Selasa, 20 Desember 2016

Menghidupi Pluralisme

Menghidupi Pluralisme
John de Santo   ;   Dosen ASMI Santa Maria Yogyakarta
                                           SUARA MERDEKA, 19 Desember 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

DALAM sambutannya pada pembukaan Bali Democracy Forum (BDF) IX/2016 di Nusa Dua, Bali, pekan lalu, Presiden Joko Widodo menyatakan pentingnya sikap toleran mengingat semua warga dunia hidup dalam kemajemukan. Dalam urusan kemajemukan, Indonesia dapat diandalkan karena memiliki pengalaman hidup panjang dalam keanekaragaman suku, agama, ras, golongan, dan daerah.

Persoalannya, bagaimana merawat kemajemukan itu, agar setiap warga negara dapat merasakan semakin luasnya zona nyaman untuk hidup sebagai anak bangsa. Di Indonesia, pluralisme pernah menjadi polemik karena istilah itu diliputi semangat religius, dicurigai sebagai niat terhadap pencampuran ajaran agama, atau bahkan digunakan sebagai alasan untuk mengubah suatu ajaran agama dengan ajaran agama lain.

Akibat pertentangan yang semakin membingungkan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mengeluarkan fatwa melarang pluralisme agama pada 28 Juli 2005. Larangan tersebut menyangkut objek persoalan, terutama ketika pluralisme memberi peluang bagi kemunculan relativisme kebenaran agama. Sebenarnya kebingungan itu terjadi akibat kerancuan bahasa.

Dalam bahasa Inggris, kata pluralism berarti suatu kerangka interaksi, di mana setiap orang atau kelompok menampilkan rasa hormat yang tulus kepada orang atau kelompok lain, bersikap toleran, dan berinteraksi tanpa konflik. Konsep pluralisme sejatinya bisa digunakan menurut cara yang berbeda dan mencakup persoalan yang lebih luas. Di dalam politik misalnya, pluralisme artinya mengafirmasi keberagaman kepentingan dan kebutuhan dari setiap warga negara.

Pluralisme bahkan dianggap sebagai ciri utama dari sebuah kehidupan demokrasi. Dalam dunia sains, pluralisme adalah pandangan yang mengatakan bahwa beberapa metode, teori, atau sudut pandang secara sah dan masuk akal untuk digunakan dalam upaya mencari kebenaran. Bahkan bidang sains, pluralisme dianggap sebagai faktor terpenting bagi kemajuan ilmiah.

Adapun dalam sistem politik demokrasi, pluralisme adalah sebuah prinsip pengarah yang memungkinkan koeksistensi damai dari berbagai kepentingan, sikap, dan gaya hidup. Tidak seperti totalitarianisme, pluralisme mengakui keberagaman kepentingan dan mendorong setiap warga negara untuk berusaha merealisasikan kepentingan yang berbeda itu.

Indonesia sebagai negara agraris yang melimpah sumber daya alamnya, terbentang dari Sabang sampai Merauke, dilintasi tiga zona waktu, dan terbentuk dari berbagai macam suku, ras, dan agama itu, secara alami lahir di atas prinsip-prinsip pluralisme. Harus diakui, perbedaan yang terjadi akibat kemajemukan telah memicu terjadinya ketegangan sosial, diskriminasi ras, dan benturan kepentingan terutama di sektor ekonomi politik.

Transformasi sosial, yang terjadi selama ini memang tidak berlangsung merata sehingga menimbulkan gesekangesekan yang seolah menegaskan adanya krisis berkepanjangan sejak penghujung tahun 1997. Problematika kehidupan masyarakat Indonesia yang plural ini semakin bertambah rumit dengan diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN dan berbagai tantangan lain akibat globalisasi.

Dinamika sosial, budaya, ekonomi dan politik di negeri ini, menyisakan pertanyaan besar tentang kesiapan Indonesia dalam mengikuti roda zaman yang cenderung menghilangkan jati diri dari ideologi Pancasila yang selama ini mengukuhkan eksistensi sebagai bangsa.

Rangkaian catatan panjang mengenai konflik etnis, agama, sektarian, dan menguatnya radikalisme agama, dan sikap intoleran, seyogianya meningkatkan kesadaran terhadap realitas majemuk dan bagaimana mengelolanya sebagai kekuatan yang menyatukan, bukan sebaliknya menceraiberaikan.

Meski kita hidup atas dasar prinsip-prinsip pluralistik, kesadaran terhadap realitas kemajemukan perlu semakin dipertajam melalui sistem pendidikan berdasarkan petimbangan berikut. Pertama, sistem pendidikan sekolah wajib mengajarkan anak-anak untuk bersikap toleran terhadap perbedaan.
Hal ini akan menjadikan mereka sebagai orang dewasa yang kelak bersikap toleran terhadap kemajemukan. Sikap toleran itu tidak hanya diajarkan dalam bentuk modul, tetapi menjadi praktik keseharian.
Kekerasan dalam bentuk fisik dan verbal seperti ujaran kebencian, penghinaan, tidak boleh dibiarkan terjadi di sekolah.

Kedua, membunuh prasangka. Sebagian besar persoalan muncul karena prasangka. Prasangka terjadi karena orang dengan latar belakang berbeda belum saling memahami. Berbagai streotip negatif dan kebencian lahir dari ketidaktahuan. Di sekolah, prasangka bisa dikurangi melalui berbagai kegiatan kelompok minat, bakat, dan hobi.

Ketiga, sekolah sebagai kawah candradimuka (tungku peggodokan) yang menampung para murid dengan berbagai latar belakang kemampuan, keluarga, strata sosial, bahkan agama dan budaya, merupakan tempat ideal bagi penanaman kesadaran akan kebhinekaan.

Anak-anak remaja akan lebih mudah belajar saling menerima dan memahami karena belum terbiasa dengan bias dan prasangka. Kesadaran awal yang baik ini merupakan dasar bagi apresiasi terhadap perbedaan yang menjadi alasan untuk membangun persatuan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar