Jumat, 16 Desember 2016

Amarah

Amarah
Goenawan Mohamad  ;   Esais; Mantan Pemimpin Redaksi Majalah TEMPO
                                                  TEMPO.CO, 12 Desember 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Negeri ini didirikan dengan impian yang ramah. Tapi itu tiga perempat abad yang lalu.

Kita ingat: menjelang 17 Agustus 1945, ketika kemerdekaan didengungkan sebagai sesuatu yang aktual ("sekarang!" seru Bung Karno pada 1 Juni tahun itu), ada keyakinan: "Di dalam Indonesia Merdeka itulah kita memerdekakan rakyat kita!" seperti kata Bung Karno. Ada harapan rakyat Indonesia punya potensi penuh untuk jadi manusia yang tak terbelenggu, karena kemerdekaan politik adalah "jembatan emas"—gilang-gemilang, kukuh, dan aman untuk mencapai yang dituju.

Tapi semenjak tiga perempat abad lalu, "jembatan emas" itu ternyata impian yang terlalu manis atau retorika yang khilaf: Indonesia pasca-kolonialisme adalah juga sebuah negeri yang penuh kekerasan, ketidakadilan, konflik, kecurangan.

Tampak pula bahwa sebagian besar "rakyat" bukan pribadi-pribadi yang menentukan pilihan sendiri. Mereka yang miskin dicengkeram ketimpangan sosial. Mereka yang bersuara disumpal dogma. Mereka yang bersikap ternyata tak berani melepaskan diri dari panutan kolektif.

Impian yang ramah juga terasa ketika dalam pidato 1 Juni itu Bung Karno menegaskan: negara Indonesia yang akan berdiri "bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan", melainkan negara "satu buat semua, semua buat satu". Bung Karno meyakini, dalam proses perpaduan antara "satu" dan "semua" itu akan efektif "musyawarah", lewat suatu proses politik dengan perwakilan rakyat.

Tiga perempat abad kemudian inilah yang sering dialami: "musyawarah" bisa berarti pengekangan yang tersamar terhadap pendirian yang berbeda; "perwakilan rakyat" jadi parlemen yang diangkat seorang diktator atau diseleksi para pendukung oligarki. Tak jarang dari sana berkuasa suara yang digerakkan hasutan, uang suap, atau kepicikan.

Kemudian, mimpi yang ramah 1945 pun terguncang bersama sejarah dunia yang terguncang. Tiga kali, setidaknya.

Yang pertama gagalnya ikhtiar besar untuk mendirikan masyarakat yang tumbuh dalam kesetaraan. Sosialisme bukan lagi janji masa depan yang pasti; sosialisme kini jadi petilasan masa silam—mungkin terasa indah atau sebaliknya grotesk, tapi tak bergerak.

Yang kedua ketakaburan dan kesia-siaan "globalisasi". Pernah ada janji, menyebarnya modal dan perdagangan bebas ke segala penjuru akan membuahkan rasa kenyang dan perdamaian. "Tak ada dua negeri yang sama-sama punya McDonald's pernah bertempur satu sama lain, sebab masing-masing punya McDonald's-nya sendiri," kata suara yang paling optimistis tentang globalisasi, diwakili Thomas L. Friedman.

Tapi ternyata McDonald's bukan lambang dan jalan damai, melainkan, sebagai modal, penyebab kegendutan dan keretakan. Hanya sedikit yang bisa menikmati akumulasi modal global—dan bagi yang tak kebagian, McDonald's (atau mobil Ferrari, atau koper Louis Vuitton) menandai sesuatu yang mudah dicurigai: benda dari kebudayaan dan keserakahan asing. Globalisasi pun ditentang—juga di Amerika Serikat dan Eropa, dua wilayah ekonomi yang paling kuat berperan dalam penyebaran modal yang lepas dari perbatasan itu.

Yang ketiga: kegalauan, amarah, dan kekerasan yang merundung orang-orang beragama. Yang paling nyaring, kita tahu, terdengar dari "dunia Islam".

Dalam sebuah esai yang baru-baru ini terbit di The Guardian, yang merekam dengan peka dan menilik dengan dalam hiruk-pikuk dewasa ini, Pankaj Mishra menyebut masa ini sebagai "Zaman Kemarahan".

Ia tak membatasi "kemarahan" kolektif itu di dunia Islam tempat terorisme tumbuh. Amarah yang seperti api dalam sekam itu juga terdengar sebagai suara pelbagai kaum di pelbagai negeri. Tapi Indonesia hari-hari ini menyaksikan yang lebih khusus—sesuatu yang tak dikenal tiga perempat abad yang lalu, dalam mimpi ramah para pendiri Republik: kebencian yang diteriakkan, permusuhan yang menghalalkan fitnah dan dusta, demagogi ala Rizieq.

Apa gerangan sebabnya? Mishra menyebut satu pengertian yang dulu antara lain dikemukakan Nietzsche ketika mengamati gejala psikologi kaum yang beragama: ressentiment. Dalam kata ini terkandung "paduan yang intens rasa iri, rasa terhina, dan tak berdaya"—seperti dahulu, ketika para ulama Yahudi dikungkung hegemoni Romawi.

Kini di kalangan ulama Islam ressentiment itu juga menunjukkan sesuatu yang intens: sebuah frustrasi. Mereka sadar tapi tak mau mengakui bahwa apa yang disebut "Barat", yang sebenarnya campuran yang hidup dari pelbagai anasir, tak henti-hentinya berada dalam hegemoni, sementara dunia Islam tak mampu lagi menghasilkan sesuatu yang berarti bagi peradaban. Frustrasi itu jadi suara amarah yang makin nyaring tapi tak beroleh jalan ke luar, kecuali penghancuran.

Sampai kapan, kita tak tahu. Yang jelas, Indonesia bisa terbangun dari impian ramah 1945—atau cuma ketakutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar