Senin, 06 Februari 2017

Bukti dari "Tuhan"

Bukti dari "Tuhan"
Junaedi  ;  Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia
                                               KORAN SINDO, 04 Februari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

SEKETIKA rasa saya terusik ketika membaca berita dari media online tentang ucapan Humphrey Djemat—sebagai salah seorang anggota tim kuasa hukum Basuki Tjahja Purnama alias Ahok—bahwa bukti komunikasi yang dimilikinya dari Tuhan.

Terhenyak mendengar pernyataan tersebut, timbul pertanyaan “bagaimana ya caranya, Tuhan memberikan bukti itu ke Humphrey?” Apabila bukti hendak disamakan dengan wahyu, penyampai wahyu itu jika dalam Islam tak lain dan tidak bukan, dialah Malaikat Jibril.
Lalu apakah hal tersebut merupakan cara lain dari Humphrey Djemat untuk mengatakan bahwa dirinya adalah Rasul? Entahlah, mungkin kita perlu tanya lebih jauh kepada Humphrey, bagaimana tentang bukti dari Tuhan tersebut.

Namun, tulisan ini tidak banyak membahas tentang pernyataan bukti dari tuhan yang diungkapkan Humphrey, tetapi terkait implikasi hukum acara dan hukum substantif terkait dengan pernyataan di persidangan bahwa terdapat bukti akan adanya komunikasi antara KH Ma’ruf Amin dan SBY serta implikasi hukum lainnya terkait silang pendapat yang terkait dengan hal tersebut.

Pertanyaan Saksi dalam Persidangan

Dalam suatu persidangan pidana, alat bukti saksi sangat penting bagi pengungkapan substansi dari suatu perkara pidana. Hal ini dikarenakan alat bukti saksi merupakan alat bukti materiil yang dalam urutan alat bukti berada dalam urutan pertama.

Hal ini disebabkan pembuktian materiil dalam suatu perkara pidana adalah menjadi fondasi utama bagi pengungkapan perkara. Berkaca dari hal tersebut, terdapat beberapa asas dalam pemeriksaan saksi yang menjadi driving-principle bagi proses pemeriksaan pidana atau menjadi asas-asas utama bagi pembuktian dalam perkara pidana.

Salah satu dari sekian banyak asas yang penting bagi pengungkapan perkara pidana adalah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 166 KUHAP, bahwa dalam proses pemeriksaan terdapat larangan untuk mengajukan pertanyaan yang menjerat bagi saksi (maupun terdakwa).

Pertanyaan yang menjerat adalah juga berbagai cara atau pertanyaan yang diarahkan untuk melimpahkan kesalahan kepada terperiksa, atau mengajukan pertanyaan yang menekan atau dengan perkataan lain pertanyaan yang bersifat mengarahkan.

Dalam hal ini, kesemua bentuk pertanyaan tersebut adalah sikap tindak bertanya yang dilarang dalam KUHAP, dan dalam hal ini perantaraan hakimlah yang seharusnya memfilter pertanyaan yang diajukan, atau bahkan memberikan peringatan apabila terdapat sikap sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 166 tersebut.

Lain daripada itu, dalam persidangan terdapat asas yang menjadi jantung dari proses peradilan pidana yaitu asas peradilan yang cepat dan berbiaya ringan.

Dalam konteks pemeriksaan saksi, pertanyaan yang diajukan kepada saksi adalah pertanyaan yang secara langsung memang menjadi pengetahuan atau pengalaman saksi yang terkait dengan pasal dakwaan atau uraian dari unsur pidana sebagaimana yang di dakwakan dalam surat dakwaan. Untuk itu, pertanyaan yang diajukan kepada saksi bukanlah pertanyaan yang bertele-tele ataupun pertanyaan yang mengada-ada.

Terkait dengan pemeriksaan yang dilakukan terhadap KH Ma’ruf Amin yang mempertanyakan komunikasi dirinya dengan SBY, terkait permintaan SBY kepada Ma’ruf Amin menemui Agus dan Sylvi guna meminta restu dalam Pilkada DKI, apa hubungan di antara komunikasi dengan dakwaan pidana penistaan agama terhadap Ahok? Jelaslah bahwa itu bukan pertanyaan yang terkait dengan peristiwa pidana ataupun fakta yang terdapat dalam uraian peristiwa yang dimaksudkan dalam surat dakwaan.

Terlebih pemeriksaan terhadap KH Ma’ruf Amin dilakukan selama tujuh jam, adalah sikap tindak yang termasuk dalam upaya untuk membuat persidangan menjadi bertele-tele atau dapat masuk dalam melanggar asas peradilan yang cepat.

Dalam hal lain juga, pertimbangan usia saksi seharusnya menjadi titik tolak pertimbangan tim penasihat hukum dalam mengajukan pertanyaan, dan memilah pertanyaan yang memang memiliki keterkaitan dengan uraian fakta dan unsur-unsur dalam pasal dakwaan. Dalam hal ini, ketua majelis hakim harus memperingatkan dan membatasi pertanyaan yang diajukan agar pertanyaan tersebut secara langsung merupakan bagian dari bantahan atas uraian fakta dan uraian unsur pasal pidana.

Dalam mengajukan pertanyaan bagi kepentingan pembuktian itu ada teknik dan tata caranya, di mana pertanyaan itu haruslah diajukan secara lugas, mengarah, dan ditujukan untuk kepentingan bantahan atas uraian fakta dan unsur pidana serta guna kepentingan pembelaan ataupun klemensi.

Hal ini sangat dipahami oleh mahasiswa penulis di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, bagaimana menghadirkan alat bukti dan tata cara pembuktian yang berlandaskan pada asas peradilan yang cepat dan biaya ringan.

Jika dalam suatu peradilan semu, terdapat pertanyaan yang tidak mengarah atau melebar, maka hal tersebut akan berdampak pada waktu penyajian presentasi praktik sidang semu menjadi lebih lama, dan berimplikasi pada penilaian yang buruk akan diterima mahasiswa penulis.

Keterangan Palsu di Persidangan

Dalam berbagai pemberitaan baik itu dalam media online maupun media mainstream, Ahok maupun tim penasihat hukum kerap menyatakan bahwa terdapat keterangan palsu yang diberikan oleh saksi yang diajukan jaksa penuntut umum.

Tak terkecuali, tuduhan kesaksian palsu juga dilayangkan oleh terdakwa kepada KH Ma’ruf Amin seusai pemeriksaan terhadapnya. Tuduhan kesaksian palsu adalah tuduhan yang sangat serius dalam proses persidangan di pengadilan, karena ancaman pidananya sangat jelas diatur dalam KUHP. Namun, perlu juga dipahami bahwa proses tuduhan atas pemeriksaan kesaksian palsu ada tata caranya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 174 KUHAP.

Dalam pasal tersebut, tuduhan atas kesaksian palsu harus terlebih dahulu diajukan dengan perantaraan hakim, di mana hakim dalam hal ini harus memperingatkan dengan sungguh-sungguh bahwa saksi agar memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada sebenarnya yang disertai dengan memberitahukan ancaman pidananya.

Jadi dalam hal ini, peran hakim sangat sentral karena hakim sebagai driving-person dalam proses persidangan dan pembuktian dakwaan. Jadi peringatan ini sangat penting sebagai tindakan awal dari hakim ketua sidang bagi pengungkapan fakta yang sebenarnya.

Namun apabila tetap pada keterangannya yang tidak sebenarnya, hakim ketua sidang karena jabatannya secara langsung memerintahkan supaya saksi tersebut ditahan untuk selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan memberikan kesaksian di bawah sumpah secara tidak benar atau palsu.

Jadi dalam hal ini, tidaklah tepat sikap tindak yang menyatakan saksi telah memberikan keterangan palsu dan akan memerkarakan keterangan palsu tersebut. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana proses perkara yang mau dilakukan ketika sikap dari ketua majelis hakim yang tidak memberikan perintah kepada jaksa penuntut umum untuk melakukan tindakan tersebut? Lebih lanjut pasal tersebut juga mengatur bahwa segala sikap tuduhan tersebut haruslah dituangkan dalam berita acara.

Dalam hal ini memang jika terdapat kesaksian palsu, maka ketua majelis hakim dapat menangguhkan sidang dalam perkara semula sampai perkara pidana terhadap saksi selesai (vide pasal 174 ayat 4).

Sikap pernyataan terdakwa dan penasihat hukumnya terkait adanya kesaksian palsu dari berbagai saksi yang diajukan JPU, patut diduga adalah suatu upaya untuk menangguhkan persidangan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal aquo. Untuk itu sekali lagi ungkapan kesaksian palsu jika memang ditujukan akan pemberlakuan pasal aquo adalah upaya untuk melanggar asas peradilan cepat dan berbiaya ringan. 
          
Alat Bukti dari “Tuhan”

Pernyataan tim penasihat hukum tentang bukti yang dimilikinya terkait komunikasi yang terjadi antara (saksi) KH Ma’ruf Amin dan SBY, haruslah secara terang diungkapkan oleh tim penasihat hukum secara terbuka sebelum hal tersebut menjadi fitnah bagi lembaga negara lain yang dipersepsikan memiliki wewenang untuk menyadap dan membocorkannya.

Terlebih lagi, berbagai komunikasi tersebut sama sekali tidak terkait dengan uraian fakta dan uraian unsur pidana dalam dakwaan. Terlebih lagi adalah upaya pertanyaan tersebut ditujukan untuk mengarahkan bahwa saksi tidak layak untuk diperiksa atau dipercaya karena komunikasi tersebut diarahkan bahwa saksi mendukung salah satu kontestan Pilkada DKI.

Menurut hemat penulis, apa yang mau digali akan kebenaran materiil terkait komunikasi saksi dengan SBY yang pada akhirnya hanya digunakan untuk menarik kesimpulan akan dukungan pilkada, adalah hal yang sama sekali tidak terkait dengan kapasitas pengetahuan dan pengalaman saksi sebagai ketua MUI sehingga dihadirkan di muka persidangan.

Dalam hal ini, seharusnya ditanyakan adalah terkait dengan kebenaran adanya fatwa MUI yang sudah diterbitkan dan ditandatangani oleh saksi. Maka pertanyaan seharusnya diarahkan kepada kebenaran dan pengetahuan saksi terkait tanda tangan saksi dalam fatwa MUI.

Dan komunikasi tersebut sama sekali tidak terkait dengan kepentingan perkara ini, terlebih diarahkan pada dukungan politik atas pasangan calon. Sikap politik pribadi atas dukungan paslon adalah semata menjadi hak pribadi dari saksi dan tidak boleh diusik dengan cara apapun karena hal tersebut adalah hak politik secara pribadi dari tiap individu.

Upaya menggoyahkan keterangan saksi tersebut dengan layangan tuduhan kesaksian palsu atau parsialitas dalam pilkada DKI adalah sikap yang tidak layak diperlihatkan kepada publik.

Posisi saksi dalam hal ini sangat signifikan karena fatwa MUI adalah bukti yang signifikan bagi pembuktian perkara, sebagaimana juga metode pembuktian yang diberlakukan atas penistaan terhadap gereja Inggris, di mana pendapat atau pandangan pimpinan gereja Inggris atas penghinaan atau cacian atau kekerasan atas doktrin, keyakinan, institusi atau benda dari gereja Inggris.

Hal yang sama juga diberlakukan atas pasal 198 dan 199 hukum pidana Yunani terkait penghinaan terhadap agama ortodoks Yunani. Karena yang dinistakan adalah Alquran, sebagai firman Tuhan yang dipercaya oleh orang beragam sebagai kitab suci, di mana yang dapat memberikan pandangan haruslah otoritas kaum beragama tersebut, di mana dalam Islam, terdapat sumber hukum yaitu Ijma atau kesepakatan para ulama, yang dalam hal ini representasi dilakukan oleh MUI semenjak didirikan oleh berbagai ormas Islam pada awal tahun 1970-an.

Apakah ungkapan “bukti dari Tuhan” tersebut juga ditujukan untuk menyindir posisi fatwa? Hal ini hanya yang menyampaikan bukti dari Tuhan yang memahaminya. Untuk itu, penulis memandang bahwa upaya yang dilakukan dalam hal tersebut semata untuk kepentingan pembelaan atas terdakwa, yang memang hal tersebut dilindungi oleh KUHAP.

Namun, perlindungan KUHAP juga memberikan batasan sebagaimana yang dimaksud dalam penerapan berbagai asas utama dalam proses pidana, sebagaimana yang telah saya ungkapkan di atas. Demikianlah sekelumit penelusuran regulasi dan pendapat yang dapat penulis berikan terkait penodaan agama dan persidangannya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar