Memilih
Ketua MA Berkarakter
Suparto Wijoyo ;
Sekretaris Badan Pertimbangan Fakultas Hukum
dan Koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana
Universitas Airlangga
|
JAWA
POS, 14
Februari 2017
MENURUT
informasi yang diterima publik, Selasa (14/2) Mahkamah Agung (MA) menggelar
rapat pemilihan ketua. Suatu peristiwa internal yang memiliki implikasi luas
bagi pencari keadilan. MA berubah lebih baik ataukah sekadar menjalankan
rutinitas yang datar-datar saja. Pemilihan ketua MA menjadi titik simpul yang
menentukan potret negara hukum ke depan. Selama 2016, terjadi peristiwa yang
menggerogoti wibawa MA. Sebanyak 13 insan peradilan diciduk KPK. Komisi
Yudisial (KY) telah menerima 1.682 laporan pelanggaran kode etik dan pedoman
perilaku hakim. Sebanyak 87 hakim diberi rekomendasi KY untuk disanksi.
Perinciannya, 57 hakim disanksi ringan, 19 disanksi sedang, dan 11 lainnya
disanksi berat. Kondisi itu menggambarkan problematika manajemen di puncak
lembaga peradilan.
Angka-angka
tersebut bukan sekadar nomor statistik belaka, tetapi mencerminkan realitas
yang menambah kegelisahan awam. MA mesti terpanggil untuk mengawal negara
hukum ini, jangan sampai ditenggelamkan menjadi negara kekuasaan (machtsstaat). Kehendak kuasa sudah
berlaku lebih berdaulat daripada kekuatan norma hukum. Apa yang terjadi
dengan MA, mulai kasus yang dilaporkan ke KY, ditindak KPK, sampai yang
mewarnai penangkapan Patrialis Akbar selaku hakim Mahkamah Konstitusi, telah
menyebarkan bau tidak sedap dari ruang kedua mahkamah.
MA sebagai
lembaga yang membawa mandat hukum untuk membangun ornamen supremasi hukum
jangan diruntuhkan sendiri oleh penghuninya. Berbagai media sudah membeber
kasus-kasus lembaga peradilan kepada para pembacanya.Kasus yang menyeret ke
titik paling nadir pengadil itu senantiasa berujung inti cerita yang
menyangkut takhta-harta-wanita. Ruang sidang pengadilan mencuatkan berita
tentang betapa kelamnya langit hukum. Hakim-hakim MA mesti menyadari bahwa
jatidirinya terus disorot. Maka, bertindaklah yang adil.
Sikap menjaga
integritas pastilah pilihan tunggal dan utama karena betapa sulit untuk
menjadi hakim agung. Hakim agung adalah kedudukan prestisius laksana ”dewa
keadilan” yang mengemban pesan penuh kehormatan. MA merupakan puncak
peradilan. Di sinilah harkat negara hukum dipertaruhkan.
Simaklah
pengaturan MA dalam pasal 24 UUD 1945: Kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah MA dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata
usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Pasal 24A UUD 1945
menentukan: MA berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan
mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Hakim agung
harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil,
profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.
Betapa mulia
hakim MA sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka. MA
mempunyai peran terpenting dalam mengawal prinsip negara hukum sesuai dengan
kewenangan dan kewajibannya sebagaimana ditentukan UUD 1945. Betapa penting
peran MA dalam pembangunan hukum nasional (legal development). Dengan
demikian, secara yuridis-substantif dan filosofis, hakim-hakim MA merupakan
”malaikat hukum” yang berfungsi menakhodai wibawa negara hukum.
Karena
tingginya derajat hukum MA, subjek hukum menatap MA bagaikan ”istana hukum”
yang mengesankan seluruh warga negara. MA membawa obor penerang yang memandu
agar keadilan hadir sebagai jiwa warga negara. Lantas, apa yang terjadi
dengan ribuan pengaduan ke lembaga KY? Sinar cemerlang MA dapat meredup di
pikiran perindu keadilan, kelam dalam gulita. Ruang sidang dinilai sedang
mengalami gerhana total yang menyorongkan kegelapan. Pendar cahaya ayat-ayat
hukum terhalang mendung KKN yang merisaukan hati.
Memilih ketua
MA yang berkarakter akan mengubah labirin hukum yang samar-samar dalam
mendalilkan kebenaran, menjadi mozaik indah keadilan. Ketua MA mutlak
terpanggil untuk membenahi MA agar terus menjaga martabatnya. Pembenahan sebaiknya
bermula dari insan penjaga hukum yang memainkan peran di ruang-ruang sidang
MA. Dalam situasi demikian, memilih ketua MA yang berintegritas adalah
pekerjaan besar sejurus dengan perbaikan rekrutmennya. Perlu kembali
diingatkan eksistensi dan fungsi hakim MA agar selalu berakhlak sesuai kode
etik dan pedoman perilaku hakim yang harus dipatuhi.
Setiap hakim
MA dalam menjalankan tugasnya terpanggil untuk menjaga integritas serta
kepribadian yang tidak tercela, adil, dan profesional. Ketua MA harus selalu
waspada, tanggap dan terjaga, serta tidak salah bertindak –tidak gagap dalam
menghadapi situasi apapun. Ketua MA mengikuti peribahasa Madura,”Mella’e
pettengnga bingong e’leggana.”Yakni teguh berpegang prinsip, tak goyah oleh
ajakan menyimpang apapun. Makna peribahasa itu adalah menatap di kegelapan,
bingung di keluasan. Sebuah ungkapan yang menggambarkan hilangnya
pertimbangan nalar saat menghadapi luasnya bentang cakrawala.
Ketua MA
tidaklah pantas mengalami kebingungan dalam menghadapi ulah para pihak yang
beperkara, seluas dan sebesar apa pun kekuatan mereka. Sehubungan dengan itu,
sebagai penutup, saya teringat pula hukum ke-47 dari buku The 48 Laws of
Power karya Robert Greene (2007): Jangan melebihi sasaran yang telah Anda
tentukan, dalam hal kemenangan belajarlah untuk tahu kapan harus berhenti.
Selamat memilih ketua MA. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar