Kamis, 02 Februari 2017

UU Penyiaran Beraroma Orde Baru

UU Penyiaran Beraroma Orde Baru
Sabam Leo Batubara  ;  Koordinator Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia(MPPI);  Perancang awal RUU Penyiaran 1999-2002
                                                     KOMPAS, 01 Februari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

DPR RI sedang melakukan langkah mundur. Pemilu 1999 dan 2004 masih menghasilkan sejumlah anggota Komisi I DPR yang mendukung konsep demokratisasi penyiaran. Hasilnya, UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran disetujui. Kini DPR membuat RUU Penyiaran, draf 7 Desember 2016 yang arahnya hampir sama seperti isi pokok UU Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran.

Fakta-fakta menunjukkan kebijakan penerangan negara sepertinya berdaur ulang, diawali dengan euforia kedaulatan rakyat kemudian diakhiri dengan kedaulatan penguasa. Bulan madu kebijakan penerangan diawali oleh menteri penerangan pertama RI, Amir Syarifuddin. Dia menggariskan, kebijakan penerangan harus bersendikan kedaulatan rakyat, tidak boleh hanya bersendikan pikiran beberapa orang yang berkuasa.

Menteri penerangan pertama RI pada era reformasi, Letjen Mohammad Yunus Yosfiah—oleh sebagian orang dia disebut-sebut sebagai Thomas Jefferson Indonesia—berpendapat, ”Jika saya disuruh memilih pemerintah tanpa pers merdeka atau pers merdeka tanpa pemerintah, saya pilih pers merdeka.”

Berkat kebijakannya sebagai Menteri Penerangan RI, UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang isi pokoknya memerdekakan pers, disetujui DPR pada 13 September 1999. Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menggariskan bahwakebijakan, penerangan, komunikasi, dan informasi adalah urusan masyarakat. Kemudian Gus Dur melikuidasi departemen penerangan karena lembaga itu dinilai hanya mengekang kebebasan publik untuk berekspresi.

Euforia kemerdekaan pers pasca-proklamasi kemerdekaan berakhir dengan munculnya era pengekangan. Pada era rezim Orde Lama dan Orde Baru berlaku kebijakan: pemerintahlah penentu kebijakan penerangan. RRI dan TVRI diposisikansebagai terompet pemerintah. Sanksi terhadap pelanggar ketentuan penerangan mengandung pasal karet. UU Pokok Pers melarang pembredelan pers, tetapi peraturan menteri membolehkan pembredelan. Pembuatan ketentuan penerangan, komunikasi, dan informasi dimonopoli pemerintah. DPR hanya mengamini.

Setelah era Menteri Penerangan Mohammad Yunus dan Presiden Gus Dur berakhir, pemerintah dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika terindikasi menginginkan agar pemerintah kembali menjadi penentu kebijakan penyiaran.

Menindaklanjuti Rapat Dengar Pendapat Komisi I DPR dengan Kominfo pada 5 Desember 2005 dan 30 Januari 2006, Wakil Ketua DPR H Soetardjo Soerjogoeritno (waktu itu) dalam suratnya kepada Menkominfo Sofyan Djalil (20/2/2006) menyatakan menolak Peraturan Pemerintah No 49, 50, 51, dan 52 Tahun 2005 karena mengandung pasal-pasal yang bertentangan dengan UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Menkominfo jalan terus dan tidak mengindahkan penolakan DPR itu.

Kembali ke penguasa

Anggota DPR eksis di Senayan karena tegaknya kedaulatan rakyat. Adalah wajar jika DPR bersikap bahwa penyelenggaraan penyiaran bersendikan kedaulatan rakyat. Akan tetapi, kini, ironisnya lewat draf RUU Penyiaran, DPR bernafsu menyerahkan kedaulatan penyiaran kembali kepada Kominfo.

Berdasarkan draf DPR tersebut, pertama, Kominfo kembali menjadi penentu kebijakan, pengatur, pengawas, dan pengendali penyiaran. Sesuai dengan Pasal 9 dan 156, pemerintah berwenang menentukan arah kebijakan sistem penyiaran nasional; menetapkan pemetaan penggunaan frekuensi penyiaran di setiap wilayah siar secara berkala; memberikan dan mengawasi izin penyelenggaraan penyiaran (IPP); memberikan perpanjangan IPP; menetapkan biaya hak penggunaan frekuensi; dan memberikan sanksi terkait penggunaan IPP.

Pasal 156 menyebut, ”Sembilan peraturan pelaksanaan memedomani UU No 32/2002 tentang Penyiaran tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam UU ini.”

Kedua, pemerintah diberi hak mengoperasikan lembaga penyiaran khusus. Pasal 10 UU No 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran menyatakan TVRI dan RRI bernaung di departemen penerangan.

Kedua media diposisikan sebagai terompet pemerintah. Berdasarkan Pasal 103-104 draf DPR, instansi pemerintah dan partai politik diberi hak menyelenggarakan lembaga penyiaran khusus. Terbuka peluang misalnya Kominfo mengoperasikan lembaga penyiaran khusus yang bertugas menjadi terompet pemerintah.

Persoalan potensialnya, media siaran seperti itu berpotensi membodohi dan menyesatkan publik. Pada era Orde Baru, TVRI dan RRI menyiarkan berita hanya bersumber dari pemerintah. Tentang Timor Timur (kini Timor-Leste), misalnya, TVRI selalu menyiarkan bahwa keadaan aman dan terkendali. Ketika Presiden Habibie mengizinkan referendum, 30 Agustus 1999, TVRI dan RRI masih menyiarkan mayoritas rakyat Timtim memilih NKRI. Terjadi pembodohan dan penyesatan. Ternyata 79 persen rakyat Timtim memilih merdeka. Ribuan prajurit yang gugur dan luka-luka menjadi tumbal.

Dengan beroperasinya lembaga penyiaran khusus tersebut, RTRI (RRI dan TVRI) akan semakin merana. Sekarang saja TVRI sudah semakin kerdil. Kenapa? Salah satu penyebabnya APBN yang diterima TVRI hanya sekitar 25 persen dari kebutuhan. Mengantisipasi akan beroperasinya lembaga penyiaran khusus pemerintah itu, TVRI (RTRI) harus siap-siap bahwa dana yang jumlahnya terbatas akan diprioritaskan untuk memberdayakan lembaga penyiaran khusus terompet pemerintah tersebut.

Ketiga, ketentuan pelanggaran regulasi penyiaran dan sanksinya berpotensi menyesatkan. Ketentuan yang dimuat di draf DPR masih kurang lebih seperti ketentuan Pasal 35 UU Penyiaran sekarang: ”Sanksi untuk pelanggaran oleh lembaga penyiaran terdiri dari teguran tertulis, denda, dan pembredelan atau pelanggaran penyiaran.”

Fakta menunjukkan ketentuan tersebut dalam pelaksanaannya tidak sesuai standar demokratisasi penyiaran. Sekadar contoh, KPI menyurati Menkominfo Tifatul Sembiring (27/6/2014) tentang performa TV One dan Metro TV. Karena dua media itu dinilai melanggar netralitas isi program siaran jurnalistik beberapa kali dan ketentuan iklan beberapa kali, KPI merekomendasikan agar penilaian KPI tersebut dapat digunakan sebagai bagian dari evaluasi terhadap kelayakan perpanjangan IPP.

Di negara-negara demokrasi yang menjunjung demokratisasi penyiaran dikenal paling tidak tiga jenis pelanggaran dan sanksi. Pelanggaran berkategori fatal—di Indonesia, misalnya menentang Pancasila atau mendukung teroris—dapat berakibat pembredelan. Pelanggaran berat atau setengah berat diberi sanksi denda proporsional. Pelanggaran ringan diberi sanksi peringatan yang wajib disiarkan oleh media terkait.

Berdasarkan standar ini, pelanggaran kedua media cukup diselesaikan dalam perkara perdata dengan denda proporsional. Membredel media karena pelanggaran dalam pekerjaan jurnalistik adalah cara Orde Baru.

Keempat, cacat prosedural. Dalam pidato pelantikannya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan akan berkomitmen melaksanakan clean and good governance. Dalam Nawacita, Presiden Jokowi juga menyatakan berkomitmen melaksanakan pemerintahan yang bersih dan baik. Namun, di bawah pemerintahan mereka, pemerintah dan DPR dalam pembuatan UU sering cacat prosedural.

Berdasarkan konsep clean and good governance, prosedur pembuatan UU semestinya melibatkan partisipasi publik. Menteri Penerangan Yunus di awal reformasi memberi contoh. Departemen Penerangan membuat RUU Media Massa tentang Pers, Penyiaran, dan Film sampai lebih dari draf ke-10. Staf menteri selalu mengirim draf terbaru ke komunitas media massa. Dalam diskusi dan seminar yang digelar organisasi pers, Menteri Penerangan Yunus sering hadir. Lewat pendekatan dari bawah (bottom up), Yunus menjaring partisipasi publik. Hasilnya, terbit UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers yang melindungi kemerdekaan pers.

Kemudian dalam pembuatan UU, pemerintah dan DPR melakukan perubahan menjadi pendekatan dari atas (top down) ala model Orde Baru. Hasilnya, UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu berisi pasal yang dapat membredel pers. UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik berisi pasal yang dapat memenjarakan wartawan sampai enam tahun apabila informasi elektroniknya memuat penghinaan. UU No 42 Tahun 2008 tentang Pilpres dapat membredel pers jika memberitakan kampanye pilpres di minggu tenang.

Semua UU itu dibuat tanpa mendengar pendapat komunitas pers dan penggiat demokrasi. Kenapa? Karena pembuat UU sudah terlebih dahulu mempunyai tujuan yang harus diamankan, yakni untuk mengekang kebebasan pers dan kebebasan berekspresi publik. Untuk itu, partisipasi publik tidak diperlukan.

Demikian juga dalam pembuatan UU Penyiaran baru. Pembuat UU secara sengaja menempuh prosedur Orde Baru: tujuan menghalalkan cara. Tujuan DPR dan pemerintah penyelenggara penyiaran harus bersendikan kedaulatan penguasa. Maka, partisipasi publik tidak diperlukan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar