Jumat
212 dan Simbol Ketidakadilan
M Bambang Pranowo ; Guru
Besar UIN Ciputat;
Rektor Universitas Mathlaul
Anwar, Banten
|
KORAN SINDO, 02 Desember
2016
DEMO akbar umat Islam digelar lagi Jumat, 2 Desember (2-12-
2016) di lapangan Monas dan sekitarnya. Semula demo 212 ini akan diawali
dengan salat Jumat di dua jalan protokol utama Jakarta, Jalan Sudirman dan
Jalan MH Thamrin. Seandainya benar terjadi, bisa terbayang betapa macetnya
jalan-jalan di Jakarta akibat ditutupnya dua ruas jalan protokol utama
tersebut.
Perihal salat Jumat di jalan raya ini sempat menjadi perdebatan
seru di media sosial (medsos). Seperti biasa, ada yang membolehkan, ada yang
membatalkan.
Sebelum perdebatan di medsos berakhir (bahkan mungkin tidak akan
pernah berakhir), terjadi kesepakatan antara wakil-wakil umat Islam (MUI,
Muhammadiyah, NU, dan lainnya) dengan pemerintah (polisi, TNI, dan
Kementerian Perhubungan) bahwa demo dan salat Jumat akan berlangsung di
Lapangan Monas, Jakarta Pusat.
Pemerintah menyediakan segala kebutuhan para demonstran di
lapangan (air minum, toilet, tempat wudu, karpet untuk sajadah, dan
lain-lain); sementara para pimpinan Islam berjanji untuk mengatur para
demonstran sedemikian rupa agar demo tersebut berlangsung aman dan damai.
Dengan kesepakatan tersebut, kita semua lega bahwa demo 212 ini
insya Allah berlangsung tertib, aman, dan damai. Sejumlah pondok pesantren
dari berbagai daerah misalnya menurunkan pasukan penjaga perdamaian dan siap
menyalurkan bantuan kepada para demonstran yang membutuhkan.
Dari gambaran di atas secara teoritis demo 212 akan berlangsung
aman, tertib, dan damai. Tapi, apakah teori tersebut akan jadi kenyataan?
Tampaknya, bukan isapan jempol belaka jika ”berbagai kelompok” radikal yang
ingin mengacaukan suasana demo—bahkan mengarahkan demo untuk merobohkan
kekuasaan yang sah—akan menunggangi peristiwa 212.
Bukan kebetulan jika Densus 88 berhasil membongkar jaringan
teroris di Majalengka belum lama ini, yang ternyata mampu membuat bom berdaya
ledak tinggi dan berniat mengacaukan suasana melalui demo 411 dan 212 dengan
tujuan merebut kekuasaan dari pemerintahan yang sah. Mereka ingin menjadikan
Indonesia bagian dari wilayah ISIS yang bermarkas di Raqqah, Suriah.
Peneliti Intelijen Ridwan Habib menilai, temuan bom di
Majalengka oleh Densus 88 menunjukkan indikasi gerakan terorisme di Indonesia
masih aktif. Terlebih, kelompok teroris tersebut terbukti sudah mampu membuat
bom dengan daya ledak tinggi. ”Mereka (kelompok teroris Majalengka) sudah
berhasil membuat bom HMX atau micronuke yang canggih. Bom jenis ini skala ledakannya bisa beradius 2 kilometer
dan jauh lebih dahsyat dari bom Bali pertama dan kedua,” kata Ridwan, Senin
28 November 2016.
Ridwan menjelaskan bahwa pengungkapan laboratorium bom
Majalengka oleh Polri membuka fakta bahwa ISIS masih menjadi ancaman di
Indonesia. ISIS juga terbukti ikut demonstrasi pada 4 November 2016 dengan
tujuan merebut senjata aparat.
Karena itu, Ridwan
mengingatkan, aksi 2 Desember jangan sampai bisa disusupi oleh kelompok ini.
”Pimpinan demo harus ekstrawaspada, jangan biarkan kelompok ISIS ikut
menyusup di dalam massa 212, bisa merusak tujuan demo,” ucapnya.
Di samping mewaspadai campur tangan kelompok terorisme, para
pimpinan demo 212 juga harus tegas dan disiplin dalam melaksanakan
kesepakatan yang dibuat antara wakil-wakil demonstran dan pemerintah pada
Selasa, 30 November 2016. Dalam kesepakatan itu disebutkan antara lain demo
harus berlangsung aman, tertib, dan damai.
Tentu saja kesepakatan demo aman, tertib, dan damai itu
merupakan indikasi bahwa pemerintah dan demonstran sebetulnya mempunyai satu
visi. Yaitu, ingin menegakkan Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera.
Untuk hal terakhir ini, tentu saja pemerintah punya kemampuan mewujudkannya.
Banyak pihak bertanya, kenapa masalah Ahok yang kelihatan sepele
kemudian bergelora sehingga menimbulkan kegaduhan nasional? Jawabnya: Ahok
adalah simbol kekuasaan, sekaligus simbol jaringan yang mengangkangi
kehidupan rakyat Indonesia.
Mungkin Ahok sendiri tidak tahu kenapa dirinya dijadikan ikon
untuk ”simbol perlawanan sehingga menjadi musuh bersama” terhadap
ketidakbecusan hukum di Indonesia. Ahok pun dijadikan simbol perlawanan
terhadap kekuasaan ekonomi yang menggurita, dan Ahok pribadi tidak bisa
berbuat apa-apa. Dengan simbol-simbol ketidakadilan inilah, sesungguhnya demo
tersebut bergerak dan membesar seperti bola salju.
Akhirnya, kita semua berharap demo Jumat 212 ini akan berakhir
damai, aman, dan tenteram. Bila demo kemudian pecah dan mengundang petaka, kita harus berani
menanggulanginya dengan cepat. Ingat, kata MUI, segala sesuatu yang berkaitan
dengan demo di luar koordinasi para komando lapangan harus dianggap ilegal.
Karena itu, jika ada indikasi seseorang sebagai provokator, ia harus
ditangkap segera.
Hal ini penting agar umat tahu bahwa demo itu rawan ”susupan”
untuk mengacaukan suasana. Demo besar-besaran sangat mungkin bisa disusupi
dan oknum penyusup ini bisa mengarahkan massa demi tujuan-tujuan politik
tertentu. Mudah-mudahan hal tersebut tidak ada dalam demo 212. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar