Jumat, 16 Desember 2016

Bencana

Bencana
Putu Setia  ;   Pengarang; Wartawan Senior TEMPO
                                                  TEMPO.CO, 09 Desember 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Bencana tak putus-putusnya menghampiri negeri kita. Ada yang datang secara tiba-tiba, tanpa tanda apa pun sebelumnya. Ada yang seharusnya bisa diantisipasi, tapi kita selalu lengah atau mungkin mengira itu urusan kecil. Syukur jika ada bencana yang tidak jadi datang karena kita siap mencegahnya.

Tentu saja ini rupa-rupa bencana, bukan yang sejenis atau yang bisa diperbandingkan. Bencana tanpa permisi itu, contohnya, gempa yang menggoyang Pidie Jaya di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Betapapun ilmu gempa sudah dikuasai pakar kita, namun tak ada seorang pun yang tahu kapan gempa itu datang. Tampaknya ini rahasia alam yang harus tetap jadi misteri.

Ilmu tentang gempa semakin banyak diketahui. Para pakar sudah bisa memetakan daerah yang potensial mengalami gempa. Jalur patahan lempeng bumi sudah bisa digambar. Di Sumatera, misalnya, setidaknya ada tiga sesar (patahan di darat), yakni Sesar Sumatera, Sesar Seulimeum, dan Sesar Samalanga-Sipopok. Sedangkan di laut, ada Lempeng Australia-Eurasia. Kabupaten Pidie Jaya, yang Rabu subuh lalu kebagian gempa, termasuk berada di jalur Sesar Samalanga-Sipopok itu. Pada 1967 gempa juga terjadi persis di kawasan ini.

Tapi kenapa korban masih juga berjatuhan dalam jumlah besar? Karena kita mengabaikan pesan para pakar, juga pesan para leluhur untuk membangun rumah tahan gempa di atas patahan bumi itu. Para leluhur kita di masa lalu sudah menemukan arsitektur tahan gempa dengan bangunan kayu, dan terbukti aman dari goyangan gempa. Sayang hal ini banyak ditinggalkan dengan alasan rumah kayu lebih mahal dibanding rumah beton. Lalu, pengawasan dari pemerintah pun alpa. Korban gempa di Pidie sebagian besar tertimbun bangunan yang roboh karena konstruksi ruko—rumah toko—yang bertingkat itu tak memenuhi standar. Ini bukan persoalan di Pidie saja, tapi juga di banyak tempat rawan gempa. Seharusnya ini bisa jadi pelajaran ke depan bagaimana membangun di atas patahan bumi itu.

Bencana yang tak ada hubungan dengan gempa, contohnya masih saja dipamerkan sikap intoleransi dalam melaksanakan keyakinan beragama. Perayaan Natal di Gedung Sabuga Bandung dihentikan oleh ormas yang bernapaskan agama lain yang tidak merayakan Natal. Apa pun kasusnya, mungkin termasuk urusan izin yang tak sempurna, penghentian paksa itu adalah bencana, karena seharusnya bukan ormas keagamaan yang bertindak. Aparat hukumlah yang melarang atau tetap mengizinkan. Kalau "urusan kecil" seperti ini terus dipelihara, berbuih-buihlah bicara soal aksi super damai, orang akan tetap waswas akan terpeliharanya kebinekaan di negeri ini.

Dua bencana yang disebut itu, sekali lagi, tak saling berkaitan. Yang satu fenomena alam yang sulit ditebak, yang lain bencana yang gejalanya bisa dibaca. Ada perilaku kurang baik dari ormas keagamaan yang suka merecoki urusan umat beragama lain. Hanya orang yang punya hobi membodohi masyarakat yang menyebutkan gempa di Aceh adalah "balasan" dari intoleransi di Bandung. Ini karangan pemabuk khas di media sosial.

Lalu, bencana mana yang batal datang? Tergolong embrio bencana atau tidak, urusan makar yang dituduhkan kepada beberapa aktivis cukup mengagetkan masyarakat. Mereka yang ditangkap polisi adalah ibu-ibu dan bapak-bapak yang sudah sepuh, yang sepertinya tak punya kekuatan untuk melakukan makar. Tapi proses hukum sedang berlanjut, mari kita ikuti. Harapan kita ini bukan masalah besar, meskipun penangkapan itu ternyata penting juga agar aksi super damai yang disebut 212 di Monas tidak ternoda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar