Berbenah
Lewat Moratorium
Mohammad Abduhzen ; Advisor
Institute for Education Reform
Universitas Paramadina; Ketua
Litbang PGRI
|
KOMPAS, 05 Desember
2016
Rencana pemerintah untuk memoratoriun ujian nasional merupakan
langkah tepat yang patut diapresiasi. UN yang sejak awal kontroversial, yang
diasumsikan dapat memacu semangat belajar dan meningkatkan mutu pendidikan,
ternyata tidak terbukti.
Sebagian besar murid dan sekolah merespons kebijakan UN secara
negatif dengan melakukan berbagai kecurangan sehingga menimbulkan kerusakan
yang sistemik pada sistem pembelajaran dan pendidikan kita. Berbagai hasil
penilaian, seperti PISA dan TIMMS, menunjukkan bahwa pendidikan kita hingga
dewasa ini masih berkualitas rendah dan tidak relevan dengan tantangan dan
kebutuhan hidup pada abad ke-21.
Untuk hidup dan sukses pada abad ke-21, diperlukan setidaknya
tiga kemampuan utama, yaitu keterampilan kognitif (cognitive skills) khususnya kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking); keterampilan
interpersonal (interpersonal skills,
yaitu kecakapan berkomunikasi yang meyakinkan (hard communication); dan memiliki kecakapan hidup spesifik (specific life skills).
Kemampuan bernalar dan berkomunikasi meniscayakan perlunya
pembelajaran dialogis karena dengan mengekspresikan berbagai perasaan dan
pikirannya, murid akan jembar akalnya dan terbiasa hidup dan bekerja bersama
orang lain. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas) sesungguhnya telah memfasilitasi pembelajaran dialogis
dengan siswa-aktif. Pasal 1 Ayat (1)
mendefinisikan pendidikan sebagai "usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk...".
Kebijakan UN telah menutup ruang-ruang dialogis sebagai model pembelajaran yang
mencerdaskan dalam arti sesungguhnya. Sekolah, guru, dinas pendidikan, dan
pemerintah daerah memfokuskan berbagai aktivitas pembelajaran sebagai kiat
"sukses pendidikan" yang ditandai oleh tingginya persentase
kelulusan UN. Dengan pola seperti ini, nyaris tak mungkin para guru
mengeksplorasi pembelajaran siswa-aktif dan menginternalisasikan nilai-nilai
untuk pembentukan karakter. Guru pengampu mata pelajaran yang di-UN-kan harus
mengejar target dengan mengedril soal-soal, sedangkan para guru pengampu
pelajaran yang tidak termasuk UN kesulitan karena pelajarannya dianggap para
murid kurang penting dan tak relevan. Dengan kebijakan UN, posisi guru tidak
saja dilematis, tetapi juga terabaikan sehingga meskipun dicanangkan
profesionalisme, tidak ada upaya signifikan dalam peningkatan mutu guru,
kecuali terkait kesejahteraan.
Kenyataan di atas di antaranya telah jadi pertimbangan keputusan
Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat hingga Mahkamah Agung (MA) terhadap UN.
Keputusan PN pada 21 Mei 2007 yang diperkuat Pengadilan Tinggi Jakarta pada 6
Desember 2007 serta dikukuhkan putusan MA 14 September 2009 menetapkan bahwa
pemerintah dengan penyelenggaraan UN telah lalai dalam meningkatkan kualitas
guru, sarana dan prasarana pendidikan, dan lalai dalam memberikan pemenuhan
dan perlindungan HAM terhadap warga negaranya yang menjadi korban UN,
khususnya pada hak-hak atas pendidikan dan hak-hak anak.
Meskipun UN tak bersesuaian dengan UU Sisdiknas; bertentangan
dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van
gewijsde); juga bertentangan dengan berbagai teori pembelajaran dan pendidikan; serta tidak
sesuai asumsi untuk menggiatkan murid belajar dan meningkatkan mutu, bahkan
menimbulkan kerusakan sistemik, pemerintah selama ini berkukuh melaksanakan
UN dengan dasar romantisisme masa lalu yang naif bahwa "dulu pendidikan
kita bermutu karena ada ujian negara".
Oleh sebab itu, gagasan moratorium UN perlu disambut positif
karena membuka peluang berbenah untuk kemajuan.
Moratorium UN
tak meniadakan evaluasi
Evaluasi dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara
nasional tidak dapat dihapuskan karena merupakan tuntutan undang-undang. UU
Sisdiknas No 20/2003 Pasal 57 dan 58
menetapkan dua macam evaluasi yang sasaran, tujuan, metode, penyelenggara,
serta implikasinya berbeda. Pertama, evaluasi dalam rangka pengendalian mutu
sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan. Evaluasi ini dilakukan
terhadap lembaga, program, dan juga peserta didik serta diselenggarakan oleh
lembaga mandiri.
Istilah pemetaan, pengendalian mutu, dan untuk kebijakan adalah
tujuan utama dari evaluasi ini. Evaluasi "peserta didik" terkait
model pengendalian mutu ini, utamanya tidak dimaksudkan untuk menguji hasil
belajar. Akan tetapi, lebih pada mengevaluasi kondisi peserta didik seperti
usia masuk sekolah-sehingga dapat ditentukan angka partisipasi kasar (APK),
biaya personal, dan berbagai kendala yang dihadapi siswa di suatu daerah dan
masalah lainnya yang terkait.
Namun karena salah satu indikator kualitas pendidikan adalah
nilai hasil belajar, tentunya untuk pemetaan mutu, nilai itu diperlukan oleh
lembaga evaluator yang dalam hal ini Badan Standar Nasional Pendidikan
(BSNP). Untuk itu, BSNP dapat memerolehnya melalui sekolah atau dinas
pendidikan, yaitu hasil evaluasi yang dilakukan pendidik. BSNP tak harus menyelenggarakan ujian nasional sendiri,
apalagi dilaksanakan setiap tahun seperti UN selama ini.
Selain itu, BSNP sebagai lembaga mandiri dapat juga memperoleh
data hasil belajar untuk pemetaan itu, melalui sampling berkala empat atau lima tahun
sekali; toh, mutu pendidikan secara agregat tak berubah secara revolusioner
setiap tahun. Jika BSNP merasa perlu
melakukan ujian secara langsung, ujian seperti itu seharusnya tidak
menentukan dan berimplikasi pada kelulusan murid karena hal itu bukan menjadi
tujuannya.
Posisi evaluasi model pertama ini serupa dengan penilaian yang
dilakukan beberapa lembaga internasional, seperti PISA, TIMSS, dan PIRLS,
untuk mengetahui kemampuan bidang matematika, sains, dan membaca.
Lembaga-lembaga ini melakukan pengujian berkala, tidak setiap tahun, dan
secara sampling. Bedanya, BSNP bekerja lebih komprehensif dan detail karena
berada dalam lanskap evaluasi satuan pendidikan yang akan dijadikan dasar
kebijakan peningkatan mutu secara sistemis.
Kedua, evaluasi hasil belajar peserta didik. Evaluasi ini
diselenggarakan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan
hasil belajar murid secara berkesinambungan. Obyek evaluasi ini adalah murid
yang belajar pelajaran tertentu dalam jangka waktu tertentu. Pihak yang
mengevaluasi adalah pendidik atau guru. Untuk evaluasi ini, khazanah
pendidikan kita mengenal istilah "ulangan": ada ulangan harian (tes
formatif) ada pula ulangan umum (tes sumatif). Ulangan umum diberikan setiap
akhir semester atau catur wulan dan jika diberikan padai akhir masa sekolah
disebut ujian akhir yang berimplikasi pada kelulusan.
UN selama ini secara gegabah mencampuradukkan kedua model
evaluasi yang seharusnya dipisah, yaitu dilakukan oleh BSNP sebagai lembaga
eksternal-mandiri, tetapi mengevaluasi hasil belajar yang seharusnya wewenang
pendidik, dan berimplikasi pada kelulusan.
Pertimbangannya barangkali efisiensi, yakni borongan: satu UN
multitujuan. UN inilah yang perlu dimoratorium dan diletakkan (jika diperlukan) sebagai
instrumen evaluasi pengendalian mutu yang sejatinya dapat dilakukan dengan
atau tanpa UN. Jadi, moratorium UN tidak dimaksudkan dan janganlah ditafsirkan
meniadakan evaluasi, apalagi
disimpulkan sebagai sekolah tanpa
ujian.
Sekolah tanpa
UN
Beberapa pendapat menanggapi moratorium UN dengan seolah
pendidikan akan kacau karena akan berjalan tanpa arah, tanpa standar mutu
yang jelas, dan tanpa pemacu murid belajar. Pandangan ini dengan jelas
menunjukkan bagaimana sebagian masyarakat kita salah kaprah terhadap UN dan
menjadikannya sebagai dasar dan tujuan. Padahal, UN seyogianya berada di
rangkaian paling ujung (yang tak terlalu penting?) dari sistem pendidikan
kita. Tanpa UN setiap tahun, atau bahkan tanpa UN sama sekali, pendidikan
kita akan berlangsung baik-baik saja.
Dengan UN selama tiga belas tahun belakangan ini, apakah
pendidikan kita makin baik, makin bermutu?
Tidak ada yang perlu dikhawatirkan sekolah tanpa UN karena
sekolah berjalan dalam sebuah sistem pendidikan nasional yang bertujuan.
Tujuan pendidikan diderivasi di antaranya ke dalam kurikulum, standar isi,
standar kompetensi lulusan, dan standar lainnya yang memandu arah operasionalisasi
sekolah dan guru dalam bekerja.
Selain itu, para guru bekerja dengan rasa tanggung jawab yang
didasarkan pada ilmu pengetahuan yang memiliki logika dan sistematika yang
tersusun rapi sehingga mereka tidak bekerja secara manasuka. Maka, kompetensi
guru, utamanya kompetensi pedagogik dan kompetensi profesional menjadi sangat
penting dan harus jadi perhatian pemerintah setelah moratorium UN. Pengaruh
UN terhadap mutu pendidikan kecil sekali. Mutu pendidikan sangat dipengaruhi
oleh proses interaksi guru dan murid dalam pembelajaran. John Hattie (2003),
profesor pendidikan dari Selandia Baru, mengatakan, pengaruh guru 30 persen
terhadap kesuksesan belajar di sekolah.
Pemerintah sudah berada pada jalur yang benar jika memoratorium
UN sebagaimana tepatnya ketika menetapkan guru sebagai profesi, meskipun
belum cukup signifikan melakukan intervensi terhadap mutu. Moratorium UN
janganlah setengah-setengah sekadar untuk berbasa-basi karena akan meruwetkan
kebijakan berikutnya, yaitu perbaikan proses pembelajaran.
Setelah UN tiada, perhatian pemerintah harus fokus pada
peningkatan mutu guru secara fundamental, total, dan gradual. Revolusi mental
guru adalah kunci pembenahan kinerja guru. Tanpa itu, moratorium UN tidak
banyak manfaatnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar