Golkar
dan Manuver Setnov
Iding Rosyidin ; Ketua
Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
|
JAWA POS, 06 Desember
2016
GERAK cepat Partai
Golkar untuk menaikkan kembali Setya Novanto (Setnov) ke posisi ketua DPR
benar-benar diwujudkan. Pada rapat paripurna Rabu sore (30/11), Setnov
akhirnya dilantik secara resmi menjadi ketua lembaga wakil rakyat
menggantikan Ade Komarudin (Akom). Proses penggantian tersebut berjalan mulus
karena semua fraksi di DPR menyetujuinya, termasuk PDI Perjuangan dan
Gerindra yang notabene pemilik kursi terbesar.
Meski proses
politik di lembaga wakil rakyat tersebut berlangsung lancar, di tingkatan
publik mungkin beda cerita. Ada banyak pertanyaan terkait dengan penggantian
Akom oleh Setnov di kalangan publik. Sedemikian saktikah Setnov hingga hampir
tidak ada tokoh di republik ini yang bisa menghalanginya untuk kembali
memimpin parlemen. Bahkan, mantan Ketum Golkar Aburizal Bakrie (Ical) yang
sebelumnya menunjukkan penolakan belakangan melunak.
Mempermulus
Manuver
Memang tidak dapat
dimungkiri bahwa Setnov seolah seperti seorang ”superpower” yang mampu lolos
dari setiap jaring yang membelitnya. Persoalan-persoalan (hukum) yang
menjeratnya, baik semasa masih anggota DPR maupun sesudah menjadi ketua DPR
sebelum kemudian digantikan Akom yang terkenal dengan kasus ”papa minta
saham”, satu per satu dapat dilalui dengan selamat.
Tidak hanya
selamat dari lubang jarum, Setnov bahkan tampil menjadi elite partai beringin
yang sangat kuat. Saat Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) Partai
Golkar 2016 di Bali, dia berhasil memenangkan persaingan untuk menjadi ketua
umum menggantikan Ical. Saingan satu-satunya yang juga orang sama yang kini
digantikannya di DPR, Akom, mengundurkan diri pada putaran kedua, sehingga
Setnov terpilih secara aklamasi.
Dalam perjalanan
kepemimpinannya sebagai Ketum Golkar ”kesuperpoweran” Setnov makin kentara.
Tokoh-tokoh senior Golkar yang menyuarakan hal berbeda dengan suara DPP tanpa
ragu-ragu ditindaknya. Fadel Muhammad, misalnya, yang berani mengusulkan agar
Golkar menarik dukungan kepada calon gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja
Purnama (Ahok) langsung dicopot dari jabatannya sebagai sekretaris Dewan
Pembina Golkar.
Maka, tidak heran,
keinginannya untuk kembali memimpin DPR berjalan lancar tanpa ada seorang pun
yang menghalangi. Tokoh-tokoh senior Golkar, termasuk Ical sendiri, tak
berani meredamnya. Agaknya, siapa pun di kalangan internal partai yang berani
mengusik keinginannya akan mengalami nasib seperti Fadel Muhammad.
Hemat penulis, apa
yang dilakukan Setnov dan Golkar, termasuk memimpin kembali lembaga wakil
rakyat, dapat dibaca sebagai upaya mempermulus manuver Golkar. Sejak Golkar
berada dalam genggaman Setnov, biduk partai tersebut langsung berubah haluan.
Jika sebelumnya berada di barisan oposisi yang tergabung dalam Koalisi Merah
Putih (KMP), setelah dikuasai Setnov, Golkar langsung berpindah ke barisan
pendukung pemerintah yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH).
Tidak
tanggung-tanggung, Golkar menyatakan siap mendukung Presiden Joko Widodo
(Jokowi) untuk mencalonkan diri kembali pada Pemilu Presiden 2019. Tentu,
langkah tersebut bukan tanpa kalkulasi politik yang matang. Dengan situasi
partai yang tengah mengalami kemerosotan citra di mata publik, Golkar perlu
cantelan yang mampu mengatrolnya kembali. Dan, hal itu terdapat pada diri
Jokowi yang tingkat elektabilitasnya tetap tinggi. Dengan begitu, Golkar akan
mendapat cipratan citra Jokowi jika mendukungnya.
Untuk mewujudkan
ambisi politik tersebut, Golkar harus memperlihatkan diri sebagai partai yang
tidak hanya setia pada pemerintahan, tetapi benar-benar mampu menjadi
pendukung dan sandaran kuat Jokowi. Itulah kenapa Golkar, dalam berbagai hal,
kerap kali menyuarakan dukungan yang kuat terhadap pemerintah.
Dengan demikian,
naiknya kembali Setnov ke posisi ketua DPR dapat dibaca dalam perspektif
tersebut. Dengan Setnov menjadi ketua DPR, berarti Golkar kian tampil sebagai
pendukung pemerintah yang paling kentara. Bagaimanapun, keberadaan Setnov di
posisi ketua lembaga wakil rakyat akan lebih menguntungkan Jokowi.
Ketika Jokowi
sekarang seolah ”mendapatkan getah” dari kasus yang menimpa Ahok, dukungan
DPR jelas sangat diperlukan. Saat DPR dipimpin Akom, selain dari sebagian
massa Islam yang tergabung dalam aksi yang disebut ”bela Islam”, Jokowi juga
mendapat tekanan dari kalangan pimpinan DPR sendiri. Bahkan, dua dari
pimpinan lembaga wakil rakyat itu ikut turun ke dalam aksi tersebut. Hal
seperti itu mungkin tidak terjadi jika Setnov yang menjadi ketua DPR. Karena
itu, pemerintah sendiri merasa diuntungkan dengan keberadaan Setnov sebagai
ketua DPR.
Namun demikian,
pada ranah publik, kemulusan manuver Setnov dan Golkar di atas boleh jadi
akan ditanggapi secara berbeda. Bagaimanapun, publik tidak percaya begitu
saja akan integritas dan kredibilitas Setnov meski dia lolos dari berbagai
jerat kasus hukum yang pernah menimpanya. Citra buruk Setnov terkait berbagai
kasus yang membelitnya, dalam derajat tertentu, mirip citra personal Ical
yang sudah kadung buruk di benak publik terkait kasus Lapindo.
Dalam situasi
demikian, citra Golkar sebagai lembaga pun akan ikut mendapat getahnya.
Penurunan suara Golkar pada Pemilu 2014 terjadi saat Golkar dipimpin Ical
yang citranya tidak bisa dinaikkan dengan cara apa pun. Bukan tidak mungkin
Golkar di bawah Setnov mengalami nasib serupa. Karena itu, manuver politik
Golkar di bawah kendali Setnov, seperti mengambil kembali posisi ketua DPR,
menjadi pertaruhan politik di masa depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar