Yang
Kearab-araban, Yang Keeropa-eropaan
Iqbal Aji Daryono ;
Praktisi Media Sosial; Penulis; Kini ia
tinggal sementara di Perth, Australia, dan bekerja sebagai buruh transportasi
|
DETIKNEWS, 14 Februari 2017
"Haji Iqbal, hurry up! Why are you late, my brother?"
Sambil
menyetir forklift untuk mengangkati palet-palet berisi barang-barang kiriman,
lelaki berkulit legam itu menyapa saya. Ia buruh di gudang perusahaan jasa
pengiriman tempat kami bekerja.
Namanya Abdy,
Abdurrahman Masoud lengkapnya, asalnya dari Jibouti, Afrika. Awalnya Abdy tak
tahu saya muslim. Begitu tahu, dia langsung tampak lebih ramah, dan mengubah
caranya memanggil saya. Soal "Haji Iqbal", tentu ia cuma bercanda.
Tapi Abdy tak lagi memanggil saya dengan "mate" sebagaimana
lazimnya cara Australia, bukan juga dengan "Iqy" sesuai panggilan
buat saya dari teman-teman lain di gudang. Dia sekarang memanggil saya dengan
"my brother".
Sebelum kenal
Abdy, saya pernah berjumpa dengan banyak muslim dari berbagai negara. Saya ingat-ingat,
ternyata kebanyakan mereka saling menyapa dengan panggilan
"brother". Begitu pula para khatib di Universitas Western Australia
tempat saya rutin jumatan sekarang, dalam khotbah mereka pun selalu muncul
sebutan bagi jamaah: "Brother and sister in Islam..."
Pada waktu
lain, dalam sebuah penerbangan, saya duduk bersebelahan dengan seorang lelaki
Arab Saudi. Ketika kami bicara bahasa Inggris, dan dia tahu bahwa saya
muslim, segera kalimat-kalimatnya berlimpah dengan ucapan "masya
Allah". Anehnya, dia menyebut saya dengan "you" saja. Misalnya
saat bertanya, "So which part of Indonesia do you live?"
Aneh, kan?
Iya, lah. Ini memang aneh. Kenapa dia tidak memakai "antum" untuk
kata ganti orang kedua? Kenapa cuma "you"? Bukannya kami sesama
muslim? Juga Abdy dan teman-teman muslim yang lain, kenapa mereka memanggil
saya dengan "brother" dan bukan "akhi"? Padahal di
Indonesia, oleh sesama muslim Indonesia, berkali-kali saya malah dipanggil
dengan antum dan akhi. "Antum sekarang tinggal di mana, Akh Iqbal?
Keluarga sehat-sehat?"
Dari situ
lantas muncul dua biji tanda tanya di kepala saya. Benarkah umat Islam
Indonesia lebih Islam dibanding muslim di negara-negara lain? Atau... umat
Islam Indonesia lebih Arab dibanding orang Arab sekalipun?
Debat kusir
tentang kaitan Arab dan Islam ini masih sering muncul di mana-mana. Banyak
muslim merasa lebih afdhol memakai apa-apa yang berbau Arab, mulai pakaian
hingga ucapan, agar lebih kental keislamannya. Di sisi seberangnya, banyak
orang tak sepakat jika Islam harus diartikan dengan apa-apa yang berbau Arab.
Islam itu universal, universalitas Islam justru akan hilang jika di mana-mana
muslim harus diarabkan, dan sebagai muslim Indonesia kita harus tampil dengan
ciri budaya Indonesia. Begitu pendapat mereka.
Perdebatan
semacam ini sering memanas, karena lantas lari ke mana-mana. Yang tidak suka
dengan budaya Arab dibilang membenci kebiasaan Nabi Muhammad. Yang suka
dengan yang Arab-Arab dibilang ingin mengarabkan Indonesia.
Problem
identitas beginian semestinya disikapi dengan memahami dulu duduk perkaranya.
Kalau kurang cermat, yang akan muncul adalah generalisasi, sikap gebyah uyah
yang bikin segalanya kian rumit dan berakhir menjadi konflik.
Generalisasi
tersebut banyak bentuknya. Yang cukup sering terjadi, ketika orang bicara
tentang Arab, acapkali tak dibedakan dulu antara Arab sebagai entitas budaya,
Arab sebagai entitas etnis, dan Arab sebagai entitas politik-administratif
alias negara Arab Saudi.
Modus begini
lazim terjadi, tak bedanya dengan sering cerobohnya kita dalam membedakan
antara Yahudi sebagai etnis atau salah satu cabang dari kelompok ras Semit
(Jews), Yahudi sebagai agama (Judaism), dan Yahudi sebagai orang yang memeluk
agama Yahudi (Jewish). Atau yang belakangan lebih sering muncul di tengah kita
adalah gagalnya orang membedakan antara China sebagai negara, dan China
sebagai etnis. Akibatnya, sebagai contoh, perayaan Tahun Baru Imlek yang
meriah oleh warga keturunan Tionghoa ikut tertuding sebagai tanda berkuasanya
negara Tiongkok alias RRC atas Republik Indonesia hahaha.
Oke, kita
kembali ke Arab. Kegagalan dalam membaca "Arab" dalam sebuah
konteks wacana membuat sebagian orang tertentu meletakkan budaya Arab dan
Kerajaan Arab Saudi dalam posisi yang sama dan saling menggantikan. Ini
kacau. Mengecam Kerajaan Arab Saudi, misalnya, serta-merta dianggap sama dan
sebangun dengan menghina budaya dan tradisi bangsa Arab. Lebih dahsyat lagi,
kritik atas Kerajaan Saudi dicegat dengan slogan asal-asalan: "Hoi,
kenapa membenci Arab?? Jangan lupa Nabi Muhammad adalah orang Arab!"
Padahal,
kerajaan ya kerajaan, itu rezim politik. Kalau budaya ya budaya. Mau rezim
politiknya runtuh, budayanya tak akan terpengaruh.
Harap diingat,
Kerajaan Saudi baru berdiri pada tahun 1932. Itu satu milenium lebih tiga abad
setelah wafatnya Nabi Muhammad. Lha trus apa urusannya Nabi dengan Dinasti
Saud? Nabi memang lahir dan besar dalam tradisi Arab. Tapi jangan sampai kita
menganggap bahwa Nabi Muhammad adalah warga negara pemegang paspor Arab Saudi
hehehe.
Dengan pemahaman
konteks semacam itu, semestinya Anda tak perlu sensi kalau saya mengatakan
bahwa panggilan antum dan akhi, sebagaimana saya gambarkan pada pembuka
tulisan ini, bukan merupakan cermin kuatnya ghiroh keislaman. Ia semata-mata
ekspresi budaya yang kearab-araban.
Islam
mengajarkan agar sesama muslim merasa bersaudara, dan memanggil dengan
panggilan yang baik. Itulah nilai islami itu. Maka panggilan
"brother" pun sangat islami, karena sesuai dengan spirit ajaran
Nabi agar sesama muslim bersaudara. Adapun mengucap antum dan akhi saat
bicara bahasa Indonesia, saya tak tahu itu islaminya di mana. Bahkan saya
juga tak tahu itu budaya Arab atau bukan, lha wong orang Arab sendiri tidak
melakukannya saat mereka bicara bahasa non-Arab.
Berangkat dari
situ, muncul pertanyaan lanjutan: Apakah sebagai orang Indonesia artinya kita
mesti bersikap menolak budaya Arab? Lalu menyebut mereka para pengucap antum
dan akhi itu sebagai "laskar onta"? Eit, tunggu dulu dong. Jangan
terburu bertepuk tangan dan mengambil kesimpulan.
Begini. Harus
dipahami, Arab sebagai budaya tak lebih dari salah satu entitas kultural
warga dunia. Jika kita mengejek dan merendahkan budaya Arab, maka kita sama
saja dengan siapa pun yang menista budaya China, India, Sunda, Bali, Batak,
atau budaya mana pun. Sementara, yang namanya budaya tuh bersifat dinamis,
adaptif, lentur, bahkan cair. Ia bisa merembes ke mana-mana, tercampur dengan
elemen lain, mengendap tanpa sadar, masuk menembus pori-pori sekat
primordial. Maka, tidak ada di dunia ini budaya yang benar-benar murni.
Dilihat dari
fakta sejarahnya, Nusantara pun dibentuk oleh ribuan entitas kultural, di
mana budaya Arab merupakan salah satu kontributor pentingnya. Coba sekarang
periksa saja, mulai kata pertama di tulisan ini, sampai di titik terakhir
Anda membaca yaitu di... sini. Ada berapa kata bahasa Indonesia yang jelas
merupakan serapan dari bahasa Arab? Ada banyak. (Coba diteliti sendiri,
anggap saja itu PR dari saya.)
Lebih dari
itu, ketika kita alergi kepada budaya Arab seolah kita ingin tampil murni
berkarakter Nusantara, kita malah lupa bahwa diri kita sehari-hari sebenarnya
adalah cerminan berkuasanya budaya Eropa. Kalau nggak percaya, cobalah
berdiri di depan kaca, dan lihat baik-baik pakaian Anda semua. Anda pakai
kemeja, kaos oblong, celana jins, atau setelan jas. Apa Anda yakin itu kostum
asli Nusantara, yang dulu dipakai Hayam Wuruk Raja Majapahit dan
Balaputradewa Raja Sriwijaya?
Memang, di
zaman ini, memakai kostum "normal" semacam yang kita pakai
sehari-hari seolah merupakan tuntutan zaman. Ia sekaligus menjadi syarat
kemudahan dalam kehidupan sosial. Pada satu sisi memang benar bahwa itu
normal, karena normal dan tak normal toh sebenarnya cuma perkara mayoritas
dan minoritas. Ketika mayoritas orang di sekitar kita memakai pakaian demikian,
maka kita jadi merasa normal saat mengikutinya.
Tapi begini.
Kita kerap lupa menyadari, bahwa pakaian ala Eropa yang kita kenakan sekarang
pun menjadi bagian dari normalitas sosial di Indonesia bukan tanpa sejarah
panjang hegemoni budaya. Semua itu jadi lazim ya karena pembaratan alias
westernisasi, sedangkan proses pembaratan berjalan karena kolonialisme.
Untuk memahami
logika soal itu, paling enak jika kita pahami dulu produk budaya berupa
bahasa. Sebuah bahasa menjadi bahasa dunia bukan karena bahasanya yang hebat,
bukan pula karena populasi penuturnya yang banyak, melainkan karena bahasa
tersebut digunakan oleh pemegang kuasa.
Bahasa Latin,
contohnya, pada masanya pernah menjadi bahasa global. Padahal, penutur
aslinya cuma sebagian kecil saja dari keseluruhan warga negara Kekaisaran
Romawi, negara adikuasa pada zaman itu. Tapi bagaimana mau dilawan, wong
administratur di Kekaisaran Romawi, tentara-tentaranya, dan belakangan juga
Gereja Katolik Roma, semua memakai bahasa Latin, kok. Bahasa Latin pun
berjaya. Karena apa? Karena penuturnya berkuasa.
Demikian pula
bahasa Inggris. Jauhkan pikiran bahwa bahasa Inggris sudah dari sononya
diturunkan Tuhan sebagai bahasa internasional. Enggak, lah. Bahasa Inggris
menyebar dan mengglobal karena dibawa kolonial Inggris yang merajalela
berkuasa di mana-mana, bersama kekuatan militer maupun kekuatan ekonomi hasil
Revolusi Industri. Usai berkuasa, mereka meninggalkan sistem pemerintahan,
sistem peradilan, sistem pendidikan, yang kesemuanya dijalankan dengan bahasa
Inggris.
Bahasa Inggris
semakin jaya ketika Sekutu Inggris-Amerika keluar sebagai juara Perang Dunia
II, dan lambat-laun disusul oleh keberhasilan supremasi ekonomi dan budaya
Amerika Serikat. Walhasil, bahasa satu itu pun menguasai dunia lewat musik,
film, buku-buku, media massa, dan sebagainya.
Seperti
itulah. Jadi, ketika teman di sebelah Anda ngobrol sambil menyelipkan
"which is" di sela-sela kalimatnya, atau ketika seorang politisi
melumuri pidatonya dengan istilah-istilah bahasa Inggris sampai perut kita
kekenyangan dibuatnya, atau ketika Anda merasa keren saat menulis status
Facebook dengan bahasa Inggris alih-alih bahasa Indonesia, jangan dikira itu
karena tujuan praktis semata. Itu adalah etalase paling luar dari kekalahan
kita hahaha.
Apa yang
terjadi dengan gaya berpakaian ala Eropa dan produk-produk budaya lainnya pun
sebenarnya menjalani alur yang sama dengan proses mengglobalnya bahasa
Inggris. Dalam konteks sejarah Indonesia, kita harus merunutnya terutama
sejak Politik Etis diterapkan pemerintah Hindia-Belanda pada akhir abad
ke-19. Berawal dari momentum itu, di belakang hari kita mewarisi sistem
sekolah, lembaga peradilan, pencatatan sipil, administrasi negara,
penanggalan, hingga kebiasaan sehari-hari seperti makan dengan alat-alat
makan, termasuk kebiasaan dalam cara berpakaian. Semua itu adalah warisan
kolonial Belanda, yang berjalan seiring dengan terus menguatnya kuasa Eropa
di segala lini kehidupan kita.
Jadi, Anda
masih berpikir untuk membentengi Indonesia dari budaya asing Arab dan menjadi
penegak kemurnian Nusantara, sementara kita sendiri dengan bahagia merayakan
warisan budaya Eropa? Aduh, tolong pikirkan sekali lagi.
"Lho,
tapi orang-orang berjubah itu sukanya merasa paling suci, sukanya
mengkafir-kafirkan orang!"
Sebentar,
sebentar, tahan emosi dulu. Begini Mas, Mbak. Kalau memang ada orang
menyakiti Anda dengan kata-kata mereka, itu yang salah mulutnya, apa bajunya?
Kita tidak
suka jika manusia dinilai berdasarkan warna kulitnya. Kita tidak suka jika
manusia dinilai berdasarkan etnisnya. Kita juga tidak suka jika manusia
dinilai berdasarkan kain yang melekat di tubuhnya. Ketika kita memprotes
ucapan orang yang menyatakan rok mini sebagai ciri amoral, semestinya kita
juga tidak melihat jubah sebagai simbol arogansi, bukan?
Yang namanya
arogansi bisa dilakukan siapa saja. Yang pakai jubah, yang pakai jas, yang
pakai tank top, yang pakai bikini, bahkan yang nggak pakai baju sekalipun,
semua bisa arogan. Dan arogansi manusia bukan cuma muncul dalam bentuk sikap
sok paling suci, melainkan juga sok paling modern, sok paling pinter, sok
paling rasional dan segala jenis sok sok yang lain.
Akhirulkalam,
tidak perlu tegang-tegang memikirkan cara kita dan orang-orang di sekitar
kita dalam berekspresi dengan produk-produk budaya. Pakai saja pakaian yang
kita suka, yang pantas, yang keren, yang sesuai dengan selera atau keyakinan
kita. Pakai juga kata-kata asing yang kita suka, sepanjang itu tidak membuat
kita jadi alien karena gagal menjalankan komunikasi efektif yang semestinya.
Sembari itu,
ingat selalu pesan para MC panggung dangdut dan campursari: "Sing
penting ojo jotos-jotosaaan!" ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar