Senin, 19 Desember 2016

Jangan Ganggu Momentum Perekonomian

Jangan Ganggu Momentum Perekonomian
A Tony Prasetiantono  ;   Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik
UGM, Yogyakarta
                                                    KOMPAS, 19 Desember 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Perekonomian Indonesia akan segera mengakhiri tahun 2016 dengan pertumbuhan 5 persen. Dalam situasi perekonomian global yang tak menentu, pencapaian ini termasuk optimal. Tahun depan, ada banyak tantangan sehingga pertumbuhan ekonomi mungkin cenderung mendatar.

Harga komoditas primer pada akhir 2016 mulai mengarah ke level yang masuk akal. Pada Februari 2016, harga minyak jatuh ke level yang tak terbayangkan, yakni 27 dollar AS per barrel (pada Juni 2014 di atas 100 dollar AS). Akibatnya, harga produk substitusinya anjlok. Harga batubara merosot ke 50 dollar AS per ton (pada 2011 masih di atas 100 dollar AS). Harga batubara yang sangat rendah itu menghancurkan daya beli orang- orang yang terkait dengan sektor ini.

Akibatnya, permintaan terhadap sejumlah produk melemah, terutama pembelian mobil, sepeda motor, properti, bahkan produk konsumen. Lesunya sektor energi tidak bisa diisolasi dan menular ke industri lain.

Ketika mencapai puncak kejayaan pada 2010-2013, batubara berkontribusi signifikan pada akselerasi kredit bank. Pertumbuhan kredit mencapai 24 persen-30 persen. Tahun ini, pertumbuhannya sekitar 8 persen atau terendah sejak krisis 1998. Namun, pada Desember 2016, tiba-tiba harga batubara melejit di atas 100 dollar AS per ton. Kenaikan harga ini diragukan keberlanjutannya mengingat kenaikan harga minyak baru sampai di kisaran 50 dollar AS per barrel. Kenaikan harga batubara tersebut tidak proporsional terhadap kenaikan harga minyak.

Secara umum, harga komoditas mulai menuju ekuilibrium baru yang lebih rasional. Harga minyak di atas 100 dollar AS akan mematikan perekonomian, demikian juga harga di bawah 30 dollar AS yang tidak memberi insentif bagi perekonomian. Karena itu, harus dicari keseimbangan yang wajar dan berkelanjutan, yang kemungkinan ada di sekitar 50 dollar AS per barrel.

Membaiknya harga minyak kali ini dipicu oleh kesadaran produsen minyak besar untuk menurunkan produksinya. Ini adalah sesuatu yang tak pernah terjadi selama ini.

Arab Saudi bersedia memangkas 500.000 barrel per hari, begitu juga Rusia. Mereka adalah produsen terbesar di dunia dengan produksi di atas 10 juta barrel per hari. Ditambah negara lain yang bersedia menurunkan produksi, pasokan minyak berkurang 1,5 juta barrel per hari. Pasokan total minyak dunia 90 juta barrel per hari. Harga komoditas akan ditentukan tingkat kedisiplinan produsen minyak mengendalikan suplai karena akan berpengaruh pada kondisi fiskal.

Sentimen positif

Meski kondisi fiskal tertekan, Pemerintah Indonesia tetap melanjutkan pembangunan infrastruktur yang kemudian mengembuskan sentimen positif bagi pasar. Anggaran pemerintah untuk infrastruktur Rp 330 triliun pada 2017 dan selama 5 tahun Rp 1.500 triliun. Target semua kebutuhan infrastruktur (pemerintah, swasta, BUMN) adalah Rp 5.000 triliun untuk 2014-2019. Angka ideal ini tak realistis karena setara 8 persen produk domestik bruto (PDB). Proporsi belanja infrastruktur setinggi ini hanya bisa dialokasikan oleh Tiongkok.

Brasil yang menirunya kedodoran karena defisit fiskalnya menjadi terlalu besar, yakni 10 persen terhadap PDB. Akibatnya, pemerintahnya tak kredibel di mata investor. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyadari pentingnya kredibilitas dan keberlanjutan fiskal sehingga mobilisasi belanja infrastruktur diturunkan menjadi Rp 4.000 triliun untuk lima tahun. Target ini masih tinggi, tetapi lebih kredibel.

Program pengampunan pajak sejauh ini berhasil. Namun, kinerja pada tahap kedua (Oktober-Desember) cenderung jauh melemah karena puncak terjadi pada akhir tahap pertama dan pemerintah kendur melakukan sosialisasi. Jika pemerintah berhasil mendorongnya hingga akhir program Maret 2017, pengampunan pajak akan sangat membantu perekonomian.

Repatriasi akan berkontribusi pada kenaikan cadangan devisa. Pemerintah menargetkan repatriasi Rp 1.000 triliun, tetapi angka ini terlalu ambisius. Angka yang realistis sekitar separuhnya sehingga akan ada tambahan cadangan devisa 30 miliar dollar AS-40 miliar dollar AS. Cadangan devisa saat ini 110 miliar dollar AS. Kombinasi antara efek Donald Trump yang menyebabkan menguatnya dollar AS dan indeks harga saham New York (19.840), serta potensi kenaikan suku bunga bank sentral AS, The Fed, dapat diredam oleh arus masuk dana repatriasi.

Namun, semua fondasi itu bisa berantakan jika kita tidak bisa mengelola stabilitas politik dengan baik. Jika situasi belakangan ini tak tertangani, dampaknya bisa fatal. Sektor pariwisata, misalnya, yang bisa menarik 10 juta wisatawan asing dalam setahun, paling mudah dan cepat terimbas. Padahal, sektor ini ditargetkan menarik 20 juta wisatawan mancanegara pada 2019 yang bisa menambah cadangan devisa 15-20 miliar dollar AS. Turki sudah merasakan terkoyaknya pariwisata oleh konflik politik.

Tahun 2017 tidaklah mudah. Momentum pertumbuhan ekonomi hendaknya dibebaskan dari instabilitas sosial-politik karena akan menyebabkan kerja keras sektor perekonomian berujung pada kesia-siaan belaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar