Kamis, 02 Februari 2017

Putusan MK dalam Penegakan Hukum Korupsi

Putusan MK dalam Penegakan Hukum Korupsi
Amir Syamsudin  ;  Advokat;  Menteri Hukum dan HAM 2011-2014
                                                     KOMPAS, 02 Februari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Undang-Undang No 31/1999 tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi juncto UU No 20/2001 tentang Perubahan atas UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menjadi landasan bagi upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi mengalami perubahan mendasar.

Perubahan pertama terjadi pada 24 Juli 2006 ketika Mahkamah Konstitusi melalui putusan No 003/PUU-IV/2006 menyatakan norma Penjelasan Pasal 22 Ayat (1) UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor)  bertentangan dengan konstitusi sehingga menjadi norma formil. Perubahan kedua terjadi pada 25 Januari 2017, kembali MK melalui putusannya No 25/PUU-XIV/2016 menyatakan, frasa kata "dapat" dalam rumusan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor bertentangan dengan konstitusi sehingga "tidak mengikatnya" kata "dapat" menjadikan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor menjadi delik materiil.

Kedua perubahan di atas dianggap oleh sebagian masyarakat akan merugikan upaya pemerintah dalam upaya mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi. Sementara sebagian masyarakat lain beranggapan sebagai  bagian dari upaya menegakkan hukum korupsi secara benar dan konsekuen.

Mundur atau maju?

Pertimbangan putusan MK di dalam perubahan pertama terkait norma dari rumusan frasa "secara melawan hukum" adalah perbuatan yang hanya bertentangan dengan hukum tertulis, sedangkan hukum tidak tertulis tidak lagi masuk di dalamnya. Hal ini dikarenakan hukum tidak tertulis menimbulkan ketakpastian lantaran adanya kondisi dan pemahaman masyarakat yang berbeda-berbeda dan berubah-ubah dari waktu ke waktu  sehingga akan berbeda-beda pula di setiap waktu dan tempat. Perubahan ini dianggap mempersempit ruang bagi hakim untuk menggali dan menemukan hukum sehingga hakim hanyalah corong UU atau hukum tertulis belaka.

Sementara pertimbangan MK dalam perubahan kedua terkait kata "dapat" dari rumusan "...dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara" yang dianggap bertentangan dengan konstitusi karena rumusan ini sering disalahgunakan oleh aparatur penegak hukum untuk bertindak sewenang-wenang; sering menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran bagi pejabat pengambil keputusan; serta sering terjadi kriminalisasi terhadap kebijakan dan keputusan diskresi pejabat administrasi.

Pertimbangan dan alasan perubahan pertama, menurut penulis, sebuah "kemunduran" karena di dalam masyarakat kita sejak dahulu memiliki hukum tidak tertulis yang ditaati dan dipatuhi oleh masyarakat, termasuk adat istiadat, khususnya di daerah-daerah terpencil. Hal ini jelas mempersempit ruang hakim untuk menentukan perbuatan melawan hukum mana yang menjadi syarat bagi seseorang dapat dipidana. Dalam hal ini, hakim tinggal melihat apakah ada hukum tertulis yang mengatur mengenai perbuatan pidana tersebut (asas legalitas).

Pertimbangan dan alasan perubahan kedua, sebuah "kemajuan" (sekalipun alasannya subyektif) karena perubahan itu memperjelas dan memperkuat aspek perlindungan hukum dalam penegakan hukum korupsi. Dalam praktik di tingkat penyidikan dan peradilan tipikor sering seseorang ditahan dan dihukum karena melakukan perbuatan melawan hukum korupsi Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor, sekalipun kerugian negara riil tak terbukti.

Dari sisi penegakan hukum korupsi, adanya perubahan kedua ini menjadikan unsur "merugikan keuangan negara atau perekonomian negara" harus dibuktikan secara materiil dan hakim dalam membuat putusan harus mempertimbangkan pembuktian seluruh unsur pidana dalam Pasal 2 dan 3 UU Tipikor. Selama ini yang terjadi, apabila terbukti unsur melawan hukum dan memperkaya diri, seseorang langsung dianggap terbukti dan dijatuhi hukuman, sekalipun unsur kerugian negara tak ada atau tidak terbukti, cukup "dapat diperkirakan" saja (potential loss).

Apakah perubahan-perubahan ini menghambat upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi? Tergantung dari sisi mana kita melihatnya.

Kedua, perubahan tersebut jelas mempersempit serta membatasi kewenangan penyidik dan hakim untuk menjerat koruptor, tetapi dari sisi lain justru memperjelas dan memperkuat perlindungan, kepastian, dan keadilan hukum bagi semua pihak. Sekarang, tidak bisa lagi orang dihukum tanpa aturan hukum tertulis dan tanpa bukti riil adanya kerugian negara. Orang juga tidak bisa seenaknya ditangkap dan ditahan tanpa diproses hukum sehingga rumor penyidikan dan peradilan sesat bisa diatasi.

Dampak hukum dalam praktik ke depannya adalah aparatur penegak hukum harus dapat membuktikan adanya kerugian negara yang riil sebelum melakukan penyelidikan perkara korupsi. Yang jadi masalah bagaimana dengan perkara-perkara yang masih dalam tahap penyelidikan dan penyidikan yang akan dan sedang ditangani? Apabila tidak ditemukan kerugian negara, perkara-perkara tersebut segera dihentikan. Apabila tidak dilakukan, para tersangka atau terdakwa dapat mengajukan gugatan praperadilan atau gugatan lainnya kepada pengadilan atas penetapannya sebagai tersangka/terdakwa dalam kasus korupsi karena tidak adanya bukti kerugian negara yang riil.

Berpihak kepada rakyat

Terlepas dari masalah yang menimpa institusi MK baru-baru ini, putusan-putusan MK terkait pembaruan hukum pidana, termasuk korupsi, sekalipun menimbulkan pro dan kontra dapat dianggap sebagai kemajuan. Sebut saja selain putusan terhadap Pasal 2 dan 3 UU Tipikor, juga terkait masalah penyadapan, rekaman, praperadilan, dan sebagainya. Bagi pemerhati korupsi jelas dianggap putusan-putusan MK tersebut pro koruptor, tetapi sebagian masyarakat beranggapan putusan-putusan tersebut berpihak kepada rakyat, khususnya bagi mereka yang tertimpa masalah hukum.

Putusan MK bersifat erga omnes (berlaku untuk semua warga negara) sehingga putusan MK terkait dengan hukum pidana harus memperhatikan prinsip- prinsip dalam hukum pidana. Untuk kepastian, kemanfaatan, dan keadilan hukum, rumusan delik pidana harus memenuhi prinsip  lex previa (tidak berlaku surut), lex certa (harus jelas), lex stricta (harus tegas), dan lex stripta (harus tertulis) untuk menopang konsepsi negara hukum sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 1 Ayat (3) dan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. Apabila prinsip-prinsip di atas tidak terpenuhi, rumusan delik pidana demikian bertentangan dengan konstitusi kita. Rumusan delik yang tidak memenuhi syarat-syarat di atas jelas merugikan warga negara karena tak jelas, multitafsir, memperluas kewenangan, dan menimbulkan ketakpastian hukum.

Upaya pemberantasan korupsi tetap harus didukung oleh semua elemen masyarakat, tapi itu harus dilakukan dalam kerangka menegakkan hukum korupsi. Menegakkan hukum korupsi berarti  mencegah dan memberantas korupsi dengan cara-cara yang berkeadilan, transparan,  tidak tebang pilih, dan menyeluruh.

Putusan MK yang mendorong perubahan pertama dan kedua terhadap ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor harus dipahami dan didukung oleh semua pihak, khususnya institusi penegakan hukum, baik kepolisian, kejaksaan, KPK, maupun peradilan. Harus ada kesamaan pandangan dan konsistensi untuk menjalankan putusan MK secara benar dan konsekuen. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar