Rabu, 14 Desember 2016

Merajut Tenunan Kebangsaan

Merajut Tenunan Kebangsaan
Yudi Latif  ;   Cendekiawan
                                         MEDIA INDONESIA, 13 Desember 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

MASIH adakah simpul perekat yang mempertautkan bayang­an keindonesiaan hari ini? Suatu bangsa, menurut Ben Anderson, ialah suatu ‘komunitas politik terbayangkan’. Setiap bayangan selalu punya ufuk horizon, berupa batas imajiner yang memisahkan ‘kekitaan’ dan ‘kelainan’ (otherness). Dalam pergerakan kemerdekaan, horizon tapal batas kekitaan itu terus diperluas dengan mempertautkan berbagai kelainan dalam fantasi keindonesiaan. Namun, dalam perkembangan keindonesiaan hari ini, tapal batas kekitaan itu terus menciut, dipecah-belah berbagai fantasi kelainan. Agama mestinya memijarkan semangat kasih sayang bagi seru sekalian alam (rahmatan lil-alamin), dengan memandang perbedaan sebagai ajang berlomba dalam kebaikan. Namun, dengan pengerasan-pengekslusifan agama lewat politisasi identitas, ekspresi keagamaan cenderung menolak perbedaan dengan menarik garis demarkasi antara kami dan mereka. Persekolahan berlomba memecah kekitaan atas dasar perbedaan kelas dan status sosial. Sekolah publik, yang mestinya menjadi kuali pelebur ragam identitas, justru menjadi pengukuh perbedaan sosial ketika diskriminasi dan favoritisme atas dasar daya beli mendapat tempat.

Politik yang mestinya menjadi katalis bagi integrasi sosial, dengan mentransendensikan warga dari irasionalitas komunalisme ke rasionalitas publik, malah menjadi sumber disintegrasi dan irasionalitas. Partai politik bersitumbuh, bak cendawan di musim hujan, meretakkan bayangan kebangsaan oleh pertentangan kepentingan pragmatis-elitis. Otonomi daerah tanpa fantasi persatuan memenggal integrasi teritorial, bahkan mengaveling lautan, menurut batas otoritas kabupaten; juga memutus integrasi sosial-nasional, ketika gerak sentrifugal dari perda-perda berbias etnokultural bertubrukan dengan gerak sentripetal dari aspirasi hukum nasional. Pilkada langsung, tanpa mempertimbangkan karakter dan kapasitas lokal, menguatkan kembali tribalisme yang dapat melemahkan solidaritas sosial dan sendi-sendi nasionalisme sipik. Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan kian tertekan oleh kedangkalan pemujaan terhadap hal-hal berbau asing, yang ditimbulkan mentalitas rendah diri. Ruang publik kita dikepung logo dan sebutan asing, yang kerap digunakan secara semena-mena, tanpa melalui proses penerjemahan atau penyerapan yang tepat. Karena bahasa menunjukkan bangsa, pengepungan ruang publik oleh keasingan itu mengisyaratkan goyahnya sendi-sendi kebangsaan.

Pelipatgandaan dan komersialisasi media mendorong ke arah fragmentasi publik. Dalam menjamurnya outlet media dan media sosial, masyarakat dipotong dan diiris ke segmen-segmen spesifik, yang membatasi terpaannya pada isu dan informasi bersama. Suatu homogenitas ruang publik kecil muncul berdampingan, jika tidak menggantikan, heterogenitas ruang publik besar, yang kemudian memecah jagat politik. Bersamaan dengan itu, ketimpangan terjadi antara masalah kebebasan memilih informasi/program dengan perlunya memberikan pendidikan kepada warga. Dalam ketundukannya pada logika komersialisasi, media lebih memenuhi keinginan ketimbang kebutuhan pemirsa. Dalam memenuhi keinginan ini, penurunan dalam kualitas pemberitaan terjadi ketika tuntutan merebut perhatian pemirsa menimbulkan distorsi pemberitaan oleh sensibilitas hiburan; mengaburkan perbedaan yang tegas antara iklan, pesan promosi, dan liputan berita. Implikasi lebih serius, rakyat lebih diperlakukan sebagai segmen konsumen (consumer audiences), ketimbang publik kewargaan (civic public) yang terikat pada kemaslahatan kolektif.

Kebertautan antara proliferasi partai politik, yang miskin jaring­an sosial, serta proliferasi media massa, yang miskin pertanggungjawaban publik, membuat kehidupan politik mengalami proses komodifikasi, yang memecah bayangan kebangsaan atas dasar selera konsumen. Dalam logika konsumen ini, otonomisasi, keterlibatan dan kritisisme massa dalam politik melemah. Preferensi atas partai dan pemimpin politik lebih menekankan kekuat­an daya tarik personal ketimbang kekuatan visi dan program. Akibatnya, seperti memenuhi gambaran Adolf Hitler, “Massa besar rakyat lebih mudah jatuh ke dalam manipulasi para pembohong besar.”

Tiba-tiba saja kita mendapati Indonesia sebagai cermin yang retak. Setiap orang dan kelompok hanya melihat segala sesuatu dari sudut bayangan kepentingan masing-masing. Keakuan dan kekamian mencekik kekitaan. Bersamaan dengan itu, ada retakan yang lebar antara ‘ode’ kemajuan pembangunan dengan realitas krisis kehidupan. Di berbagai kesempatan, elite negeri merayakan kehebatan Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Namun, perkembangan demokrasi tersebut pada kenyataannya tidak menguatkan simpul persatuan dan keadilan. Orde Reformasi melahirkan momentum keterbukaan ruang publik dan pemberdayaan ‘masyarakat sipil’ dan ‘masyarakat politik’. Hal ini ditandai penguatan kembali hak-hak sipil, kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berorganisasi. Walaupun demikian, nilai-nilai demokrasi tidak bisa ditegakkan dengan mudah di tengah kuatnya budaya feodalisme, rendahnya tingkat pendidikan, buruknya situasi ekonomi, dan lemahnya supremasi hukum. Karena itu, transformasi bangsa tidak cukup hanya mengandalkan pembangunan infrastruktur fisik, tetapi juga harus seiring dengan pembangunan suprastruktur mental-budaya. Reformasi sosial tidak akan pernah muncul hanya mengandalkan reformasi kelembagaan politik dan ekonomi, melainkan perlu berjejak pada reformasi sosial-budaya. Reformasi sosial merupakan fungsi dari perubahan proses belajar sosial secara kolektif, yang membawa transformasi tata nilai, ide, dan jalan hidup (ways of life).

Bhinneka tunggal ika

Perhatian terhadap pentingnya variabel budaya harus sejalan dengan pentingnya pemahaman ragam budaya dalam suatu masyarakat bangsa. Terlebih dalam masyarakat plural seperti Indonesia, konsepsi kebudayaan yang ditawarkan hendaknya tidak bersifat monolitik, melainkan harus bersifat monopluralisme (persatuan dalam perbedaan). Kita punya konsepsi kebudayaan yang tepat dan tahan banting dalam slogan Bhinneka Tunggal Ika. Bahwa di satu sisi, kita harus bisa menghargai dan merawat aneka budaya yang ada; pada saat yang sama, kita juga harus bisa memiliki kesanggup­an untuk mencari titik temu di antara ragam perbedaan.

Kehidupan di Tanah Air yang begitu luas wilayahnya, banyak penduduknya, beragam suku dan budayanya, sulit meraih kebaikan dan kebahagiaan hidup bersama tanpa adanya ‘titik temu’. Titik temu itu bernama Indonesia dengan landasan nilai kebersamaannya terkandung dalam Pancasila. Secara historis kelima sila Pancasila merupakan perpaduan (sintesis) dari keragaman keyakinan, paham, dan harapan yang berkembang di negeri ini. Sila pertama merupakan rumusan sintesis dari segala aliran agama dan kepercayaan. Sila kedua merupakan rumusan sintesis dari segala paham dan cita-cita sosial-kemanusiaan yang bersifat transnasional. Sila ketiga merupakan rumusan sintesis dari kebinekaan (aspirasi-identitas) kesukuan ke dalam kesatuan bangsa. Sila keempat merupakan rumusan sintesis dari segala paham mengenai kedaulatan. Sila kelima merupakan rumusan sintesis dari segala paham keadilan sosial-ekonomi.

Secara esensial, setiap sila Pancasila mencerminkan suatu perspektif dari keutuhan integritas kodrat kemanusiaan. Bahwa kodrat manusia pada dasarnya bisa dikerucutkan ke dalam lima unsur (ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan) yang satu sama lain saling terkait, saling menyempurnakan, dalam ikatan cinta kasih yang bisa mengembangkan harmoni dan kerja sama dalam perbedaan. Semangat cinta kasih itulah yang dalam kata kerjanya disebut Bung Karno dengan istilah ‘gotong-royong’. Menurutnya, gotong-royong ialah paham yang dinamis, lebih dinamis daripada kekeluargaan. “Gotong royong ialah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama!” Semangat gotong-royong terasa penting ketika bangsa ini menghadapi krisis multidimensional, yang memerlukan solusi kerja sama multidisiplin dan multiposisi. Banyak orang menyadari akar tunjang dari krisis multidimensional ini ialah krisis jati diri bangsa. Usaha untuk memulihkan krisis jati diri bangsa coba diatasi lewat berbagai prog­ram pendidikan dan pelatihan kepribadian, baik yang berbasis intelligence quotient (IQ), maupun emotional quotient (EQ), dan spiritual quotient (SQ).

Usaha menyelesaikan persoalan jati diri dengan ukuran-ukuran tersebut memang patut diapresiasi, tapi belum memadai. Menurut hemat saya, sisi terlemah manusia Indonesia bukanlah dari sisi kedirian yang bersifat personal, melainkan lebih mencolok pada aspek kedirian yang bersifat publik. Hal ini dengan mudah dilihat bahwa hampir semua hal yang bersifat kolektif mengalami persoalan yang akut; mental bangsa ini juga kedodoran dalam mengembangkan semangat kerjasama; bahkan dalam olahraga yang bersifat beregu, Indonesia sulit meraih prestasi internasional. Krisis pada kedirian yang bersifat publik ini mencerminkan kelalaian dunia pendidikan dan pembudayaan dalam mengembangkan ‘kecerdasan kewargaan’ (civic intelligence quotient). Pendidikan terlalu menekankan kecerdasan personal, dengan mengambaikan usaha mempertautkan keragaman kecerdasan personal itu ke dalam kecerdasan kolektif-kewargaan. Setiap individu dibiarkan menjadi deret ‘huruf’ alfabet, tanpa disusun secara kesatuan dalam perbedaan (bhinneka tunggal ika) ke dalam ‘kata’ dan ‘kalimat’ bersama. Akibatnya, banyak manusia yang baik dan cerdas tidak menjadi warga negara dan penyelenggara negara yang baik dan cerdas (sadar akan kewajiban dan haknya).

Padahal, bangsa Indonesia sebagai masyarakat majemuk, dengan pecahan yang banyak jumlahnya, tidak mungkin bisa dijumlahkan menjadi kebaikan bersama kalau tidak menemukan bilangan penyebut yang sama (common denominator), sebagai ekspresi identitas dan kehendak bersama. Oleh karena itu, pendidikan ‘kecerdasan kewargaan’ berlandaskan Pancasila merupakan jurus pamungkas yang paling dibutuhkan. Manakala tenunan kebangsaan ini robek, mari kita jahit kembali dengan menguatkan nilai keindonesiaan yang terkristalisasi dalam Pancasila!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar