Ketidakpastian
Moneter Global
J Soedradjad Djiwandono ;
Guru Besar Ekonomi Emeritus Universitas
Indonesia; Profesor Ekonomi Internasional, RSIS, Nanyang Technological
University
|
KOMPAS, 14 Februari 2017
Sudah banyak
komentar dan analisis tentang perkembangan global menjelang dan setelah
pemerintahan baru Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump. Selain
mudah ditebak, penilaian para pendukung dan lawannya mengenai baik buruknya
kebijakan pemerintahan baru ini, ada kesamaan pendapat bahwa minimal dalam
jangka pendek dunia akan menghadapi suasana ketidakpastian yang meningkat
dalam berbagai aspek kehidupan.
Meraih keuntungan terbesar. Akan
tetapi, ketidakpastian ada di luar itu, dia bukan risiko dan tak ada ilmu
untuk menjinakkannya. John Maynard Keynes, bapak ekonom yang ahli statistik
probabilitas, sejak awal mengingatkan bahwa ketidakpastian itu sesuatu yang
kita tidak tahu. Mereka yang takabur merasa bisa menanggulangi ketidakpastian
karena mengira ketidakpastian itu serupa dengan risiko meskipun kemungkinan
terjadinya sangat jarang. Ketidakpastian ini diistilahkan sebagai "angsa
hitam" (black swan). Ini tidak bisa dibenarkan dan kekeliruan ini dapat
berakibat timbulnya gejolak, bahkan krisis keuangan. Banyak ahli berpendapat
bahwa krisis keuangan global tahun 2008 yang berlanjut dengan resesi
berkepanjangan-dikenal sebagai resesi besar (the great recession)-terjadi
karena sikap takabur ini.
Analisis yang
mendasarkan pada paham ini tak memercayai adanya ketidakpastian di pasar.
Semua dipandang sebagai risiko yang bisa diperhitungkan dan bisa dikelola
sehingga menghasilkan keseimbangan. Suatu keyakinan terhadap efektifnya
proses mekanisme pasar untuk mencapai keseimbangan dikenal sebagai
"hipotesis pasar efektif".
Karena
mekanisme pasar dipercaya selalu menghasilkan keseimbangan atau ekuilibrium,
maka ketidakseimbangan (apalagi krisis) tidak akan terjadi. Waktu krisis
terjadi, baru disadari bahwa ternyata hal ini merupakan sikap takabur
(hubris) dan ini tak bisa dibenarkan. Sebagaimana diktum Keynes seperti
disinggung di atas, ketidakpastian itu sesuatu yang kita tidak tahu, tetapi
ada di dalam sistem ekonomi yang berdasarkan mekanisme pasar.
Namun, apakah
benar ada peningkatan ketidakpastian dengan kehadiran miliuner Donald J Trump
sebagai presiden negara dengan ekonomi terbesar dan terkaya di dunia ini?
Tampaknya memang demikian. Secara langsung atau tidak langsung sudah banyak
yang mengemukakan kecenderungan meningkatnya ketidakpastian ini. Dari program
dan pernyataan selama kampanye sampai terpilih menjadi presiden, dilanjutkan
dengan pilihannya tentang siapa-siapa yang diminta menjadi anggota kabinet,
sampai terakhir dikeluarkannya sejumlah keputusan (executive orders) semenjak
resmi menjadi presiden, semuanya mengandung aspek yang berpotensi
meningkatkan ketidakpastian.
Tentu saja
yang mendukung Trump menyambutnya sebagai bukti konsistensi dan keberanian
Trump mengambil keputusan seperti yang mereka harapkan. Susahnya, kebijakan
ekonomi dan perdagangan yang menomorsatukan kepentingan tanpa mengindahkan
kepentingan dan reaksi negara lain jelas berseberangan dengan yang seharusnya
menjadi patokan kebijakan semua negara di tengah meningkatnya keterkaitan dan
saling ketergantungan di dunia dewasa ini.
Benar ada
konsistensi, tetapi kebijakan populis yang proteksionistis, merkantilis,
tidak bersahabat dengan negara lain, bahkan anti globalisasi ini jelas
membawa implikasi meningkatnya ketidakpastian hubungan antarbangsa.
Trump merasa
menerima mandat untuk melakukan perubahan. Namun, bagaimana arah perombakan
tersebut? Yang dirombak adalah semua tatanan yang sudah dibangun pemerintah
sebelumnya. Tidak hanya tatanan yang dibangun pemerintahan Barack Obama,
tetapi boleh dikatakan semua pemerintahan AS sejak Presiden Franklin D
Roosevelt di era Perang Dunia II. Apakah itu mandat Trump? Tentu ada banyak
yang tidak sependapat. Yang ingin ditekankan di sini adalah bahwa hal itu
telah dan akan menimbulkan ketidakpastian.
Perkembangan terkini
Perkembangan
terakhir yang menyerap perhatian dunia adalah langkah cepat yang dilakukan
Presiden Trump mengeluarkan sejumlah keputusan untuk segera melaksanakan langkah-langkah
menghapus kebijakan jaminan kesehatan Affordable Healthcare Act atau
Obamacare, membangun tembok perbatasan dengan Meksiko, menarik AS dari
keanggotaan Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) dan Kesepakatan Perdagangan Bebas
Amerika Utara (NAFTA), serta menghentikan masuknya warga dari tujuh negara ke
AS.
Mengenai
hal-hal itu, saya tidak akan membuat komentar, kecuali ikut terheran-heran
mengamati dengan setengah tidak percaya bahwa langkah-langkah ceroboh semacam
itu dilakukan oleh Presiden AS, atau negara mana pun.
Di bidang
ekonomi, keuangan, dan perdagangan, selain yang sudah disebutkan di atas,
pasar dan dunia usaha umumnya tampak menyambut positif rencana pemerintahan
Presiden Trump yang akan meningkatkan pengeluaran untuk investasi infrastruktur
dan militer, melakukan pemotongan pajak korporasi, dan melakukan
langkah-langkah deregulasi untuk mempermudah kegiatan usaha dan mendorong
pertumbuhan ekonomi.
Sambutan
positif dunia usaha dan pasar tampak dari melonjaknya indeks saham pasar
modal (indeks Dow Jones melampaui angka 20.000), menguatnya kurs dollar AS
terhadap kebanyakan mata uang, dan optimisme pasar pada umumnya.
Mungkin karena
mendukung kebijakan Trump atau karena rasa takut, berbagai keputusan
investasi perusahaan seperti mobil Ford dan alat pendingin Carrier
membatalkan investasinya di luar negeri (Meksiko) dan berjanji memindahkannya
ke AS. Seperti kebanyakan kebijakan populis yang cinta pada pencitraan,
hal-hal semacam ini ditonjolkan sebagai sukses tanpa menganalisis keseluruhan
kaitan dan implikasi dari langkah sporadis tanpa pemikiran mendalam yang
sering tidak sinkron antara mikro dan makronya, jangka pendek dan panjangnya
itu.
Dalam bidang
moneter dan finansial, selain yang berkembang dari bidang ini sendiri sebagai
cerminan dari sektor riil, yang perlu diamati adalah implikasi dari
langkah-langkah tersebut. Mengenai hal ini, sikap Trump yang tak terlalu suka
dengan menguatnya dollar AS karena dianggap akan merugikan daya saing ekspor
AS, tentu perlu diwaspadai negara-negara berkembang termasuk Indonesia.
Selain itu,
bagaimana kebijakan moneter yang mungkin akan dilaksanakan otoritas moneter
AS (The Fed) harus dicermati untuk menentukan langkah pengelolaannya.
Peningkatan pengeluaran untuk infrastruktur dan militer oleh Trump yang
mungkin akan didukung Kongres AS (karena pada kedua kamarnya Partai Republik
mayoritas) tentu akan menimbulkan implikasi moneter yang harus diwaspadai.
Peningkatan pengeluaran dari anggaran maupun dari masyarakat sebagai akibat
pemotongan pajak, dalam kondisi perekonomian yang sudah dekat dengan
kesempatan kerja penuh (full employment), tentu akan mendorong tekanan
inflasi. Apalagi kalau Kongres mendukung peningkatan pinjaman pemerintah
sebagai mekanisme pembiayaannya, peningkatan suku bunga tentu akan terjadi
sebagai konsekuensinya.
Dalam kondisi
semacam itu, The Fed akan mengimbanginya dengan meningkatkan suku bunga
referensi (Fed funds rate). Hal ini hanya akan menggarisbawahi apa yang
disampaikan The Fed saat menaikkan suku bunga Desember lalu, bahwa langkah
tersebut akan ditindaklanjuti dengan beberapa kali (tiga kali) kenaikan suku
bunga di tahun 2017. Kemungkinan terjadinya kenaikan suku bunga tentu lebih
besar daripada tahun lalu.
Artinya,
kecenderungan naiknya suku bunga di AS kian kuat. Negara berkembang pernah
mengalami gejolak pasar atau taper tantrum tahun 2013 saat The Fed
mengumumkan akan menghentikan program pembelian sekuritas atau quantitative
easings. Sekarang negara berkembang termasuk Indonesia menghadapi kemungkinan
serupa dalam bentuk peningkatan suku bunga di AS yang cenderung mendorong
arus balik modal kembali ke AS.
Selain yang
disinggung di atas, sejak dalam kampanyenya Trump telah mengkritik besarnya
campur tangan pemerintah dan keinginannya untuk melakukan deregulasi. Dalam
bidang moneter-finansial, Trump sangat keras mengkritisi ketatnya pengaturan
industri keuangan. Seperti dimaklumi, sebagai bagian dari upaya untuk
mengatasi masalah krisis keuangan tahun 2007/2008, AS menyusun dan
mengimplementasikan arsitektur keuangan baru untuk mengubah dan
menyempurnakan sistem keuangannya dengan undang-undang yang dikenal sebagai
Dod-Frank Wall Street Reform and Consumer Protection Act tahun 2010.
Kalau Trump
juga "konsisten" dalam bidang ini, sangat mungkin dunia keuangan akan
kembali kepada kondisi minimalnya pengaturan- dalam bentuk light atau
self-regulatory finance-seperti era saat The Fed dipimpin Alan Greenspan yang
kemudian dikritik sebagai penyebab berkembangnya perekonomian yang banyak
mengandalkan utang (highly leveraging) dan berakhir dengan terjadinya krisis
keuangan (subprime mortgage loans crisis) tahun 2007/2008.
Kembali kepada eklektisisme
Hubris, sikap
takabur sebagaimana disinggung di atas adalah hal yang harus dihindari
menghadapi kondisi dunia yang tidak saja sarat risiko, tetapi juga mengandung
banyak ketidakpastian, apalagi kalau hal tersebut digunakan sebagai alasan
untuk tidak mau mengambil keputusan karena merasa nyaman dalam kemapanan.
Yang jelas, business as usual tidak ada, yang ada adalah kejutan-kejutan yang
bisa muncul setiap saat.
Memang kelihatan klise, tetapi saya tidak bisa tidak harus
mengulangi pesan lama yang selalu saya sampaikan setiap ada kesempatan
menulis atau berbicara di muka umum bahwa menghadapi banyak perubahan,
menghadapi risiko yang tinggi dan meningkat, apalagi ditambah ketidakpastian,
semua harus waspada. Kembali ke sikap elementer dalam berusaha, selalu mawas
diri, mengatur barisan, mengatur kembali posisi (repositioning) setiap saat. Terutama dalam moneter dan finansial,
jangan menambah ketidakpastian dengan gebrakan-gebrakan, melainkan melakukan
langkah-langkah yang pasti, terarah, dan terukur, sikap yang eklektik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar