Memilih
demi Kemanusiaan
Silvian M Mongko ;
Pengamat
Politik
|
MEDIA
INDONESIA, 15 Februari 2017
BERBEDA secara
politik kerap kali dianggap sebagai musuh yang mesti ditumbangkan. Berbeda
memendam potensi konflik yang sekian sering meresahkan harmoni sosial di
republik ini. Padahal, bangsa ini telah mengajari anak-anaknya untuk menerima
perbedaan sebagai kekayaan hidup, sekaligus sebagai kekuatan bersama sebagai
suatu bangsa. Karena itu, hargailah perbedaan! Suatu wasiat keindonesiaan
yang mesti terus dipelihara dan dijaga anak-cucu bangsa ini.
Menerima demokrasi
Jika ingin
Indonesia tetap dan terus ada, tidak bisa tidak, identitas-identitas
perbedaan kultural perlu dilindungi demi nasionalisme bangsa. Benedict
Anderson (1983) cukup cermat membaca peta kultural negara-bangsa tatkala ia
berbicara tentang imagined communities sebagai sesuatu kekuatan imajinasi
bersama untuk menggagas dan terus mempertahankan nasionalisme. Keindonesiaan
yang ‘dibayangkan’ ialah keindonesiaan yang melampaui setiap imajinasi
kesukuan, agama, atau ras apa pun. Indonesia itu dibentuk, dipelihara, dan
akan terus ada, jika setiap warga negara memiliki ‘imajinasi kemanusiaan’
yang melampaui identitas apa pun. Filosofi kebangsaan ini memungkinkan
demokrasi mendapat tempat dalam keindonesiaan. Filosofi kebinekaan memudahkan
bangsa ini menerima demokrasi sebagai suatu sistem, pendekatan, dan filosofi
politik kita. Demokrasi demi perwujudan kemanusiaan yang bermartabat.
Berbeda, dalam
pengertian tertentu, merupakan inti berdemokrasi. Mesti ada pilihan politik
yang berbeda, yang memungkinkan terjadinya pemilihan dalam suatu kontestasi
politik. Perbedaan calon pemimpin dalam hal visi-misi, program, pendekatan,
kompetensi, hingga derajat moralitas-integritas menjadi tolok ukur perbedaan
preferensi setiap pemilih. Pilkada salah satu aspek prosedural demokrasi
dimungkinkan karena unsur-unsur yang berbeda itu saling berkompetisi. Tak
mungkin ada kontestasi tanpa perbedaan posisi tawar calon pemimpin.
Kontestasi kualitas-kualitas pembeda antarcalon pemimpin ialah bagian hakiki
dari proses demokrasi. Berbeda pilihan politik dalam kontestasi merupakan
penggerak roda demokrasi. Jika tak ada perbedaan yang dikontestasikan,
demokrasi pun mengalami ajalnya.
Demokrasi
menawarkan perbedaan-perbedaan substansial dalam berpolitik. Melalui
demokrasi, pandangan politik warga dijernihkan untuk lebih menghargai
perbedaan pandangan dan pilihan politik. Demokrasi mensyaratkan adanya
perbedaan untuk dikontestasikan. Kontestasi pilkada, hemat saya, bukan
momentum untuk saling mengalahkan, memfitnah, menebarkan gosip, atau curhat
murahan untuk mengalahkan calon lain, tapi kesempatan uji publik.
Kebebasan
Supaya uji
publik terkait dengan kualitas calon dapat berjalan dengan baik, kontestasi
berdemokrasi mensyaratkan adanya kebebasan politik, baik bagi calon maupun
bagi pemilih (warga). Setiap warga mesti bebas dari tekanan, intervensi, atau
ancaman politik apa pun. Kerap kali kualitas dan independensi pemilih
terkurung dalam jebakan elite pragmatis yang selalu menawarkan gratifikasi
atau sembako jelang kontestasi. Sejauh ini kebebasan warga untuk menggunakan
hak pilih selalu terganggu oleh tawaran politik transaksional, jual beli
suara, hingga ancaman terhadap calon dan pemilih. Ini tentu sungguh
mencemaskan dan mengancam kesatuan sebagai bangsa yang berfilosofi
multikultural.
Kondisi
diperburuk tayangan elite politik yang memakai simbol-simbol suku, agama,
ras, dan golongan untuk menarik simpati pemilih sekaligus menjungkal calon
lain. Panorama buruk politik sekarang itu semakin kocak manakala kebebasan
memilih bergerak dalam koridor supremasi agama yang cenderung mengancam,
intoleran, meresahkan publik, dan mencincang harmoni sosial. Agama sedang
bergerak ke puncak piramida kekuasaan dengan membawa slogan-slogan identitas
dan simbol-simbol keagamaan.
Menyedihkan
dan tentu mengancam demokrasi yang jujur dan bermartabat jika calon dan elite
pendukung tertentu memakai isu-isu sensitif primordial untuk menggalang
kekuasaan politik. Saya melihat kekuatan agama sedang menunjukkan supremasi
di ruang publik. Sesuatu yang melawan rasionalitas demokrasi. Demokrasi tak
bakal memenangi kekuatan politik sektoral yang memakai pendekatan supremasi
agama. Hal semacam itu akan membuat ruang politik semakin ‘berisik’, walau
sekaligus menjernihkan pandangan politik mereka yang lebih rasional.
Pada batas
paling bawah keberagamaan mesti menopang perwujudan kemanusiaan yang
bermartabat. Agama mesti mendorong pemeluk untuk menghargai nilai-nilai
kehidupan serta martabat kemanusiaan yang melekat dalam diri semua orang,
terlepas orang apakah dan dari mana ia berasal. Filsuf dan budayawan, Franz
Magnis-Suseno, dalam orasi ilmiah pada kesempatan Nurcholish Madjid Memorial
Lecture VIII (2014) menegaskan agama yang benar itu selalu berpihak kepada
kemanusiaan, yang nyata dalam perjuangan untuk menghargai dan menghormati
HAM. Bagi Romo Magnis, menjunjung tinggi Tuhan, tetapi merendahkan manusia,
ialah suatu kontradiksi. Agama, karena itu, mesti menyadarkan pemeluknya
untuk semakin bermartabat dan menempatkan kemanusiaan di atas berbagai
pertimbangan primordial apa pun.
Pemilih cerdas, calon bermartabat
Pilkada
Serentak 2017 ialah bagian dari proses politik untuk menegaskan sekaligus
menempatkan kebebasan memilih demi perwujudan kemanusiaan melalui pemimpin
yang berkualitas. Ini momentum kontestasi kebebasan politik yang kualitasnya
tidak saja ditentukan jaminan hukum, tapi juga kualitas calon dan kecerdasan
menggunakan hak memilih (pemilih).
Martabat calon
sangat ditentukan kesanggupannya untuk mengelola visi misi melalui program
yang terukur untuk mengartikulasikan kepentingan warga. Demikianlah ukuran
calon yang berpihak kepada kemanusiaan, bukan calon yang hanya cakap
beretorika, pandai mengumbar janji selangit tanpa ukuran-ukuran pencapaian
yang nyata. Calon pemimpin mesti memiliki wawasan kebangsaan, imajinasi
keindonesiaan, dan kebinekaan. Untuk menjaga masa depan keindonesiaan,
pemimpin mesti memiliki wawasan multikulturalisme demi menghargai perbedaan,
bukan calon yang berguru pada identitas simbol-simbol keagamaan dan
menggalang kekuatan massa.
Sementara itu,
pemilih yang cerdas tidak mudah menggadai nuraninya, tapi selalu memilih atas
dasar pertimbangan yang lebih rasional, kinerja calon yang bebas korupsi, dan
menghargai pilihan sendiri tanpa intervensi atau tekanan apa pun yang datang
dari luar. Berikanlah suara secara bebas tanpa merasa diintimidasi calon
siapa pun. Perbedaan memilih itu mesti dihargai. Rakyat memilih justru karena
ada tawaran berbeda dalam politik. Kecerdasan memilih diukur seberapa jauh
kita menghargai pilihan politik yang berbeda dalam suatu kontestasi
demokrasi. Sebab, berbeda itu menggambarkan derajat kebebasan berdemokrasi.
Berbeda ialah alasan sekaligus tujuan kita memilih. Jadilah pemilih cerdas
atas calon bermartabat demi masa depan kemanusiaan kita (Indonesia)! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar