Islam,
Kebinekaan, dan NKRI
Mohamad Sohibul Iman ; Presiden
Partai Keadilan Sejahtera
|
REPUBLIKA, 06 Desember
2016
Ketika jutaan umat
Islam berjuang membela martabat agamanya secara damai dan konstitusional
karena merasa kesucian kitab sucinya dinodai oleh ucapan seorang pejabat
publik, tiba-tiba ada sebagian kelompok yang justru menstigmanya sebagai
sikap antikebinekaan dan anti-NKRI.
Ada anggapan bahwa
menghormati kebinekaan hanya diartikan sebagai sikap merayakan perbedaan,
tapi kurang mengindahkan hak setiap warga memeluk dan menjalankan ajaran
agama dan keyakinannya, sebagaimana telah dijamin dalam konstitusi dan aturan
perundang-undangan yang berlaku.
Kebinekaan
akhir-akhir ini direduksi maknanya menjadi semata-mata melindungi hak
minoritas tanpa menghormati hak mayoritas. Parade kebinekaan dimaknai sebagai
parade perbedaan tanpa penghormatan terhadap tegaknya hukum dan keadilan.
Kebinekaan terawat
bukan karena klaim sepihak, melainkan karena adanya sikap jujur, terbuka,
tanggung jawab, dan adil. Jika ada pemikiran yang mencoba membenturkan antara
Islam, kebinekaan, dan NKRI, pemikiran itu harus diluruskan karena berbahaya
dan ahistoris. Islam, kebinekaan, dan NKRI adalah satu kesatuan tak
terpisahkan.
Menjadi seorang
Muslim yang lurus maka secara aksiomatis juga menjadi seorang nasionalis
sejati dan pluralis seutuhnya. Jika masih ada entitas di Republik ini yang
mengatakan umat Islam tidak nasionalis, antikebinekaan, sesungguhnya mereka
telah memunggungi takdir sejarah Republik Indonesia.
Jangan pernah
melupakan sejarah panjang perjuangan umat Islam dalam memerdekakan dan
membangun Republik ini. Janganlah melupakan jasa besar KH Hasyim Asy'ari saat
bersama umat Nahdliyin, yang menyerukan Resolusi Jihad untuk mengobarkan
semangat perlawanan para pejuang Surabaya di bawah komando jihad Bung Tomo,
dalam mempertahankan Kota Pahlawan dari gempuran imperialis.
Ki Bagus Hadi
Kusumo sebagai pucuk pimpinan Muhammadiyah bersama tokoh umat Islam lainnya
yang berbesar hati mengesampingkan aspirasi umat Islam, dengan merelakan
penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta dan menggantinya dengan sila
pertama Pancasila. Ini sebagai sikap penghormatan atas aspirasi saudara
sebangsanya dari umat Kristiani dan Indonesia bagian timur.
Bagaimana peran
diplomat Muslim, Haji Agus Salim dan AR Baswedan, yang bergerilya mencari
pengakuan kedaulatan kemerdekaan RI dari dunia internasional. Dengan
mengedepankan semangat ukhuwah Islamiyah, mereka berhasil mengantarkan RI
mendapatkan pengakuan kedaulatan pertamanya dari negara-negara Islam, seperti
Mesir, Lebanon, Suriah, Irak, Arab Saudi, dan Yaman.
Kiprah diplomasi
mereka menyudutkan Belanda di forum PBB dan mengukuhkan kedaulatan RI di mata
dunia. Bahkan, jika merujuk pada konsepsi NKRI, secara legal-konstitusional
justru terlahir dari kepeloporan dan perjuangan umat Islam di parlemen yang
saat itu disuarakan Mohamad Natsir.
Melalui Mosi
Integralnya, Natsir mengusulkan kepada parlemen RI untuk mengganti konsep
Negara Republik Indonesia Serikat (NRIS) menjadi Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Inisiatif Natsir ini disambut baik seluruh kekuatan politik
di parlemen saat itu, sehingga konsep NRIS dibubarkan dan Indonesia menjadi
NKRI.
Kebinekaan
Indonesia merupakan keajaiban dunia dan kita telah merawatnya dengan susah
payah. Maka tak sepatutnya, kebinekaan ini dikoyak-koyak oleh kekerasan
verbal dan tindakan penodaan terhadap agama apa pun, yang diakui di Indonesia
karena itu jelas melukai rasa persatuan bangsa.
Semangat
menghormati kebinekaan dan persatuan adalah modal sosial bangsa yang wajib
kita jaga bersama. Tindakan yang merusak kebinekaan dan persatuan bangsa oleh
siapa pun, apa pun agamanya, apa pun suku bangsanya, apa pun partai dan
posisi jabatannya, maka harus diperlakukan sama di depan hukum (equality
before the law).
Kita harus jaga
dan rawat kebinekaan dan NKRI yang kita cintai ini dengan mendorong penegakan
hukum, yang memihak kepada kebenaran dan rasa keadilan masyarakat. Rasa
persatuan bangsa sulit terwujud tanpa rasa keadilan menyertainya. Untuk
memperkuat kokohnya persatuan dan kesatuan bangsa, kita harus terus memupuk
modal sosial bangsanya agar terus tumbuh di masyarakat.
Menurut hemat
saya, ada tiga modal sosial bangsa yang bisa menjadi penopang. Pertama, sense
of belonging, yakni rasa saling memiliki sebagai bangsa. Semua warga negara
RI harus merasa memiliki NKRI. Di sisi lain, jangan pernah ada yang mengklaim
ia satu-satunya pewaris sah Republik ini.
Bangsa ini lahir
atas jerih payah dan pengorbanan berbagai komponen bangsa. Dalam benak kita
harus tertanam kuat bahwa bangsa ini milik semua anak bangsa: dari Sabang
hingga Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote. Bangsa ini bukan hanya milik
suku dan agama tertentu.
Kebinekaan
tecermin ketika kelompok mayoritas mampu menghargai dan mengayomi minoritas.
Di saat yang sama, kelompok minoritas juga bisa memosisikan diri dan bersikap
hormat serta toleran kepada kelompok mayoritas.
Rasa saling
memiliki di antara sesama anak bangsa akan menumbuhkan sinergi dan harmoni.
Karena kita percaya bahwa sikap dan tindakan setiap anak bangsa dilandasi
rasa saling memiliki atas bangsa ini.
Kedua, sense of togetherness, yakni rasa
kebersamaan sebagai sesama anak bangsa yang sama-sama cinta kepada Tanah
Airnya. Bangsa ini sangat majemuk. Bangsa ini terdiri atas belasan ribu
pulau, ratusan bahasa daerah, ribuan suku bangsa, beberapa agama dan
kepercayaan. Bahkan bukan hanya majemuk, melainkan juga terfragmentasi dan
tersegmentasi.
Adalah sunnatullah
untuk membangun bangsa ini harus dengan menumbuhkan rasa kebersamaan dan
saling bekerja sama. Kita tidak bisa membangun Republik ini hanya dengan
melibatkan golongan dan kelompok tertentu, tanpa bantuan dan kerja sama
elemen bangsa lainnya. Bangsa ini lahir dan bisa tetap tumbuh berdiri tegak
hingga saat ini karena rasa kebersamaan yang terus terjalin.
Ketiga,
trustworthiness, yakni rasa saling percaya di antara seluruh komponen bangsa.
Pada tingkat gagasan kita harus saling percaya bahwa semua warga Indonesia
memiliki niat baik untuk bangsanya dengan cara masing-masing.
Namun, pada
tingkat tindakan, kita harus membuktikan dengan melihat perilakunya, apakah
niat baik itu benar-benar ditunjukkan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara? Jika terbukti ada niat jahat, semua wajib mencegah dan menghentikannya.
Saya meyakini
ketika ketiga modal sosial bangsa ini dijalankan secara konsisten dan
konsekuen, insya Allah bangsa dan negara ini akan semakin maju, kuat, dan
bermartabat serta dihormati oleh bangsa lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar