Makar
Ideologis
Komaruddin Hidayat ; Guru
Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
|
KORAN SINDO, 09 Desember
2016
MENGAPA sosok presiden atau wakil presiden
kemanapun pergi mesti ada pengawalnya? Jawabannya, khawatir ada bahaya
mengancam. Jangan-jangan ada orang jahat yang mau membunuh atau menyakiti.
Jadi, siapapun yang menjadi pemimpin mesti
menyadari tidak semua orang senang kepada dirinya. Semakin tinggi jabatan
seseorang, semakin besar juga tantangan yang menghadang.
Ini analog dengan eksistensi Negara Repubik
Indonesia. Ada-ada saja orang yang tidak senang pada Indonesia, baik dari
dalam maupun luar negeri. Artinya, negara mesti dikawal sebagaimana mengawal presiden
karena sangat mungkin ada kekuatan yang mengancam. Dan itulah sebabnya hampir
semua negara memiliki pasukan tempur dan intelijen negara. Salah satu ancaman yang tertuju pada sosok
negara dan pemerintah Indonesia saat ini adalah menyangkut posisi ideologi
dan hukum.
Ada ustaz yang berpidato, sebagai umat
beragama hanya pantas tunduk pada hukum agama. Hukum Allah. Pernyataan itu
betul dalam konteks pribadi dan
komunalisme keagamaan. Tapi sebagai warga negara, maka hukum yang tertinggi
adalah undang-undang produk DPR bersama pemerintah. Seseorang bisa saja tidak
senang pada presidennya atau sistem politik negaranya. Tetapi ketika
ketidaksenangannya disampaikan terbuka dan menghasut orang lain untuk ikut
membenci negara, atau menggoyangnya, maka dia telah melakukan makar
ideologis.
Mengkritik pemerintah itu bagus dan
dilindungi undang-undang. Itu satu paket dengan sistem demokrasi. Dalam hal
ini ada sekelompok orang yang aneh. Mereka memandang sistem demokrasi itu thaghut. Syaitan yang mesti dilawan,
jangan diikuti. Tetapi anehnya mereka sangat menikmati iklim demokrasi dalam
menjual gagasannya. Tanpa iklim demokrasi gerakan mereka akan tertindas.
Mereka betah tinggal di negara yang mereka musuhi. Kalau tidak senang
mestinya hijrah saja.
Begitupun dengan Indonesia. Ada yang
agendanya ingin mengagamakan Indonesia menurut versi dan tafsiran mereka
sendiri. Jadi, agendanya untuk merebut dan menaklukkan lalu diganti dengan
ideologi pengganti Pancasila. Kalau agenda ini menemukan momentumnya, pasti
Indonesia akan pecah. Akibatnya sangat fatal. Sekali sebuah bangsa pecah,
sungguh tak terbayangkan untuk bisa bersatu kembali. Lihat saja Korea Utara
dan Korea Selatan, meskipun warganya banyak yang masih punya ikatan famili,
tetapi dua negara itu tetap berseteru. Dulu pernah muncul makar ideologis
oleh DI/TII Kartosuwiryo. Ada lagi gerakan komunisme. Mestinya sudah cukup
itu saja. Tak ada pihak yang diuntungkan.
Jadi, kalau hari gini mau melakukan makar,
rasanya tak cukup syarat untuk berhasil. Sepanjang persediaan makan dan bahan
bakar tercukupi serta kondisi damai, rakyat sulit diajak berevolusi. Gejolak
politik itu hal biasa dalam sebuah negara demokrasi, utamanya di jajaran
elite. Kecuali ada pelanggaran pidana serius yang dilakukan presiden, seorang
presiden bisa diturunkan. Tetapi kalau sekadar makar yang bersifat lunak, berupa
wacana, maka yang gaduh juga hanya pada level wacana.
Demikianlah yang terjadi, sekarang sedang
terjadi perang dingin berupa wacana untuk memengaruhi publik. Para buzzer
sedang melancarkan serangannnya
terhadap kubu lawan dengan berbagai cara untuk mengecoh masyarakat.
Jangan-jangan antara mereka itu dulunya juga teman seperjuangan. Kalau ingin
tenang, tak baca koran atau medsos.
Yang kadang membuat kabur adalah ketika
motif dan manuver politik diberi bungkus agama. Terjadi politisasi agama.
Agama memang punya missi amar ma'ruf,
nahi munkar. Menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran. Tetapi
jangan sampai diboncengi agenda politik, sehingga tanpa disadari akan
menistakan agama.
Yang saya dengar, pemerintah sekarang
sedang mempersiaplan penyempurnaan UU Keormasan. Ormas apapun yang anti-NKRI
dan Pancasila akan dilarang tumbuh dan beredar di Indonesia. Karena mereka
secara terang-terangan melakukan makar ideologi negara yaitu Pancasila yang
menjadi jatidiri dan perekat bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar