Makar
dari Masa ke Masa
Hibnu Nugroho ; Guru
Besar Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto
|
MEDIA INDONESIA,
05 Desember 2016
SETELAH menghilang begitu lama dari pemberitaan, istilah makar
beberapa waktu belakangan ini kembali ramai menjadi topik utama dalam
berbagai pemberitaan. Istilah makar ada di dalam ketentuan Pasal 87 KUHP yang
pada intinya untuk dikatakan sebagai makar haruslah ada suatu perbuatan
dengan disertai niat untuk melakukan hal tersebut dan telah terdapat
permulaan pelaksanaan. Ketentuan dalam pasal tersebut tidak memberi definisi
apa arti kata makar itu sendiri.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah makar memiliki tiga
arti, yaitu 1) akal busuk, tipu muslihat; 2) perbuatan (usaha) dengan maksud
hendak menyerang (membunuh) orang, dan sebagainya; 3) perbuatan (usaha)
menjatuhkan pemerintah yang sah. Menilik dari asal usul kata aslinya, makar
berasal dari bahasa Arab, yaitu makron, masdar, yang berarti menipu,
memerdaya, membujuk, mengkhianati, mengelabui, perbuatan makar.
Pemahaman arti kata makar dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu kata aanslag. Kata
aanslag diartikan sebagai serangan yang bersifat kuat atau dalam bahasa
Inggris diterjemahkan sebagai violent attack, fierce attack. Menurut Van
Haeringen yang dikutip Lamintang, aanslag diartikan dengan aanval atau
misdadige aanranding dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai serangan.
Peristiwa makar di Indonesia pernah terjadi dan tercatat dalam sejarah
kehidupan kenegaraan.
Bahkan pada masa kerajaan, tercatat peristiwa makar pada 1549 di
Kesultanan Demak oleh Aria Penangsang dan 1319 yang terkenal dengan
pemberontakan Kuti terhadap Kerajaan Majapahit di masa pemerintahan Raja
Jayanegara. Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno tercatat dalam sejarah
pelaku makar pertama kali ialah Daniel Maukar yang dengan mengendarai pesawat
tempur sendiri menyerang Istana Negara. Untunglah pada saat itu Presiden
Soekarno tidak sedang berada di dalam istana. Daniel Maukar diadili atas
tindakan makar terhadap negara dan juga presiden. Dia dijatuhi hukuman mati
meski pada akhirnya diampuni dan hanya menjalani sekitar delapan tahun masa
pemidanaan.
Keamanan
negara
Makar yang dilakukan Daniel Maukar ialah menyerang keselamatan
Presiden. Makar yang ditujukan untuk menggulingkan pemerintah yang sah ialah
apa yang dilakukan mantan kapten pasukan khusus Belanda yang bernama Raymond
Westerling pada 1950. Dari gambaran peristiwa itu dapat kita cermati bahwa
dalam istilah makar terkandung makna yang cukup luas. Tindak pidana ini masuk
bab tentang kejahatan terhadap keamanan negara. Secara teoretis, makar yang
dikenal umum ialah makar yang ditujukan ke dalam negeri yang dapat dibagi
menjadi tiga bagian, yaitu makar terhadap keselamatan presiden dan wakil
presiden, terhadap wilayah negara, dan terhadap pemerintahan.
Ketiga perbuatan itu diatur dalam Pasal 104, Pasal 106, dan
Pasal 107 KUHP. Pada intinya Pasal 104 mengatur makar yang ditujukan untuk
menyerang presiden atau wakil presiden agar tidak mampu memerintah negara.
Ketidakmampuan di sini diartikan tidak mampu baik fisik maupun psikis untuk
memerintah negara. Makar sebagaimana diatur dalam Pasal 106 ditujukan atau
dimaksudkan untuk membawa seluruh atau sebagian wilayah negara ke bawah
kekuasaan asing, untuk memisahkan sebagian dari wilayah negara.
Menurut Lamintang, itu diartikan sebagai perbuatan memisahkan
sebagian wilayah negara, tidak perlu wilayah negara tersebut dibawa ke bawah
kekuasaan asing, tetapi dapat juga di bawah kekuasaan sendiri. Salah satu
contoh ialah kasus yang terjadi dalam peristiwa Republik Maluku Selatan.
Makar dalam Pasal 107 ditujukan dengan maksud untuk menggulingkan
pemerintahan yang sah. Makar dalam pasal ini oleh masyarakat umum biasa
dikenal dengan istilah kudeta. Seorang ahli politik yang terkenal di Amerika,
Samuel P Huntington, mengidentifikasi tiga jenis kudeta.
Yang pertama kudeta sempalan, yang dilakukan oleh kelompok
bersenjata yang dapat terdiri dari militer atau tentara yang tidak puas
dengan kebijakan pemerintahan tradisional saat itu. Mereka kemudian melakukan
gerakan yang bertujuan menggulingkan pemerintah tradisional dan menciptakan
elite birokrasi baru. Kedua kudeta wali, oleh sekelompok pengudeta yang akan
mengumumkan diri sebagai perwalian untuk meningkatkan ketertiban umum,
efisiensi, dan mengakhiri korupsi.
Para pemimpin kudeta tipe ini biasanya menyatakan tindakan
mereka hanya bersifat sementara dan akan menyesuaikan dengan kebutuhan.
Biasanya, kudeta macam itu dilakukan dengan cara mengubah bentuk pemerintahan
sipil ke pemerintahan militer. Ketiga kudeta veto, yang dilakukan dengan
melibatkan partisipasi dan mobilisasi sosial dari sekelompok massa rakyat
dalam melakukan penekanan berskala besar yang berbasis luas pada oposisi
sipil. Kudeta veto mirip dengan revolusi kekuasaan. Salah satu contohnya
ialah Reformasi 1998 yang menuntut 'mundurnya Soeharto dari jabatan
presiden'. Dalam sejarah Indonesia, Soeharto ialah presiden pertama yang
dituntut mundur.
Perubahan aturan
Penerapan pasal-pasal tentang makar mengalami pasang surut. Hal
itu tidak terlepas dari politik hukum dari pemerintah. Yang dimaksud dengan
politik hukum pemerintah adalah kebijakan penyelenggara negara di bidang
hukum yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat dalam rangka
mencapai tujuan negara. Menurut Muladi, politik penegakan hukum pada dasarnya
merupakan bagian integral dari kebijakan sosial, yang mencakup kebijakan
kesejahteraan sosial maupun kebijakan keamanan sosial.
Oleh sebab itu, dalam perjalanan kehidupan berbangsa di
Indonesia, penerapan pasal mengenai makar ini pun berbeda-beda dari masa ke
masa. Pada awal kemerdekaan, dengan mengingat KUHP merupakan warisan
penjajahan Belanda, makar dalam periode masa ini penerapannya masih sama
dengan penerapan pada masa penjajahan. Konsentrasi baik pemerintah maupun
masyarakat masih bertitik pada peralihan kekuasaan dari penjajah kepada
bangsa Indonesia.
Fase berikutnya, pada saat pemerintah mulai berjalan lebih
teratur dan muncul gejolak baik politik maupun sosial dalam masyarakat,
politik hukum terhadap makar yang dianut mengarah ke bagaimana pemerintah
untuk dapat meredam gejolak masyarakat dalam rangka kestabilan negara. Karena
itu, dipergunakanlah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman
Tutupan. Pemerintah melakukan tindakan-tindakan tegas pada perbuatan makar
untuk mencegah terjadi perpecahan di dalam negeri yang akan berdampak luas
bagi kestabilan negara yang berusia masih sangat muda.
Menjelang berakhirnya pemerintahan Orde Lama, perangkat hukum
yang dipakai berupa Penetapan Presiden Nomor 11 Tahun 1963 yang kemudian
menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 atau populer dengan sebutan UU
Pemberantasan Subversif. Lahirnya pemerintahan Orde Baru, politik hukum yang
dianut cenderung lebih represif. Tindak pidana makar diatur menggunakan UU
Subversi. UU ini sangat efektif menutup celah untuk kebebasan mengeluarkan
pendapat dalam bentuk sekecil apa pun. Itu berlangsung sepanjang pemerintahan
Orde Baru. Seiring dengan perubahan kehidupan berkebangsaan di Indonesia,
lahirlah UU Nomor 26 Tahun 1999 yang biasa disebut sebagai UU Antisubversi
tentang Pencabutan UU Pemberantasan Subversi.
Sebuah
pembelajaran
Tahapan-tahapan yang telah dilalui dalam kehidupan bernegara
terhadap peraturan mengenai makar sebagaimana diuraikan di atas, terlepas
dari segala kekurangan dan kelebihannya. Namun, hal tersebut harus dilihat
sebagai suatu pembelajaran bahwa keutuhan persatuan negara dan kebebasan
berekspresi dari masyarakat harus dapat berjalan secara seimbang. Kebebasan
berpedapat merupakan bagian penting di dalam negara demokrasi sebagaimana
yang dianut Indonesia, ancaman perihal tindak pidana makar tentu bukan sebuah
pembatasan karena makar tidak sama dengan kritik.
Satu hal yang perlu digarisbawahi ialah bahwa mengemukakan
kritik merupakan sebuah kontrol bagi pemerintah dan pemerintah tak akan bisa
berjalan dengan baik tanpa adanya kritik, kontrol, dan masukan dari
masyarakat. Sebagai penutup bahwa ketiadaan tafsir tentang makar mengharuskan
ada penilaian secara cermat. Keharusan itu harus jelas, apakah suatu kegiatan
yang dianggap sebagai rencana makar merupakan kegiatan yang bersifat
sistematis, serius, dan terorganisasi dengan suatu rencana besar yang potensi
ancamannya demikian serius dan membahayakan bagi presiden dan/wakil presiden,
wilayah negara dan/pemerintah yang sah. Dengan demikian, hal tersebut tidak
menghambat kebebasan berpendapat di dalam demokrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar