Makar
Okky Madasari ; Novelis;
Karya – karyanya adalah Entrok (2010), 86 (2011), Maryam (2012), Pasung Jiwa
(2013), Kerumunan Terakhir (2016)
|
JAWA POS, 05 Desember
2016
KOLOM saya di
koran ini empat minggu lalu, tepat sehari setelah aksi ratusan ribu orang
turun ke jalan mendesak Ahok diproses hukum, mencoba untuk mengajak kita
semua melihat kasus penistaan agama dengan pikiran jernih, dengan mendengar
suara akal sehat dan hati nurani kita.
Dari kisah
penistaan agama pada cerpen Langit Makin Mendung, jajak pendapat Arswendo
Atmowiloto, hingga ucapan Ahok, jelas terlihat bahwa tuduhan penistaan agama
merupakan hal yang bersifat subjektif, mudah dimainkan berdasar kepentingan
politik, dan kepentingan-kepentingan yang lain. Sudah seharusnya kita
mempertanyakan pasal pidana yang mengatur soal penistaan agama tersebut.
Tetapi, tentu saja
itu sebuah wacana, sebuah gagasan yang membutuhkan proses panjang sekaligus
pertarungan sengit untuk bisa diwujudkan. Desakan untuk segera memproses
kasus Ahok sesuai dengan aturan hukum tentu akan jauh lebih didengar sekarang
ini, apalagi ketika ratusan ribu orang sudah turun ke jalan untuk menuntut
hal tersebut. Ahok, gubernur DKI yang juga sedang mencalonkan diri dalam
pilkada Februari nanti, kini sudah menjadi tersangka kasus penodaan agama.
Lalu, semua
selesai? Tentu saja tidak.
Aksi damai 2
Desember yang disebut sebagai Aksi Bela Islam Jilid
II menunjukkan bahwa penetapan Ahok sebagai tersangka belum cukup
untuk membayar ”penistaan” yang dilakukannya. Status tersangka juga tidak
membuat peserta aksi 4 November percaya bahwa kasus tersebut akan dilanjutkan
di pengadilan.
Mereka merasa
perlu untuk terus mengawal kasus itu. Mereka merasa harus kembali menunjukkan
besarnya dukungan agar pemrosesan kasus Ahok terus dilanjutkan. Mereka juga
sekaligus ingin menyampaikan pesan: Jangan pernah mengelabui kami dalam
proses hukum kasus Ahok.
Sampai di sini,
semua tak ada yang salah. Yang ikut demo maupun yang tak setuju demo, yang
percaya Ahok menista agama atau yang sama sekali tak merasa Ahok menista
agama, yang setuju kasus penistaan agama harus diproses hukum dan yang sama
sekali tak setuju keberadaan pasal penodaan agama. Semua adalah bagian dari
pertarungan gagasan dan penggunaan hak warga negara dalam sebuah negara yang
demokratis.
Yang justru
mengherankan dalam situasi belakangan ini adalah tingkah polah aparat
keamanan yang justru membuat situasi menjadi terasa tak aman.
Sebagai warga
Jakarta, saya melihat sendiri helikopter terbang rendah menyebarkan selebaran
maklumat kepolisian tentang aksi 2 Desember. Inti maklumat itu imbauan agar
masyarakat tak ikut aksi 2 Desember. Sebab, aksi tersebut akan digunakan oleh
orang-orang yang bertujuan makar.
Penyebaran
selebaran dengan cara seperti itu justru menciptakan situasi yang mencekam
-serupa dengan situasi di tengah peperangan dan bencana alam. Segala berita
dan pernyataan bombastis dari aparat tentang adanya upaya makar dan
penggulingan pemerintahan juga makin menakut-nakuti semua orang. Alih-alih
memberikan rasa tenang dan jaminan keamanan, aparat-aparat negara justru
dengan sengaja malah ingin menciptakan situasi darurat dalam pikiran dan
kesadaran warganya.
Kemarin, 2
Desember, pada hari yang telah jauh-jauh hari dicitrakan sebagai hari yang
berbahaya, berpotensi rusuh, dan akan digunakan untuk makar, segala ketakutan
yang dibangun itu sama sekali tak terbukti. Demo berjalan lancar. Bahkan,
Presiden Jokowi bergabung dengan massa untuk melakukan Salat Jumat bersama.
Yang terjadi
justru adalah polisi melanjutkan teror-teror yang menebar ketakutan dengan
menangkap sepuluh orang yag dianggap akan melakukan makar. Mulai Sri Bintang
Pamungkas, Rachmawati Soekarnoputri, hingga Ahmad Dhani. Kini, orang-orang
itu berstatus tersangka. Orang-orang itu diambil dari rumahnya, dari hotel,
dari tempat mereka beraktivitas -sekali lagi karena dianggap melakukan makar.
Makar macam apa?
Kita masih sama-sama belum tahu. Yang pasti kita tahu, penangkapan macam itu
adalah bentuk-bentuk represi dari negara yang sama sekali tidak kita
bayangkan akan terjadi di bawah kepemimpinan Jokowi.
Kita masih
sama-sama ingat masa di mana kata ”makar” dengan semena-mena digunakan rezim
Orde Baru untuk menangkap orang yang tak disukai, aktivis yang kritis kepada
Soeharto, mereka yang secara terbuka tak lagi menginginkan Soeharto sebagai
presiden.
Menangkap orang
dengan tuduhan makar sama bebalnya dan sama berbahayanya dengan menuduh orang
menodai agama. Keduanya pun menunjukkan betapa hukum sering hanya dijadikan
alat oleh penguasa dan mereka yang punya massa.
Jika saya akhiri
tulisan ini dengan sebuah pendapat bahwa Jokowi harus diganti, harus digelar
sidang istimewa karena dia mulai melakukan tindakan-tindakan represi yang
bertentangan dengan hak dasar warga negara yang dijamin konstitusi, apakah
saya juga akan disebut melakukan makar? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar