Kamis, 08 Desember 2016

Manusia Pembelajar

Manusia Pembelajar
Abdul Munir Mulkhan  ;   Komisioner Komnas HAM RI 2007-2012;
Pensiunan Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta
                                                  JAWA POS, 01 Desember 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

KESALAHAN manusia yang sering diulang adalah anggapan bahwa generasinya lebih baik daripada generasi-generasi sesudahnya. Sikap regresif demikian tidak hanya membuat kehidupan menjadi stagnan, melainkan juga mengakibatkan praktik pendidikan mengalami involusi mengulang kegagalan demi kegagalan. Evaluasi pendidikan justru sering terjebak pada cara pandang regresif bidang pendidikan seperti ini.

Dinamika politik nasional yang menghangat belakangan dipicu penistaan kitab suci yang diduga dilakukan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, petahana gubernur DKI Jakarta, merupakan cermin dari pendidikan regresif yang involutif tersebut. Suatu gejala yang lebih masif berlangsung di lingkungan pendidikan Islam yang cenderung menempatkan kreativitas sebagai semacam ”dosa” yang harus dihindari. Gejala demikian beriringan dengan kecenderungan materialisasi positif apa yang diyakini sebagai yang suci dan mutlak benar dan sempurna. Akibatnya, wahyu Tuhan yang mutlak benar sempurna dan tunggal tersebut dipandang sebagai rumus baku tanpa ruang bagi perbedaan. Setiap yang berbeda dari arus utama dengan mudah diletakkan sebagai pandangan sesat sebagai ancaman yang harus dihancurkan.

Gengsi generasi yang bersifat struktural tersebut merupakan faktor dominan yang mengakibatkan pendidikan cenderung terjebak sebagai praktik indoktrinasi sehingga kehilangan nilai substantifnya, yaitu sebagai entitas belajar itu sendiri. Akibat lebih lanjut adalah praktik pendidikan yang hanya merupakan pengulangan pengalaman masa lalu sehingga kurang inovatif dan gagal membangkitkan kreativitas dan etos belajar siswa. Gejala demikian lebih mudah dikenali dalam praktik pendidikan Islam.

Praktik pendidikan yang involutif dan indoktrinatif tersebut merupakan konsekuensi ketiadaan jangkar nilai konseptual yang menjadi pemandu memecahkan problem pendidikan yang terus muncul sepanjang sejarah. Suatu kerangka nilai yang menjadi jangkar setiap perubahan yang disusun dari landasan filosofis suatu bangsa. Akibatnya, praktik pendidikan terombang-ambing bagai layang-layang putus tali, tampak serbagagap dalam setiap saat melihat kemajuan bangsa lain.

Meskipun negeri ini memiliki Pancasila sebagai dasar filsafat negara dan ideologi bangsa, harus disadari bahwa negeri ini belum berhasil menyusun filsafat pendidikan berdasar dasar filsafat negara dan ideologi bangsa tersebut. Dari situlah seharusnya disusun jangkar nilai sebagai tempat kembali dan rujukan setiap memecahkan problem pendidikan dan dalam merancang peta-jalan bagi kegiatan pendidikan dalam setiap bentang sejarah. Kebijakan presiden dan menteri harus mengacu kepada jangkar nilai tersebut. Demikian pula halnya dengan lembaga swasta yang bergerak di bidang pendidikan.

Pendidikan selalu menghadapi problem aktual seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi selain akibat perkembangan kehidupan manusia searah pertumbuhan demografi. Akibatnya, pendidikan dikembangkan sebagai peniruan kisah sukses bangsa-bangsa yang lebih dahulu menikmati kemajuan.

Salah satu keunggulan manusia adalah kemampuannya belajar. Setiap detik dan desah napasnya merupakan bagian dari pembelajaran sehingga di setiap detik itu pula peristiwa belajar sedang berlangsung. Mulai gerak fisik, bahasa, dan cara berbicara, hingga bagaimana mengolah lingkungan bagi pemenuhan kebutuhan hidupnya. Pendidikan adalah rekonstruksi pengalaman belajar hidup dari suatu generasi bagi generasi berikutnya. Dengan begitu, generasi berikutnya bisa mengatasi persoalan hidup secara lebih cerdas sehingga taraf hidupnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya.

Pendidikan selalu merupakan topik aktual yang menarik, bukan hanya karena berkaitan dengan wajah kita di masa depan, melainkan juga karena selalu berkisah tentang nasib suatu bangsa dan masyarakat di mana kita sedang menjalani hidup ini. Ganti menteri ganti kurikulum, ganti menteri ganti kebijakan, bukanlah sesuatu yang aneh dan mengada-ngada. Tetapi, itu mencerminkan urgensi pendidikan dalam dan bagi kehidupan itu sendiri.

Selama ini kita memandang pendidikan sebagai suatu entitas terpisah dari ruang hidup kita. Apa yang kita sebut sekolah itu kita tempatkan sebagai realitas yang serbalain daripada kehidupan empiris yang kita jalani sehari-hari itu sendiri. Sementara itu, pendidikan seharusnya merupakan abstraksi dari pengalaman hidup sebagai suatu kegiatan belajar yang tidak pernah berakhir. Cara pandang demikian merupakan akar berbagai problem pendidikan yang muncul dalam praktik pendidikan di negeri ini.

Hasil kegiatan belajar yang selama ini diukur melalui ujian nasional atau apa pun namanya harus mengacu kepada jangkar nilai yang disusun dari filsafat pendidikan yang lebih tepat disebut sebagai filsafat pendidikan Pancasila. Jangkar nilai tersebut kemudian disusun dalam alokasi waktu winduan atau dekade, perempat abad, setengah abad, hingga satu abad dalam capaian kompetensi yang riel sebagai acuan penahapan pendidikan ke mana evaluasi hasil belajar-mengajar diukur dan dinilai.

Dari sinilah standar nasional pendidikan disusun yang menjadi acuan setiap daerah dalam merancang program pendidikan nasional, regional, dan lokal. Tanpa jangkar nilai, praktik pendidikan bagai tukang sulam yang selalu membongkar ulang hasil sulamannya sehingga tidak pernah mencapai garis finis. Mari kita merealisasi diri sebagai manusia pembelajar yang menjadikan hidup keseharian sebagai medan pembelajaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar