Menguji
Visi-Misi Calon Gubernur Jakarta
Tulus Abadi ;
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga
Konsumen Indonesia
|
TEMPO.CO, 14 Februari 2017
Besok pagi,
warga Jakarta akan menggelar pesta demokrasi. Sebuah pesta yang bernuansa
pemilihan presiden, bahkan lebih panas. Dengan dinamika politik yang jauh
lebih dominan, pesta ini sampai lupa membincangkan program dan visi-misi
pasangan calon.
Saya ditunjuk
oleh Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta sebagai salah satu panelis untuk debat
calon gubernur edisi kedua, akhir Januari lalu. Temanya, "Reformasi
Birokrasi, Layanan Publik, dan Penataan Kawasan Perkotaan". Dari situlah
saya mencoba "memelototi" visi-misi kandidat, baik saat debat
maupun dari dokumen tertulisnya.
Ada beberapa
catatan mengenai hal tersebut. Pertama, meminjam istilah Gunawan Tjahyono,
guru besar arsitek Universitas Indonesia yang juga menjadi panelis, visi-misi
mereka masih berfokus pada sisi mekanis bak seorang insinyur, bukan pilot.
Padahal yang dibutuhkan Jakarta adalah pilot, yang bisa menentukan arah dan
tujuan DKI ke depan.
Kedua, pada
konteks isu yang digagas, tampaknya kandidat masih terjebak pada persoalan
hilir, bukan persoalan hulu. Padahal kompleksitas persoalan Kota Jakarta
lebih banyak permasalahan di hulu. Jadi, sebagus apa pun visi-misinya, jika
masih berfokus pada sisi hilir, tidak akan mampu menyelesaikan inti
persoalannya. Sebagai contoh, kebijakan inkumben dalam hal reformasi
birokrasi dengan cara menaikkan gaji PNS secara signifikan. Mampukah hal itu
menjadi daya dorong ke arah budaya kerja yang lebih sehat dan produktif?
Tampaknya hal itu belum terbukti. Kepatuhan PNS Jakarta tampak didominasi
rasa takut terkena sanksi, bukan karena kesadaran dan kebutuhan.
Dalam soal
layanan publik, seperti penanganan sampah, pasokan air bersih, pelayanan
angkutan umum, dan sektor kesehatan, pandangan ketiga pasangan calon tampak
belum tajam. Pertama, soal sampah, semua kandidat masih melihat sampah
sebagai sumber masalah yang membebani anggaran. Belum satu pun pasangan yang
berbicara bahwa sampah bukan masalah, tapi justru bisa menjadi sumber
pendapatan baru.
Kedua, program
pelayanan angkutan umum dan mengatasi kemacetan. Semua pasangan masih
normatif, belum punya ide radikal untuk menyelesaikannya. Padahal inilah
masalah paling akut dari Kota Jakarta. Memang program semua calon ingin
memperkuat peran angkutan umum, baik dari sisi akses maupun tarif. Namun,
sayangnya, keberadaan Transjakarta belum mendapat perhatian serius. Misalnya,
bagaimana memperkuat peran Transjakarta?
Benar,
pasangan nomor dua berbicara akan menambah armadanya. Namun mereka tidak
menyorot bagaimana membuat jalur Transjakarta benar-benar steril dari
intervensi kendaraan bermotor pribadi. Keduanya juga gagal mendorong upaya
migrasi warga Jakarta dari pengguna kendaraan pribadi menjadi pengguna
Transjakarta.
Ketiga,
masalah pasokan air bersih. Pasangan nomor tiga tampak lebih bagus: dari sisi
hulu ingin membuat zero run off. Jadi, air hujan tidak langsung hanyut ke
laut, tapi meresap ke dalam tanah, menjadi tabungan air. Namun tidak ada
upaya untuk memperkuat peran Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). PDAM DKI
hingga kini hanya mampu memasok 55 persen dari total populasi warga Jakarta.
Mayoritas pelanggannya hanya menjadikan air PDAM sebagai aktivitas mandi-cuci-kakus.
Padahal seharusnya air PDAM DKI langsung bisa diminum dari keran.
Keempat,
pelayanan kesehatan. Semua pasangan calon berfokus pada perbaikan
infrastruktur kesehatan, seperti membangun rumah sakit, merevitalisasi
puskesmas menjadi rumah sakit, memperbarui alat-alat kesehatan, bahkan
menambah tenaga kesehatan. Ini semua kebijakan yang bagus. Namun, sekali
lagi, ini masalah hilir. Program mereka berkutat pada sisi kuratif saja.
Sedangkan dari sisi hulu, sisi preventif-promotif, agar masyarakat tidak
sakit, tidak ada yang menyentuhnya.
Kota Jakarta
membutuhkan pemimpin visioner, bahkan seorang futurolog yang bisa membawa DKI
lebih terarah, manusiawi, dan nyaman ditinggali. Analogi dengan sebuah
pesawat terbang, yang dibutuhkan Kota Jakarta adalah seorang pilot, bukan
teknisi. Jika dilihat dari visi-misi dan program-programnya, para pasangan
calon Gubernur DKI Jakarta masih memerankan diri mereka sebagai seorang
insinyur.
Persoalan dan
solusi yang ditawarkan masih sebatas isu hilir, pinggiran, dan bukan hulu.
Pelayanan publik yang sangat vital, seperti angkutan umum, penanganan sampah, jaminan kesehatan, dan pasokan air
bersih, belum menjadi jaminan akan membaik signifikan selama lima tahun ke
depan, siapa pun gubernurnya.
Namun, pada
akhirnya, warga Jakarta harus memilih salah satu pasangan calon dengan segala
plus-minusnya sebagai bentuk pengejawantahan hidup berdemokrasi dan
bernegara. Selamat memilih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar