Rabu, 15 Februari 2017

Menguji Visi-Misi Calon Gubernur Jakarta

Menguji Visi-Misi Calon Gubernur Jakarta
Tulus Abadi  ;   Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
                                                   TEMPO.CO, 14 Februari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Besok pagi, warga Jakarta akan menggelar pesta demokrasi. Sebuah pesta yang bernuansa pemilihan presiden, bahkan lebih panas. Dengan dinamika politik yang jauh lebih dominan, pesta ini sampai lupa membincangkan program dan visi-misi pasangan calon.

Saya ditunjuk oleh Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta sebagai salah satu panelis untuk debat calon gubernur edisi kedua, akhir Januari lalu. Temanya, "Reformasi Birokrasi, Layanan Publik, dan Penataan Kawasan Perkotaan". Dari situlah saya mencoba "memelototi" visi-misi kandidat, baik saat debat maupun dari dokumen tertulisnya.

Ada beberapa catatan mengenai hal tersebut. Pertama, meminjam istilah Gunawan Tjahyono, guru besar arsitek Universitas Indonesia yang juga menjadi panelis, visi-misi mereka masih berfokus pada sisi mekanis bak seorang insinyur, bukan pilot. Padahal yang dibutuhkan Jakarta adalah pilot, yang bisa menentukan arah dan tujuan DKI ke depan.

Kedua, pada konteks isu yang digagas, tampaknya kandidat masih terjebak pada persoalan hilir, bukan persoalan hulu. Padahal kompleksitas persoalan Kota Jakarta lebih banyak permasalahan di hulu. Jadi, sebagus apa pun visi-misinya, jika masih berfokus pada sisi hilir, tidak akan mampu menyelesaikan inti persoalannya. Sebagai contoh, kebijakan inkumben dalam hal reformasi birokrasi dengan cara menaikkan gaji PNS secara signifikan. Mampukah hal itu menjadi daya dorong ke arah budaya kerja yang lebih sehat dan produktif? Tampaknya hal itu belum terbukti. Kepatuhan PNS Jakarta tampak didominasi rasa takut terkena sanksi, bukan karena kesadaran dan kebutuhan.

Dalam soal layanan publik, seperti penanganan sampah, pasokan air bersih, pelayanan angkutan umum, dan sektor kesehatan, pandangan ketiga pasangan calon tampak belum tajam. Pertama, soal sampah, semua kandidat masih melihat sampah sebagai sumber masalah yang membebani anggaran. Belum satu pun pasangan yang berbicara bahwa sampah bukan masalah, tapi justru bisa menjadi sumber pendapatan baru.

Kedua, program pelayanan angkutan umum dan mengatasi kemacetan. Semua pasangan masih normatif, belum punya ide radikal untuk menyelesaikannya. Padahal inilah masalah paling akut dari Kota Jakarta. Memang program semua calon ingin memperkuat peran angkutan umum, baik dari sisi akses maupun tarif. Namun, sayangnya, keberadaan Transjakarta belum mendapat perhatian serius. Misalnya, bagaimana memperkuat peran Transjakarta?

Benar, pasangan nomor dua berbicara akan menambah armadanya. Namun mereka tidak menyorot bagaimana membuat jalur Transjakarta benar-benar steril dari intervensi kendaraan bermotor pribadi. Keduanya juga gagal mendorong upaya migrasi warga Jakarta dari pengguna kendaraan pribadi menjadi pengguna Transjakarta.

Ketiga, masalah pasokan air bersih. Pasangan nomor tiga tampak lebih bagus: dari sisi hulu ingin membuat zero run off. Jadi, air hujan tidak langsung hanyut ke laut, tapi meresap ke dalam tanah, menjadi tabungan air. Namun tidak ada upaya untuk memperkuat peran Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). PDAM DKI hingga kini hanya mampu memasok 55 persen dari total populasi warga Jakarta. Mayoritas pelanggannya hanya menjadikan air PDAM sebagai aktivitas mandi-cuci-kakus. Padahal seharusnya air PDAM DKI langsung bisa diminum dari keran.

Keempat, pelayanan kesehatan. Semua pasangan calon berfokus pada perbaikan infrastruktur kesehatan, seperti membangun rumah sakit, merevitalisasi puskesmas menjadi rumah sakit, memperbarui alat-alat kesehatan, bahkan menambah tenaga kesehatan. Ini semua kebijakan yang bagus. Namun, sekali lagi, ini masalah hilir. Program mereka berkutat pada sisi kuratif saja. Sedangkan dari sisi hulu, sisi preventif-promotif, agar masyarakat tidak sakit, tidak ada yang menyentuhnya.

Kota Jakarta membutuhkan pemimpin visioner, bahkan seorang futurolog yang bisa membawa DKI lebih terarah, manusiawi, dan nyaman ditinggali. Analogi dengan sebuah pesawat terbang, yang dibutuhkan Kota Jakarta adalah seorang pilot, bukan teknisi. Jika dilihat dari visi-misi dan program-programnya, para pasangan calon Gubernur DKI Jakarta masih memerankan diri mereka sebagai seorang insinyur.

Persoalan dan solusi yang ditawarkan masih sebatas isu hilir, pinggiran, dan bukan hulu. Pelayanan publik yang sangat vital, seperti angkutan umum, penanganan  sampah, jaminan kesehatan, dan pasokan air bersih, belum menjadi jaminan akan membaik signifikan selama lima tahun ke depan, siapa pun gubernurnya.

Namun, pada akhirnya, warga Jakarta harus memilih salah satu pasangan calon dengan segala plus-minusnya sebagai bentuk pengejawantahan hidup berdemokrasi dan bernegara. Selamat memilih.  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar