Rabu, 01 Februari 2017

Politisi, Penegak Hukum, dan Hakim

Politisi, Penegak Hukum, dan Hakim
Hendardi  ;  Ketua Badan Pengurus Setara Institute
                                            MEDIA INDONESIA, 31 Januari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SEORANG hakim MK Patrialis Akbar ditangkap KPK pada 25 Januari 2017 di pusat perbelanjaan Grand Indonesia, Jakarta, dalam sebuah operasi tangkap tangan (OTT). Dua lokasi OTT atas tersangka lainnya di lapangan golf Rawamangun dan di sebuah kantor perusahaan di Sunter. Seluruhnya 11 orang ditangkap dan empat orang ditetapkan menjadi tersangka. Penangkapan itu atas dugaan suap terkait dengan uji materiil (judicial review) UU No 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Sebanyak US$20 ribu dan S$200 ribu atau senilai Rp2,15 miliar disita, berikut dokumen perusahaan, voucer penukaran mata uang asing, serta draf putusan perkara nomor 129.

Kejadian itu menjadi pelajaran bahwa lembaga penegak hukum dan kehakiman seharusnya bersih dari kalangan politisi atau unsur politik. Apalagi, MK berwenang mengadili gugatan dalam sengketa pemilu dan pilkada, selain uji materiil atas UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.

Terperosok dua kali

Penangkapan itu ialah kali kedua setelah mantan Ketua MK Akil Mochtar yang ditangkap pada 2 Oktober 2013 malam di rumahnya bersama seorang anggota DPR dan seorang pengusaha. KPK menyita sejumlah uang dolar Singapura dan dolar AS yang besarnya sekitar Rp2,5 miliar hingga Rp3 miliar.

Dengan kejadian yang menimpa Patrialis itu dapat dipandang bahwa MK telah terperosok dua kali dalam kasus suap dalam rentang 3 tahun lebih 3 bulan. Menurut Ketua Dewan Etik MK Abdul Mukti Fajar, Patrialis ialah anggota hakim MK yang paling sering tersandung persoalan dan mendapat teguran. Sangkaan suap ini kembali mencoreng wibawa MK sebagai 'benteng konstitusi.'

Kedua kasus itu memang bersifat perorangan sebagai kasus pidana. Namun, kasus ini terkait dengan wewenang dan profesinya sebagai hakim, khususnya hakim konstitusi. Patrialis berhubungan dengan seorang pemilik 20 perusahaan yang mendapatkan kuota impor daging sapi. Suap yang diduga diterimanya lewat seorang perantara bakal menguntungkan pengusaha tersebut jika uji materiil dikabulkan.

Jika dilihat dari dua kasus itu mempunyai garis relasi dengan pengusaha dari mana uang suap itu berasal. Dalam kasus Akil, selain pengusaha, juga melibatkan politisi. Pertama, Akil terbukti terlibat suap dalam proses penyelesaian sengketa pilkada Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Kedua, sengketa pilkada Lebak, Banten, yang diperkarakan di MK. Ketiga, terseret pula dalam kasus pencucian uang.

Dari tangan Akil, KPK sukses menyita harta atau aset bernilai nyaris mencapai Rp200 miliar. Selain uang termasuk juga di rekeningnya, disita pula rumah dan kendaraan. Sebanyak 18 mobil dan 31 motor telah disita. Pada 30 Juni 2014 di Pengadilan Tipikor Jakarta, dia terbukti melakukan pengurusan beberapa sengketa pilkada dan pencucian uang serta dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.

Sementara Patrialis telah membantah menerima suap, tidak menerima Rp1 pun dari seorang pengusaha-pernah diperiksa dalam kasus kuota impor daging sapi yang melibatkan mantan Presiden PKS-yang ikut ditangkap KPK. Dia juga merasa dizalimi sebagai korban, diperlakukan tidak adil. KPK pun sudah menggeledah rumahnya pada 27 Januari.

Sekarang terpulang pada KPK. Bagaimana KPK menjelaskan OTT yang dilakukan di Pengadilan Tipikor? Apakah KPK dapat membuktikan telah terjadi perbuatan suap atau janji menerima gratifikasi?

Cabut politisi

Seleksi terhadap Patrialis sebagai calon hakim agung dinilai tidak transparan berdasarkan Keppres SBY pada 29 Juli 2013. Setelah digugat, dia dikandaskan PTUN, tetapi menang di tingkat banding. Dia pun menjabat hakim MK untuk periode 2013-2018, menggantikan Achmad Sodiki yang pensiun. Persoalannya, bukan karena mekanisme seleksinya saja yang tidak transparan, melainkan juga yang tak kalah pentingnya ialah Patrialis tergolong politisi dari PAN. Dia pernah menjabat Menteri Hukum dan HAM dalam kabinet SBY selama 2009-2011 sebelum digantikan Amir Syamsuddin dari Partai Demokrat.

Seharusnya, setiap orang yang bergabung dalam sebuah parpol tidak boleh atau dilarang mengikuti seleksi menjadi calon hakim dan penegak hukum, terutama menjadi pejabat atau pimpinan kedua lembaga tersebut. Larangan ini sebaiknya didasarkan atas UU sehingga Keppres, usulan DPR, dan MA segera mencabut politisi dari pencalonan.

Pertama, para politisi sudah disediakan lapangan kerjanya di pemerintahan dan parlemen baik di pusat maupun daerah. Mereka bisa berkesempatan jadi presiden, menteri, gubernur, bupati, wali kota, dan pejabat pemerintahan lainnya, selain berkesempatan jadi anggota DPR/MPR, DPD, dan DPRD. Masih ada lagi kesempatan jadi duta besar dan komisaris BUMN.

Dengan besarnya peluang kerja atau 'mengabdi' di bidang politik itu seharusnya politisi tidak berkarakter 'serakah' dengan menambah terkamannya terhadap profesi atau pejabat di lembaga penegak hukum dan kehakiman. Hal ini tidak berarti politisi yang dimaksud tidak profesional, tetapi untuk mencegah 'keserakahan'.

Kedua, pejabat dan profesi penegak hukum dan hakim ialah mereka yang seharusnya bersih dari kepentingan politik. Setiap penegak hukum dan hakim selalu dituntut untuk menjalankan prinsip imparsial atau tidak memihak, independen, dan akuntabel, terutama dalam menangani suatu kasus atau perkara karena kedua profesi itu diharapkan bisa menggerakkan proses hukum menuju keadilan, bukan untuk menguntungkan kepentingan suatu kelompok. Politisi yang masuk menggeluti kedua profesi ini telah menambah satu kepentingan politik yang dibawanya. Bukan berarti politisi tidak dapat melepaskan, tetapi bukan pula hal gampang membersihkan dari kepentingan tersebut.

Ketiga, sudah sering terjadi di mana politisi berbicara dan berperilaku kurang jujur dan transparan yang mengesankan ada sesuatu yang disembunyikan. Ibarat kata pepatah, lain di bibir lain pula di hati. Terkadang juga mencla-mencle. Suatu hari berkomitmen, tetapi pada hari yang lain dilanggarnya.

Dengan begitu, profesi dalam lembaga penegak hukum seperti polisi, jaksa, serta komisioner, dan pegawai KPK harus dijauhkan dari kepentingan politik, apalagi orang-orang yang berasal dari suatu partai. Sementara hakim ialah suatu profesi yang mulia. Profesi ini harus bersih dari bau politik. Kita selayaknya belajar dari berantakannya wibawa MK gara-gara ulah mantan ketuanya, Akil Mochtar. Dalam kasus suapnya, dia juga menyeret politisi Golkar, Chairun Nisa, yang menguatkan dugaan kaitannya dengan kepentingan politik. Terakhir, ditambah lagi dengan kasus Patrialis.

Dari argumen dan contoh kasus itu kiranya sudah selayaknya dipertimbangkan DPR dan pemerintah untuk mencabut politisi dari profesi dan posisi pejabat penegak hukum dan kehakiman agar mencegah keruwetan kepentingan mengiringi kedua lembaga tersebut. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar