasan, jujur, dan melibatkan persetujuan rakyat.

Akan tetapi, demokrasi bukan hanya soal prosedural semata. Bukan ihwal eksistensi partai politik, pilkada, pileg, atau pilpres saja. Demokrasi apalagi, bukan pertarungan politik yang melulu berorientasi perihal kekuasaan. Bukan!

Agar berakar, bertahan, dan berkelanjutan, demokrasi pertama-tama harus memperhatikan aspek spiritualitas, sosiohistoris, dan sosioantropologis warga-bangsa itu sendiri. Demokrasi harus berangkat dari tradisi-tradisi otentik dan nilai-nilai kebajikan dasar yang kita miliki, serta sejalan dengan visi sosioekonomi dan sosiopolitik kita sebagai sebuah negara-bangsa merdeka yang memiliki kebutuhan untuk bersatu dan berkembang secara sehat. Dan karena itu, kita bersyukur memiliki Pancasila.

Sebagai individu maupun sebagai komunitas warga bangsa, prinsip berketuhanan, berkemanusiaan, dan kesatuan adalah fondasi dasar manusia Indonesia. Terhadap perilaku berpolitik, Pancasila memberikan prinsip-prinsip yang jelas yakni sebuah "kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan". Itu semua dilakukan demi mewujudkan "keadilan sosial bagi seluruh rakyat".

Terkesan sederhana dan normatif; namun kenyataannya, sejarah dramatis para pemimpin nasional kita serta narasi perpolitikan sepanjang kita merdeka adalah cerita tentang pergulatan mewujudkan prinsip-prinsip Pancasila yang ternyata tak sesederhana yang kita kira itu. Tak sedikit kepemimpinan nasional yang terperangkap dalam keputusan-keputusan politik yang dinilai bergeser bahkan bertentangan dengan semangat Pancasila.

Bagaimanapun, Pancasila adalah fondasi sekaligus konsensus kita sebagai bangsa yang majemuk dan menginginkan keadilan-kebajikan. Melalui Pancasila, kita memahami bahwa alasan dan tujuan bernegara bertitik berat pada pembangunan manusia dan kemanusiaan itu sendiri, apakah sebagai individu maupun sebagai komunitas warga bangsa. Karena itu, demokrasi harus mementingkan aspek pembangunan manusia (human capital) yang paripurna.

Demokrasi membutuhkan strategi kebudayaan yang meliputi aspek pendidikan, kesejahteraan sosial, dan tanggung jawab kewarganegaraan sebagai inti kesadaran dan pergerakan sosial. Kehadiran strategi kebudayaan ini tidak hanya akan mampu meningkatkan kualitas demokrasi, tetapi juga akan menentukan karakter, mutu, dan proyeksi masa depan kita sebagai sebuah negara-bangsa yang unggul dan berkeadaban.

Kita melupakan bahwa demokrasi harus menjamin agar rakyat jangan hanya diposisikan sebagai ‘voter’ yang bisa dibeli, diajak demo, dimobilisasi, dan disuruh tawuran. Demokrasi harus berdampak positif pada pemberdayaan dan kemandirian seluruh rakyat. Demokrasi membutuhkan fokus dan arah kebijakan ekonomi yang mampu mengangkat harkat kesejahteraan rakyat secara merata dan menyeluruh. Karena jika tidak, demokrasi hanya akan mengantarkan kita pada kesenjangan, eksploitasi dan frustrasi sosial.

Untuk itu, jangan kita lupakan bahwa demokrasi sangat membutuhkan penegakan hukum yang berwibawa dan berkeadilan. Keagungan negara dan efektivitas demokrasi di mata rakyat awam ditentukan dari persoalan penegakan hukum yang konsisten. Sebagai sebuah mekanisme politik, the only game in town, demokrasi tidak boleh mengorbankan ketahanan nasional dan agenda-agenda nasional yang prinsipiil serta berkelanjutan.

Pemerintahan Efektif

Mengelola demokrasi dan kebebasan sipil adalah satu hal. Sementara mengelola efektivitas pemerintahan, menjalankan negara, serta mengamankan kepentingan nasional adalah sesuatu hal lain. Meskipun demikian, keduanya sesungguhnya saling terkait erat.

Mengelola negara membutuhkan apa yang disebut sebagai sebuah kepemimpinan dan political order (tata tertib politik). Pada tingkat mengelola tata tertib politik ini, dalam tekanan masyarakat majemuk, kebanyakan kepemimpinan kita cenderung simplifikatif, tidak sabar, gagal paham, dan tak sedikit yang terjebak dalam godaan otoritarianisme.

Padahal, kunci dalam mewujudkan tata tertib politik sekaligus institusionalisasi demokrasi adalah penyinergisan antara fondasi sosiospiritualitas, sosiohistoris, nilai-nilai dasar dan moral politik yang kita pegang sebagai sebuah bangsa, dan implementasinya secara kreatif dalam sebuah keadaban politik dan praksis-praksis bernegara.

Dalam hal ini, solidaritas kebangsaan dan persatuan nasional menjadi sangat penting. Bangsa yang terpecah akan sulit maju satu langkah sekalipun untuk mencapai tujuan-tujuannya bernegara. Presiden Soekarno dulu secara praksis pernah menawarkan konsensus politik bernama nasakom (nasionalis, agama, dan komunis) yang dipersatukan di bawah satu kepemimpinan politik yang kukuh.

Presiden Soeharto pernah mendorong persatuan yang didasari oleh penyederhanaan partai dan Dwifungsi ABRI. Ini semua dilakukan demi kebutuhan menghadirkan sebuah tata tertib politik untuk menjadi semacam solusi terhadap suatu kenyataan konstelasi sosial-politik dan sosial-ekonomi yang dinamis-majemuk.

Pada perkembangannya, kita saksikan dua format politik ini menghadapi cerita kegagalannya masing-masing. Di era kekinian, globalisasi dan media sosial telah menghadirkan sebuah ‘kekuatan politik’ baru. Ditandai dengan kemunculan berbagai gerakan sosial, ekspresi pemikiran dan gaya hidup khususnya di kalangan anak muda, gerakan keagamaan transnasional, serta berbagai entitas sosial-ekonomi baru yang nyata-nyata berdampak dalam kehidupan politik kita hari ini.

Tantangannya kemudian, adalah bagaimana mengelola demokrasi kekinian yang dinamis dan inklusif sembari tetap menjaga stabilitas politik sebagai bangsa bersatu, serta progresivitas sosial-ekonomi sebagai bangsa yang mandiri dan berkemajuan. Oleh karena itu, wahai pemimpin dan juga yang dipimpin, marilah berdemokrasi secara lebih berbobot dan bertanggung jawab, tentunya dalam sebuah ‘hikmat kebijaksanaan’, bukan dalam ‘gaduh kekeblingeran’. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar