Batas
Pencemaran Nama Baik via ITE
Augustinus Simanjuntak ; Dosen
Etika Bisnis
di Program Manajemen Bisnis FE
Universitas Kristen Petra Surabaya
|
JAWA POS, 08 Desember
2016
PEMBERLAKUAN
revisi UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(ITE) mendorong masyarakat pengguna media sosial seperti Facebook, Twitter,
dan mailing list (milis) wajib lebih hati-hati. Sebab, menyebarkan atau ikut
menyebarkan informasi palsu bisa dijerat pasal pencemaran nama baik.
Sebenarnya, revisi
UU ITE tak jauh berbeda dengan spirit beberapa putusan pengadilan terkait
dengan kasus pencemaran nama baik di dunia maya. Misalnya, untuk poin revisi
UU ITE menjadi delik aduan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor
50/PUU-VI/2008 telah menyatakan pasal 27 ayat (3) UU ITE (terkait pencemaran
nama baik) sebagai delik aduan. Jadi, isi revisi UU ITE bukan hal baru.
Tampaknya, pemerintah lupa bahwa MK pernah menguji dan merevisinya.
Kemudian, Mahkamah
Agung (MA) juga pernah memutus perkara peninjauan kembali (PK) atas kasus
Prita Mulyasari yang dituduh melakukan pencemaran nama baik RS Omni
Internasional via milis. Putusan PK bernomor No 22 PK/Pid.sus/2011 itu
membatalkan putusan kasasi MA yang sebelumnya memvonis Prita 6 bulan penjara
dengan masa percobaan satu tahun. Publik waktu itu menyambut baik putusan PK
MA. Artinya, publik pun setuju bahwa perbuatan Prita bukanlah pencemaran nama
baik.
Hakim PK menilai,
perbuatan Prita melalui e-mail yang berisi keluhan atas pelayanan jasa
kesehatan bukan pencemaran nama baik. Hanya, keluhan itu menyebar ke publik.
Sebelumnya, hakim kasasi MA menyatakan Prita terbukti bersalah berdasar pasal
27 ayat (3) UU ITE (pencemaran nama baik). Padahal, hakim kasasi MA pernah
memutus gugatan perdata RS Omni dan menyatakan tindakan Prita bukan
pencemaran nama baik. Di sini implementasi UU ITE tampak inkonsisten.
Lazimnya, putusan
pidana seiring sejalan dengan putusan perdata. Bahkan, putusan pidana bisa
menjadi salah satu acuan untuk menggugat perdata. Karena itu, putusan PK MA
telah mengatasi inkonsistensi tersebut dengan membebaskan Prita dari segala
tuduhan pencemaran nama baik. Kasus Prita memang menjadi taruhan berharga
bagi pemerintah dan DPR karena terkait dengan nasib UU ITE yang pembuatan dan
sosialisasinya telah menghabiskan banyak tenaga serta anggaran.
Namun, pemerintah
dan DPR harus menerima kenyataan bahwa PK pembebasan Prita telah membawa
konsekuensi atau preseden penting bagi implementasi UU ITE. Pertama, jadi ada
batasan penerapan pasal 27 ayat (3) UU ITE. Yaitu, tidak semua tindakan
pencemaran nama baik bisa diadukan ke ranah hukum pidana maupun perdata.
Penyebar keluhan
atau kekecewaan di media sosial, termasuk mereka yang ikut-ikutan
menyebarkannya, tidak bisa serta-merta dikriminalkan. Yaitu, mereka yang
kecewa atas kebijakan pejabat atau konsumen yang keselamatannya terancam
karena pelayanan barang/jasa dari produsen tertentu. Juga, mereka yang berada
dalam situasi terdesak atau terancam nyawanya oleh pihak lain. Bahkan, mereka
yang mengungkap hal-hal seperti itu ke media sosial patut didukung.
Kedua, daya
berlaku hasil uji materiil di MK atas pasal 27 ayat (3) UU ITE juga mengalami
pembatasan. Putusan bernomor 50/PUU-VI/2008 dan 2/PUU-VII/2009 MK menilai
pasal 27 ayat (3) sudah konstitusional karena sesuai dengan pasal 12
Universal Declaration of Human Rights (UDHS). Dengan demikian, setiap orang
yang merasa namanya dicemarkan pihak lain boleh diproses secara hukum.
Ketentuan UDHS
tersebut diterjemahkan MK sebagai berikut: ”Tidak seorang pun boleh diganggu
urusan pribadinya, keluarganya, rumah tangganya, atau hubungan
surat-menyuratnya dengan sewenang-wenang, juga tidak diperkenankan melakukan
pelanggaran atas kehormatannya dan nama baiknya. Setiap orang berhak mendapat
perlindungan hukum terhadap gangguan-gangguan atau pelanggaran seperti ini”.
Jadi, MK
menganggap pasal 27 ayat (3) yang menindak pelaku pencemaran nama baik tidak
melanggar hak-hak berekspresi. Sayang, MK waktu itu lupa menimbang pasal 310
ayat (3) KUHP yang menyatakan: ”Tidak merupakan pencemaran tertulis jika
perbuatan dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela
diri”. Pasal itu selaras dengan putusan PK MA dalam kasus keluhan Prita atas
pelayanan sebuah perusahaan jasa.
Artinya, seseorang
dan pihak-pihak yang menyebarkan informasi terkait dengan ungkapan kekecewaan
atas kejadian/fakta objektif yang dialaminya tidak patut dipidana. Biasanya,
warga atau konsumen akhirnya mengunggah kekesalannya ke media sosial karena
pihak terkait (misalnya, pejabat atau produsen barang/jasa) tidak cepat
menanggapi kekecewaannya secara transparan dan simpatik.
Pihak terkait
seharusnya langsung meneliti kebenaran informasi yang beredar di dunia maya
itu, tidak malah langsung ke proses hukum. Jika informasi tersebut memang
benar, permintaan maaf dan pemulihan kekecewaan merupakan solusi yang
menyejukkan. Namun, jika informasi itu ternyata bohong (hoax), pihak terkait bisa menggunakan jalur hukum.
Dengan demikian,
tuduhan pelanggaran hak asasi tanpa dibatasi pasal 310 ayat (3) KUHP justru
akan mengacaukan penegakan hak asasi itu sendiri. Surat Prita yang disebar ke
publik secara berantai justru dianggap publik sebagai informasi penting
karena bisa mencegah warga lain mengalami kejadian yang sama. Negara justru
perlu melindungi mereka yang berani mengungkap pelayanan publik/swasta yang
berbahaya bagi siapa pun. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar