Kamis, 15 Desember 2016

Job on Demand

Job on Demand
Rhenald Kasali  ;   Pendiri Rumah Perubahan
                                                  JAWA POS, 13 Desember 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Anda mungkin sudah terbiasa mendengar kata video on demand. Itu sudah ada sekitar lebih dari 20 tahun dan berakibat matinya usaha penyewaan video. Masih ingat kan dulu kita membawa pulang tape-nya, menyetel VCD di rumah? Kini semua serbadigital. Ada pada line kabel Anda, bisa langsung tiba sampai ke rumah tanpa perantara.

Tetapi, kini menyangkut pekerjaan. Ya, pekerjaan masa depan anak-anak kita yang mulai berubah. Kadang lucu juga. Mereka yang sudah punya pekerjaan enak dengan gaji bagus di bank justru ingin berhenti. Mereka ini yang sekarang banyak membuat CEO perbankan pusing. Masalahnya, mereka ini anak-anak hebat, kader masa depan. Sewaktu digali, jawabannya hampir sama semua: ingin membuat start-up.

Sementara itu, di antara mereka yang sudah menjadi pengusaha start-up, justru banyak yang sedang keletihan dan iri dengan teman-temannya yang bekerja di perusahaan mapan. Padahal, mereka kelihatannya bahagia sekali menjalankan start-up-nya. Sewaktu digali lagi, mereka bilang, ”Ternyata menjalankan start-up tidak ada duitnya.”

Lucu juga ya. Yang mapan dan dapat uang merasa kurang bahagia. Yang bahagia tak punya uang. Maka jadilah pertukaran. Saya menyebutnya sebagai pertukaran uang dengan kebahagiaan, yang kalau bisa disandingkan betapa indahnya. Tapi, bukankah kebahagiaan itu kita yang perjuangkan? Mana ada yang dijemput begitu saja?

Sekolah-Sekolah Baru

Sekolah anak-anak muda di dunia ini tengah berubah. Kala kita masih terbiasa menyekolahkan anak-anak kita ke berbagai fakultas seperti kita dulu, justru banyak anak muda yang sudah mengeksplorasi bidang-bidang baru.

Pengajarnya juga bukan dosen-dosen tetap seperti yang beberapa tahun belakangan diwajibkan pemerintah. Melainkan dosen-dosen yang praktik riil dalam kehidupan. Mereka mengedepankan ”bisa”, bukan ”tahu”. Hasil, bukan nilai. Ini berbeda dengan sistem pendidikan kita yang banyak mengedepankan tahunya, bukan bisa.

Maka jangan heran jika yang diperdebatkan di media sosial di sini cuma adu pengetahuan, debat omong kosong. Yang bekerja dianggap bodoh, sedangkan yang berwacana saja mereka anggap hebat. Jadi wajar bila di kampus-kampus baru dunia itu, banyak yang pengajarnya bukan ”ilmuwan kertas”. Melainkan para praktisi pemegang lisensi, ambassador produk, atau pelaku yang sudah punya reputasi dalam bidangnya. Mereka yang punya karya, bukan punya ”tahu”.

Mereka juga bisa menjadi guru besar di kampusnya. Padahal belum tentu punya teori. Maklum, di negara-negara industri, yang mengangkat guru besar itu kampus itu sendiri, bukan negara. Juga ada peer review seperti anak yang ingin menjadi guru besar di sini, tetapi peer-nya bukan seperti dosen. Melainkan ”jumlah eksemplar” buku yang dia tulis yang laku di pasar, berapa banyak dan seberapa bagus resensi yang ditulis tokoh-tokoh terhadap karya mereka.

Tidak ada ”campus politics” atau like and dislike seperti yang dikeluhkan para calon guru besar yang sering diganjal kolega-koleganya di sini. Kadang lucu juga, di sini banyak ilmuwan yang mencemooh teori orang lain. Tapi, sesungguhnya mereka juga tak punya teori sendiri, apalagi karya yang baik dan diterima masyarakat. Kampus baru yang sedang terbentuk itu diisi banyak orang yang aktual, yang relevan dengan kebutuhan masyarakat. Bukan yang semata menghasilkan pemikir.

Pekerjaan pun Berubah

Shane Cragun dan Kate Sweetman (2016) baru saja merilis bukunya tentang efek berantai disruption. Dua konsultan HR (human resource) itu mendalami berakhirnya era perantara. Peradaban tersebut membentuk kegiatan serbalangsung. Anda memasuki era fee agent.

Dan, akibatnya, kontrak-kontrak sosial antara perusahaan dan lulusan-lulusan baru itu akan berbeda dengan yang biasa dilakukan generasi sebelumnya saat bekerja. Kontrak sosial antara perusahaan dan karyawan yang ”bisa” tadi (bukan yang sekadar ”tahu”) tak lagi didasarkan pada jangka waktu tahunan, apalagi seumur hidup.

”Bila dulu perusahaan menawarkan permanent job, kini job on demand,” ujarnya. Ini tentu berbeda dengan karyawan pabrik yang harus ada di sekitar mesin dan memupuk keahlian. Mungkin ini soal pekerjaan yang dibutuhkan sewaktu-waktu, tapi perusahaan yang membutuhkan cukup banyak.

Pekerjaan ”on demand” ini sebagian sudah berkembang sejak 20 tahun lalu, tetapi makin marak lima tahun belakangan. Mereka tak hanya bekerja di satu kota, tetapi juga melayani klien di kota yang berbeda-beda. Belakangan ini, misalnya, kita saksikan semakin jarang lulusan fakultas psikologi yang bekerja sebagai pegawai HR (SDM: sumber daya manusia). Mereka mengklaim diri sebagai petugas asongan yang memberikan layanan melakukan testing calon pegawai. Agak mirip dengan tenaga-tenaga lepas pembuat film dan iklan video/televisi yang lebih senang bekerja lepas ketimbang menjadi pegawai.

Masalahnya, sudah siapkah lembaga-lembaga pendidikan melakukan pekerja-pekerja on demand ini? Sudah siapkah negara meremajakan aturan-aturan tentang standar pendidikan? Sudah siapkah orang tua menerima realitas baru itu? Bagi saya, kaum muda harus bisa berubah dari sekadar ”tahu” menjadi ”bisa” mewujudkan gagasannya. Soal pekerjaan, orang ini kelak bisa hidup di mana saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar