Minggu, 05 Februari 2017

Rayap-Rayap di Ruang Mahkamah

Rayap-Rayap di Ruang Mahkamah
Suparto Wijoyo  ;  Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum,
Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana,
Universitas Airlangga
                                               KORAN SINDO, 03 Februari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PUBLIK mengetahui bahwa rayap hanyalah binatang kecil yang dalam kesendiriannya tampak lemah, tetapi kerumunannya dapat menjadi ancaman besar konstruksi bangunan rumah, gedung, dan perkantoran. Gerakan senyap dari koloni rayap mampu menghancurkan struktur perabotan, bahkan balok kayu lumat diempas penggerogotan kolosal hewan lembut yang berpenampilan kalem seolah tanpa daya itu.

Pada skala kelembagaan dan laku sosial, rayap-rayap itu bermetamorfosis maujud dalam perbuatan melawan hukum serta mengabaikan moral yang mengancam kekokohan negara. Suap, pungli, korupsi, dan tindakan lain yang acapkali dilakukan secara sembunyi-sembunyi serta bersifat destruktif adalah manifestasi paling kentara tentang kehadiran dunia rayap.

Hubungan transaksional dalam penyelesaian sengketa di lembaga peradilan merupakan ancaman yang menodai, pun menggerogoti negara hukum. Wibawa aparatur hukum hancur tanpa martabat dan dipandang hina oleh khalayak. Inikah wajah lembaga peradilan itu, termasuk yang berkerumun di ruang-ruang Mahkamah Konstitusi (MK)?

Ini Peristiwa Besar

Apa yang terekam dalam pemberitaan media sepakan ini sudah sangat menyita perhatian pembaca. Dari warung-warung kopi pinggir jalan sampai kafe-kafe kelas tinggi mencuat perbincangan atas peristiwa yang menggemparkan jagat hukum Indonesia.

Di tengah suasana indah warga bangsa merajut kebahagiaan melepas Tahun Monyet Api 2567 dan sejenak memberi makna perayaan Imlek, Tahun Ayam Api 2568, langit hukum diramaikan suara gemuruh penangkapan Patrialis Akbar, hakim MK, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sebuah operasi tangkap tangan (OTT) yang semakin menunjukkan kelamnya dunia peradilan Indonesia. Ini pastilah bukan kado istimewa, melainkan potret buram MK yang membuat publik semakin apatis atas keberadaan hukum. 

MK dinilai tidak mampu menjaga marwah dan integritas hakim-hakimnya. Tertangkap dalam OTT adalah peristiwa besar yang memperhinakan MK. Hati-hati adalah pesan moral yang harus dipegang oleh setiap orang. 

OTT atas Patrialis Akbar dengan segala kontroversinya sejatinya mengorek kembali kejadian serupa yang dialami Ketua MK saat itu Akil Mochtar yang disergap KPK pada 2 Oktober 2013. Ingatan yang mustinya telah digerus waktu dan tampak sedikit memudar itu, kini menggumpalkan kembali memori bahwa MK ternyata belum bersih dari “rayap-rayap” yang menggerogoti dirinya.

Anehnya, penggerogotan itu justru melibatkan simbol utama bangunan MK sendiri. Rayap menyelinap dengan suap yang merontokkan karakter MK.

Integritas hakim-hakim MK digugat khalayak. Sejurus itu, Ketua MK Arief Hidayat tidak punya alternatif lain kecuali mendukung KPK untuk mengusut tuntas masalah ini, termasuk semua staf MK tanpa harus menunggu persetujuan Presiden.

Perlu diketahui bahwa Patrialis Akbar diangkat sebagai hakim MK pada 22 Juli 2013 berdasarkan Keppres Nomor 87/2013 melalui jalur pemerintah. Ini baginya keberhasilan besar karena pada 2008 telah berikhtiar mengikuti seleksi calon hakim MK melalui jalur DPR, tetapi gagal.

Memperebutkan profesi menjadi hakim MK merupakan impian banyak orang, mengingat jabatan hakim MK sangatlah prestisius laksana “dewa hukum”. Dewa yang mengemban amanat penuh kehormatan dalam mengusung supremasi negara hukum (rechtsstaat).

Kehebatan MK

Simaklah bagaimana wewenang MK diatur Pasal 24C UUD 1945: MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

MK bahkan wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan/atau wakil presiden menurut UUD. Kewenangan ini telah dikembangkan dalam UU Mahkamah Konstitusi dengan tanggung jawab yang besar.

Hal itu berarti MK menjadi peradilan yang sangat otoritatif karena yang diadili adalah norma hukum yang terkandung dalam undang-undang. Undang-undang yang diproduksi pemerintah dan DPR RI diuji tingkat konstitusionalitasnya oleh MK.

Sementara peradilan lain hanyalah mengadili perbuatan orang untuk dijerat peraturan perundang-undangan. Betapa hebat dan strategisnya posisi MK. Undang-undang yang secara institusional memiliki bobot demokrasi sangat besar melalui limpahan kedaulatan rakyat ke tangan presiden dan DPR bisa dibatalkan MK.

Dengan demikian, perspektif yuridis-substantif dan filosofis, hakim-hakim MK adalah “malaikat hukum” yang berfungsi menjaga produk hukum agar sejiwa dengan UUD 1945.

Dengan kedudukan itulah, ruang-ruang sidang MK bagaikan “istana hukum” yang mengesankan seluruh warga negara. MK menjadi pembawa obor penerang yang menuntun dan menjaga jalan konstitusi.

Untuk itulah, Peraturan MK No 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi menyebutkan bahwa hakim konstitusi sebagai pejabat yang melaksanakan kekuasaan kehakiman harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, dan negarawan dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat.

“The Bangalore Principles”

Kode etik itu sudah sangat jelas pesannya. Apalagi dalam “buku putih” penyusunan kode etik dan perilaku hakim konstitusi telah dijelaskan bahwa kode etik dimaksud merujuk pada “The Bangalore Principles of Judicial Conduct 2002” yang telah diterima baik oleh negara-negara yang menganut sistem “civil law” maupun “common law” serta disesuaikan dengan sistem hukum dan peradilan Indonesia dan etika kehidupan berbangsa sebagaimana termuat dalam Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.

“The Bangalore Principles”, yang menetapkan prinsip independensi (independence), ketakberpihakan (impartiality), integritas (integrity), kepantasan dan kesopanan (propriety), kesetaraan (equality), kecakapan dan keseksamaan (competence and diligence), serta nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia, yaitu prinsip kearifan dan kebijaksanaan (wisdom) sebagai kode etik hakim konstitusi beserta penerapannya, digunakan sebagai rujukan dan tolok ukur dalam menilai perilaku hakim konstitusi guna mengedepankan kejujuran, amanah, keteladanan, kekesatriaan, sportivitas, kedisiplinan, kerja keras, kemandirian, rasa malu, tanggung jawab, kehormatan, serta martabat diri sebagai hakim konstitusi. Betapa mulianya isi Kode Etik Hakim MK.

Lantas, apa yang terjadi dengan MK pasca-OTT KPK? Rakyat menyaksikan ruang-ruang MK terlihat meredup, kelam dalam gulita. Ruang sidang itu tengah mengalami gerhana total yang menyorongkan kegelapan.

Pendar cahaya  ayat-ayat konstitusi terhalang oleh gerak gerhana yang merisaukan hati pencari keadilan. Belum lagi rayap yang menyergap dengan ganas. Akankah sinar peradilan MK berubah menjadi labirin hukum yang samar-samar dalam mendalilkan kebenaran?

Masihkah MK bisa dipercaya tatkala ada hakim yang terantuk di lubang yang sama? Tontonan ini melengkapi kegelisahan rakyat sebab keterlibatan berbagai aparat penegak hukum dalam kasus serupa sudah menjadi konsumsi harian.

Dalam kegelapan, orang tidak dapat menatap dengan terang singgasana keadilan, juga tidak sanggup membaca pasal-pasal hukum secara cermat. Pada titik inilah hakim musti merenungi kembali kearifan bahwa “mata memang tidak dapat menerawangkan tenunan benang dalam pekatnya malam, tetapi batin pastilah mampu menyibak gelapnya gerhana karena nurani tidak pernah berdusta”. Inilah pesan yang kuantarkan pada MK.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar