Banting
Setir Pemberitaan Kasus Anak
Reza Indragiri Amriel ;
Pengurus Lembaga Perlindungan Anak
Indonesia
|
KORAN
SINDO, 31
Januari 2017
”...seorang anak berusia
sembilan tahun disobek [xxx]- nya lalu [yyy]-nya dijadikan tumbal ilmu hitam,
kemudian [zzz] korban dibuang ke jurang....”
Boleh
percaya, boleh tidak; kalimat horor itu tertulis eksplisit pada undangan
konferensi pers yang dibikin dan disebarluaskan oleh–pahit
mengatakannya–sebuah organisasi perlindungan anak! Itu bukan perilaku bombastis
satu-satunya.
Beberapa
pekan sebelumnya, organisasi yang sama memajang foto-foto wajah sejumlah anak
korban kekerasan seksual di laman media sosialnya. Tanpa disamarkan. Ulah
sedemikian rupa adalah pelanggaran terhadap Undang-Undang Sistem Peradilan
Pidana Anak. Bayangkan, hari ini media memuat berita tentang anak dianiaya.
Besok berita tentang anak yang dijahati dengan cara lebih keji. Lusa, lebih
sadis lagi. Tulat, deskripsi tentang kebiadaban pelaku kian tak terperi.
Publik
dibombardemen dengan berita tentang kejahatan terhadap anak yang bobotnya
terus bereskalasi. Munculkah efek jera? Hingga beberapa masa, ekspos
penderitaan anak oleh media memang bisa menumbuhkan kesadaran publik akan
situasi bahaya yang dihadapi anak. Tapi, berikutnya, studi justru merisaukan
terjadi titik jenuh alias media fatigue.
Manakala
media telah mencapai titik tersebut, pemberitaan tentang kekerasan terhadap
anak akan raib atau media akan sebatas menceritakan ulang keekstreman yang
infonya bersumber dari penggiat perlindungan anak. Ironis, media ”gagal”
menjadi lebih pintar dan ramah anak justru akibat buruknya pengetahuan atau
informasi yang semestinya ditransfer oleh organisasi penggiat perlindungan
anak.
Andai
kemudian warta media mengekspos kekejian secara telanjang, apalagi dengan
mencantumkan pilihan kata yang begitu vulgar tentang organ vital anak, itu
sungguh disayangkan. Kejadian mutakhir yang juga membuat saya geleng-geleng
kepala adalah reaksi audiens terhadap video siswa sekolah dasar (SD) yang
keseleo lidah saat mengucapkan ikan tongkol di hadapan Presiden Joko Widodo.
Pada
siaran langsung di media semacam televisi, ketika seseorang mengucapkan kata
jorok, stasiun televisi tidak mengulang-ulang adegan tersebut. Maksimal, jika
ditayangkan ulang, stasiun televisi akan menyensornya. Namun, di alam maya
dan media sosial, video ”ikan tongkol” justru diekspos besar-besaran karena
dianggap lucu.
Penyebaran
video tersebut merefleksikan kegagalan khalayak untuk (seharusnya) selekas
mungkin menghindar dari peristiwa yang sesungguhnya mengandung unsur saru,
betapa pun peristiwa itu muncul secara tak disengaja. Disadari maupun tidak,
derajat penghargaan publik akan integritas tubuh anak terukur di situ.
Keisengan sebagai motif pendorong orang-orang mem-viral-kan video ”ikan
tongkol”, juga mempertinggi risiko murid SD yang keseleo lidah itu menjadi
korban kekerasan (perundungan, bully).
Media yang Mengendalikan
Kembali
ke masalah pemberitaan tentang kasus anak, untuk mendorong lahirnya kebijakan
atau regulasi tentang perlindungan anak, kemampuan persuasif media
sesungguhnya jauh lebih ampuh (legislation
by tabloid) ketimbang ketika disuarakan para pejabat dan bahkan aktivis
perlindungan anak sendiri. Menyadari peran strategis media tersebut, media
sudah saatnya menantang wawasan organisasi perlindungan anak.
Paksa
para penggiat untuk tidak menyuplai info tentang kehebohan dan penderitaan
anak belaka. Media musti bertabiat lurus, yaitu tidak menjadi perpanjangan
lidah bagi mereka yang mengklaim diri sebagai pelindung anak-anak itu dengan
ikut-ikutan mencarut. Lantas, uji kesiapan para aktivis perlindungan anak
untuk berfokus pada solusi, baik langkah praktis maupun aspek legislasi.
Tuntutan
agar media bijak dan seksama saat mewartakan kejadian-kejadian kekerasan
sebenarnya sudah termaktub pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar
Program Siaran. Yakni, ketika memberitakan peristiwa mengenaskan tersebut,
jangan sampai media memunculkan ketakutan massal, memicu aksi peniruan,
mendorong vigilantisme, maupun menurunkan kepekaan masyarakat terhadap
kejahatan itu sendiri.
Terhadap
keluarga korban juga media harus berhatihati agar mereka tidak menderita
kedukaan, apalagi trauma berulang akibat menyimak informasi tersebut. Semua
ketentuan itu tentu juga berlaku saat media menyiarkan warta bertema kekerasan
terhadap anak. Salah satu patokan yang dapat diacu dalam penulisan berita tentang
topic tersebut adalah rekomendasi Al Tomkins (2002).
Ia
mengidentifikasi enam variabel sebagai dasar pertimbangan untuk menentukan
tingkat kedalaman berita.
Pertama,
siapa yang akan disasar oleh pemberitaan tentang kekerasan terhadap anak.
Kedua,mengapa
masyarakat perlu mengetahui kejadian tersebut.
Ketiga,
apa tujuan pemberitaan.
Keempat,
seberapa dalam tingkat pengetahuan publik pada saat ini terkait dengan seluk-
beluk perlindungan anak.
Kelima,
apayangakanpemirsa(yaitu keluarga yang mempunyai anak) pikirkan setelah
menyimak pemberitaan tentang kekerasan terhadap anak.
Keenam,bagaimana
menyajikanpemberitaanyanglebih kontekstual.
Ketujuh,
bagaimana media dan sumber berita menjustifikasi penyebutan identitas korban.
Rekomendasi
Al Tomkins di atas, hemat saya, juga layak dipedomani organisasi perlindungan
anak sebelum mengekspos ke publik kasus yang tengah mereka tangani.
Melek
Pemberitaan
yang dibangun melalui traditional episodic framing, yaitu yang hanya
menyajikan potret tentang keberingasan pelaku dan kesakitan atau kematian
korban memang lebih digemari. Sensasi emosional seketika terbangkitkan
olehnya. Namun, ”kegandrungan” semacam itu sepatutnya direvisi dengan berita
yang dikemas dengan public health model (istilah yang dipakai antara lain
oleh Coleman dan Thorson, 2002).
Temuan
ilmiah menyimpulkan manfaat konstruktif penggunaan model tersebut. Yakni,
pembaca menjadi lebih paham akan faktor-faktor risiko serta lebih mendukung
strategi pencegahan ketimbang penghukuman terhadap pelaku kejahatan. Pun,
masyarakat yang oleh media tidak dibuat melek legislasi pada gilirannya hanya
akan memersepsi bahwa negara seolah sama sekali tidak hadir dan tidak
berpihak pada anak ketika berlangsung viktimisasi terhadap mereka.
Panik,
apatis, bahkan putus asa adalah manifestasinya. Para predator, pada saat yang
sama, malah merasa leluasa beraksi karena target potensial (anak-anak)
tersedia dalam jumlah banyak dan tampak tak terlindungi. Sebaliknya,
masyarakat yang tercerahkan sehingga mengetahui ada peranti hukum tentang
perlindungan anak akan lebih gencar melaporkan kejadian-kejadian jahat yang
mereka jumpai atau ketahui.
Jadi
dibalik: manakala oknum individu maupun organisasi perlindungan anak membatu
pada penciptaan narasinarasi lucah, dan ketika mereka terus asyik menyebar
teror picisan dengan perbendaharaan kata nista guna menyedot atensi
masyarakat, medialah yang sepantasnya mencerahkan publik. Medialah yang bisa
mengedukasi khalayak awam, bahkan personel otoritas terkait perlindungan
anak, mengenai aturan-aturan perlindungan anak.
Para
nyamuk pers berpotensi penuh untuk meningkatkan kesigapan masyarakat dalam
bereaksi terhadap peristiwa-peristiwa jahat terhadap anak. Inti dari itu
semua adalah perlunya pemahaman bersama bahwa ihwal yang menarik perhatian
publik bukan serta-merta merupakan kepentingan publik. Jadi, stop
mengeksploitasi kesengsaraan anak.
Eksploitasi
atas tubuh anak, apalagi alat vitalnya, sebagai bahan pemberitaan juga kudu
dihentikan. Sebagai gantinya, tebar benih-benih ketangguhan untuk menjamin
perlindungan anak. Pesan ini ditujukan bagi media dan–lebih-lebih lagi–sesama
organisasi perlindungan anak. Wallahualam.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar