Kamis, 15 Desember 2016

Meneladani Akhlak Rasulullah

Meneladani Akhlak Rasulullah
Fathorrahman Ghufron  ;   Dosen sosiologi Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Sunan Kalijaga;  A’wan Syuriyah PW NU Jogjakarta
                                                  JAWA POS, 12 Desember 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SETIAP memasuki bulan Rabiulawal, pikiran dan perasaan umat Islam langsung tertuju pada momen kelahiran Nabi Muhammad SAW. Ada semacam gestalt yang bergerak secara otomatis dalam diri setiap orang Islam sekaligus memotivasi untuk mengenang salah satu peristiwa penting yang terkait dengan figur yang jadi panutan dalam hidupnya. Juga, salah satu di antara yang lazim dilakukan oleh sebagian umat Islam adalah menggelar acara mauludan secara masif.

Dalam ritus mauludan, beragam pujian didendangkan dalam nada salawat penuh kekhusyukan. Kemuliaan Nabi Muhammad dimanifestasikan dalam perasaan sublimatis untuk mengingat dan mengiangkan lagi semangat profetik yang diemban nabi dalam menyebarkan kebenaran. Peran Nabi Muhammad dalam menyampaikan pesan ilahiah yang disandarkan pada bahasa kemanusiaan yang membumi dan sesuai dengan karakteristik serta kemampuan pengikutnya disitir dalam lirik syair penuh keagungan.

Kemuliaan Nabi Muhammad yang dipersonifikasi dalam irama pujian seolah dihadirkan dalam rajutan kehidupan masyarakat yang merindukan perdamaian di tengah kecenderungan sebagian kelompok beragama menggunakan cara-cara takfiriah untuk menyeragamkan keyakinan. Melalui mauludan, sebagian umat Islam ingin membumikan kemuliaan Nabi Muhammad yang telah memperlakukan setiap orang sebagai sosok yang selalu berproses untuk menemukan kebenaran.

Bahkan, salah satu hadis yang menyitir, ”Innama buitstu liutammima makarimal akhlak,” yang berarti, ”Sesungguhnya aku diutus (Tuhan) untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak,” menjadi rujukan utama bagi siapa pun yang akan memberikan wejangan dan nasihat di setiap acara mauludan. Dengan berbagai corak improvisasi, hadis itu selalu populer dan meresonansi benak tiap-tiap orang.

Namun, yang perlu kita refleksikan lebih lanjut dari hadis tersebut, bagaimana kita memanifestasikan akhlak Rasulullah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang heterogen.

Reaktualisasi Akhlak

Melalui buku terbaru berjudul Yang Hilang dari Kita: Akhlak, Quraish Shihab mengingatkan kita semua bahwa moral atau akhlak yang diajarkan oleh Rasulullah mulai tergerus dalam kehidupan kita. Akhlak di sini bukan hanya perkara menjalankan ibadah yang menjadi kewajiban kaum beragama. Dalam kehidupan bermasyarakat yang dilingkupi aneka ragam latar belakang dan perbedaan, sering kali akhlak hanya dilokalisasi pada bagaimana membela sekelompok orang yang satu jenis. Bahkan, pada titik yang lebih ironis, ada perekayasaan sosial tentang akhlak yang patut dilestarikan hanya kepada orang maupun kelompok yang seagama sembari melakukan pembiaran terhadap kelompok beragama lainnya.

Padahal, negara ini telah dilandasi prinsip-prinsip kebinekaan, di mana semua golongan berhak mengekspresikan sistem kepercayaan (system of belief) di ruang publik. Peristiwa pelarangan umat kristiani yang akan melakukan acara kebaktian kebangunan rohani di gedung Sabuga (Sasana Budaya Ganesa), Bandung, oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan diri Pembela Ahlus Sunnah (PAS) menjadi sebuah ironi yang sesungguhnya tidak patut terjadi. Sebab, konstitusi negara kita sudah menjamin dan melindungi siapa pun yang akan melaksanakan peribadatan.

Mereka lupa, dalam sejarahnya, Rasulullah pernah mempersilakan seorang Kristen Najran untuk menunaikan ibadah kebaktian di dalam masjid. Selain itu, ketika kedatangan delegasi Kristen dari Habsyi, Nabi Muhammad melayani mereka di masjid sebagai tamu yang harus dihormati.

Lalu, hanya karena gedung Sabuga adalah ruang publik yang peruntukannya dianggap bukan sebagai tempat peribadatan, dengan semena-mena kelompok PAS melarang jemaat kristiani melakukan peribadatan. Tentu tindakan mereka bertolak belakang dengan kisah Nabi Muhammad itu, yang mencerminkan sebuah keteladanan akhlak yang sangat luhur.

Juga, kita tentu bertanya-tanya, mengapa perlakuan Nabi Muhammad yang sangat humanistis kepada Kristen Najran dan Kristen Habsyi tidak digunakan sebagai landasan sikap toleransi serta berupaya terlibat secara empati (empathic engagement) kepada setiap kelompok yang berbeda agama sekalipun agar sama-sama bisa mengekspresikan dan menjalankan ketaatan kepada Tuhan yang diyakini?

Dalam kaitan ini, kita harus mempelajari lagi bagaimana Rasulullah mengekspresikan dan memanifestasikan keluhuran akhlak ketika memperlakukan kelompok lain. Dengan nalar humanisnya, Rasulullah tetap memberikan hak kepada siapa pun untuk menjalankan aktivitas. Bahkan, pihak-pihak yang secara nyata menghujat Rasulullah tidak dibalas dengan perlawanan serupa. Rasulullah justru menunjukkan sebuah senyuman yang justru bisa meluluhkan siapa pun yang pernah menghina dirinya.

Berdasar pengalaman-pengalaman Rasulullah yang dilingkupi keluhuran akhlak, seharusnya hal tersebut menjadi bahan refleksi agar perilaku kita betul-betul bisa meneladani akhlak Rasulullah. Hal itu penting untuk dilakukan agar kita tidak terjebak dengan sikap superlativisme yang menganggap bahwa hanya kitalah yang paling benar. Selain itu, agar kita tidak tersekap dalam kenaifan sikap yang justru bisa merendahkan keberadaan kita sebagai umat beragama yang membawa kedamaian.

Meresapi, mengamalkan, dan mereaktualisasi cara Nabi Muhammad menunjukkan akhlak yang luhur kepada semua pihak sesungguhnya dapat menjadi sistem penangkal diri kita dari berbagai intrik serta muslihat yang selalu berupaya memanfaatkan kelemahan umat Islam sebagai amunisi kepentingan maupun kekuasaan diri sekelompok orang.

Semoga momentum mauludan ini menjadi sumber inspirasi bagi kita untuk mengedepankan akhlak dalam beragama daripada mengedepankan emosi dan egoisme keakuan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar