Kesenjangan
Sosial dan Pintu Mobilitas Vertikal
Bagong Suyanto ;
Dosen Mata Kuliah Kemiskinan dan
Kesenjangan
di Program Studi Sosiologi FISIP
Unair
|
KOMPAS, 06 Februari 2017
Pemerintahan
Joko Widodo-Jusuf Kalla kembali memantapkan tekad untuk mengurangi
ketimpangan antarwilayah dan kesenjangan antarkelas.
"Tajuk
Rencana" Kompas (16/1) mencatat, persoalan kesenjangan sosial saat ini
menjadi sorotan karena tanpa adanya jaminan keadilan sosial, intoleransi dan
radikalisme akan lebih berpeluang muncul. Program pemerataan kesejahteraan
perlu menjadi prioritas dan merupakan pekerjaan rumah yang utama. Itu karena,
meski angka rasio gini cenderung turun dari 0,41 (2011) menjadi 0,397 (per
Maret 2016), polarisasi sosial-ekonomi yang berkembang di masyarakat masih
mencemaskan.
Satya
R Chakravarty (Inequality, Polarization
and Poverty, 2009) telah mengingatkan risiko dan biaya sosial yang harus
ditanggung ketika satu negara masih direcoki masalah kemiskinan,
ketidaksetaraan dan kesenjangan sosial yang makin terpolarisasi.
Ketidaksetaraan
Implikasi
dari ketidaksetaraan secara langsung akan menyebabkan pintu-pintu bagi
masyarakat miskin untuk naik kelas menjadi tertutup atau paling tidak makin
sempit. Peluang masyarakat miskin mengembangkan usaha sering kali jadi lebih
sulit ketika mereka harus menghadapi iklim persaingan yang makin kompetitif
dan memarjinalisasi.
Walau
mereka mungkin dapat bantuan modal usaha dan diikutsertakan dalam berbagai
pelatihan keterampilan, tetapi ketika struktur sosial yang ada cenderung tak
ramah, yang terjadi bisa diduga: alih-alih makin maju, justru bukan tidak
mungkin usaha-usaha yang ditekuni masyarakat miskin mengalami proses
pengikisan modal dan cepat atau lambat kolaps.
Presiden
Jokowi telah menegaskan bahwa dalam dua tahun ke depan pemerintah akan
berupaya mengembangkan kebijakan redistribusi aset dan legalisasi tanah
dengan tujuan memperkuat posisi bargaining masyarakat (Kompas, 5/1). Selain
itu, pemerintah juga telah memastikan akan mengembangkan program keuangan
inklusif, yakni dalam bentuk memperbesar alokasi bantuan modal melalui
program kredit usaha rakyat (KUR) dan mengintensifkan berbagai program
pelatihan keterampilan agar mereka lebih berdaya menyikapi kebutuhan pasar
kerja.
Sejauh
mana berbagai program yang dikembangkan pemerintah ke depan bakal efektif
mempercepat upaya pemberantasan kemiskinan dan mengurangi polarisasi sosial
masyarakat, tentu masih akan diuji oleh waktu. Tetapi, belajar dari
pengalaman, sepanjang program yang dikembangkan hanya berorientasi pada
peningkatan produksi komoditas yang dihasilkan masyarakat miskin dan tidak
menyentuh kebutuhan paling substansial, peluang untuk memberdayakan potensi
dan meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat miskin akan terbuang sia-sia.
Program
pemberdayaan masyarakat miskin yang hanya memfokuskan pada upaya mendongkrak
jumlah produksi, tetapi menafikan arti penting pembagian margin keuntungan
yang proporsional bagi si miskin, niscaya hasilnya akan bias kelas. Di
pedesaan, sudah bukan rahasia lagi, rata-rata pengeluaran keluarga miskin
untuk pembelian beras per kapita meningkat dari Rp 55.216 per bulan pada 2013
menjadi Rp 64.759 per bulan pada 2015. Petani dan buruh tani miskin yang
menghasilkan dan menjual gabah dengan harga murah sering kali harus membeli
gabah yang telah diproses menjadi beras oleh para pedagang dan tengkulak
lokal dengan harga yang jauh lebih mahal.
Akibat
tidak dimilikinya penggilingan dan alokasi modal yang cukup untuk biaya
produksi pasca panen, yang terjadi kemudian petani dan buruh tani miskin
harus menanggung beban ganda. Selain hanya memperoleh margin keuntungan yang
tipis, mereka pun terpaksa membeli komoditas yang dihasilkan dalam bentuk
olahan dengan harga yang lebih besar.
Lebih
dari sekadar pembagian aset dan memperkuat posisi tawar masyarakat miskin,
untuk mengurangi kesenjangan antarkelas yang makin meresahkan, yang
dibutuhkan sesungguhnya adalah struktur sosial yang ramah kepada masyarakat
miskin, pasar kerja yang mempertimbangkan dan match dengan profil sosial tenaga
kerja lokal, serta diferensiasi struktural yang memberi kesempatan kepada
mereka untuk naik kelas. Sebuah keluarga miskin yang tinggal di daerah yang
tengah mengalami proses industrialisasi, misalnya, kemungkinan taraf
kehidupannya justru akan makin buruk dan bahkan mengalami proses
marjinalisasi karena kualifikasi keahlian mereka tidak mampu memenuhi
prasyarat yang diminta dunia industri.
Setinggi
apa pun sebuah negara berhasil mendongkrak angka pertumbuhan ekonomi, tetapi
sepanjang fondasi sosial masyarakat masih rapuh dan terjadi kesenjangan
sosial yang kronis, sepanjang itu pula akan tetap terjadi polarisasi sosial
antarkelas yang makin lebar. Bisa dibayangkan, apa jadinya ketika di sebuah
perusahaan gaji dewan komisaris dan manajer mencapai angka ratusan juta
rupiah per bulan, sementara gaji buruh tidak lebih dari Rp 4 juta-Rp 5 juta
per bulannya?
Sebuah
negara yang berusaha menarik investasi sebanyak-banyaknya, tetapi kemudian
kualitas angkatan kerja yang ada di Tanah Air ternyata hanya setara SD dan
SMP, jangan kaget jika yang lebih berpotensi memanfaatkan kesempatan kerja
yang tersedia adalah tenaga kerja asing atau para pendatang yang lebih
berkualifikasi dan profesional.
Prasyarat yang dibutuhkan
Sesuai
RPJMN 2015-2019, untuk tahun 2017, target tingkat kemiskinan yang dipatok
pemerintah adalah 8,5-9,5 persen, kemudian pada 2018 sebesar 7,5-8,5 persen,
dan tahun 2019 optimistis dapat diturunkan hingga 7-8 persen. Sejauh mana
pemerintah nanti bakal mampu memenuhi target menurunkan jumlah penduduk
miskin sesungguhnya masih menjadi tanda tanya besar.
Belajar
dari pengalaman pada tahun-tahun sebelumnya, target yang dipatok biasanya
tidak pernah kesampaian. Menurut data BPS per September 2016, jumlah penduduk
miskin di Indonesia masih 27,76 juta atau sekitar 10,7 persen dari total
penduduk Indonesia. Padahal, target yang dipatok adalah 10-10,6 persen.
Dengan
dukungan alokasi dana APBN sekitar Rp 2.080 triliun (2017) dan komitmen
seluruh jajaran kementerian serta peran pemerintah daerah, memang tidak salah
jika pemerintah bersikap optimistis dan yakin mampu memenuhi target yang
telah dipatok. Pada tahun 2017, kita tahu alokasi dana yang ditransfer ke
daerah telah ditingkatkan hingga mencapai Rp 746,9 triliun. Angka ini lebih
tinggi daripada total pagu belanja untuk kementerian dan lembaga negara yang
tercatat Rp 763,6 triliun.
Hanya
saja, yang menjadi persoalan, agar dana yang dikucurkan dan program-program
yang akan digulirkan nanti tidak sekadar hanya bersifat reaktif dan
terkontaminasi kepentingan politik, ada baiknya jika sebelumnya pemerintah
mempersiapkan terlebih dulu prasyarat-prasyarat yang dibutuhkan untuk lebih
menjamin peluang masyarakat miskin meningkatkan taraf kesejahteraannya.
Ketika
pemerintah harus memilih mengembangkan pendekatan power to powerless atau power
to everyone, mau tidak mau pada tahap awal yang dibutuhkan adalah
keberpihakan yang jelas hingga pada satu titik masyarakat miskin benar-benar
siap untuk berkompetisi dalam struktur sosial-ekonomi secara adil. Wacana
untuk mengembangkan kebijakan redistribusi aset adalah ide strategis yang
perlu dikembangkan untuk membangun fondasi sosial bagi masyarakat miskin
memberdayakan potensi dirinya sendiri.
Akan
tetapi, untuk memastikan agar wacana ini tidak berhenti hanya sebagai janji
politis yang utopis, perlu ada jaminan peraturan perundangan-undangan yang
jelas dan mengikat semua pihak. Sudah siapkah pemerintah menghadapi
resistensi dari sejumlah pihak yang kemungkinan bakal kehilangan sebagian
hak-hak istimewanya ketika kebijakan redistribusi aset benar-benar
dijalankan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar