Menuju
Indonesia Bebas AIDS 2030
Yordan Khaedir ; Doktor
Alumni Chiba University Jepang, Pengajar Fakultas Kedokteran UI; Peneliti
Paskadoktoral (Post-Doctoral Fellow) AIDS Research Centre NIID, Tokyo
University, Jepang
|
KOMPAS, 03 Desember
2016
Hari AIDS Sedunia yang diperingati setiap 1 Desember merupakan
momentum untuk menghormati orang-orang yang telah kehilangan nyawa dan yang
masih berjuang melawan infeksi HIV/AIDS.
Sejak ditemukannya kasus human
immunodeficiency virus (HIV) yang berujung pada acquired immunodeficiency
syndrome (AIDS) yang mematikan pada 1981, masyarakat global berusaha
mengakhiri pandemi HIV/AIDS dengan berbagai cara.
Menurut Badan PBB untuk HIV/AIDS (UNAIDS) 2015, ada 36,7 juta
orang di dunia hidup dengan HIV/AIDS. Dari jumlah itu, ada 2,1 juta individu
dengan infeksi baru, 150.000 di antaranya anak-anak di bawah 15 tahun.
Ironisnya, 95 persen pengidap HIV/AIDS hidup di negara berkembang.
Dari sejak ditemukannya kasus AIDS di Bali tahun 1987, data Kementerian
Kesehatan menunjukkan kecenderungan peningkatan jumlah HIV/AIDS. Hingga
September 2015, ada 185.000 kasus infeksi HIV dan 69.000 kasus AIDS yang
menyebar di beberapa kabupaten/kota.
Faktor risiko penularan HIV tertinggi adalah hubungan heteroseksual
tidak aman (46,2 persen) sehingga jumlah ibu rumah tangga pengidap HIV
tinggi, penggunaan jarum suntik tidak steril (3,4 persen), dan hubungan seks
sejenis (24,4 persen).
Walaupun situasi global menunjukkan penurunan jumlah infeksi
HIV/AIDS, prevalensi di Indonesia sampai 2015 menunjukkan angka stabil.
Memang ada penurunan pada populasi tertentu, tetapi angka ini belum mencapai
target yang diharapkan. Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara-negara
ASEAN.
Seiring dengan ditetapkannya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
(SDGs) sebagai tujuan pembangunan global, Pertemuan Tingkat Tinggi
(High-Level Meeting/HLM) UNAIDS Juni 2016 telah mengeluarkan deklarasi untuk
mengakhiri epidemi global HIV/AIDS 2030. Ini mencakup berakhirnya infeksi
baru (zero infection), berakhirnya angka kematian (zero deaths), dan
berakhirnya diskriminasi (zero discrimination). UNAIDS memandang HIV/AIDS
harus diselesaikan secara serius karena berdampak pada meningkatnya angka
kematian, timbulnya sejumlah masalah sosial ekonomi, dan turunnya
produktivitas global.
Hambatan dan
tantangan
Secara umum, hambatan dalam eradikasi dan kontrol penyebaran HIV
adalah keterbatasan cakupan ataupun akses pada pelayanan preventif dan
kuratif. Permasalahan ini tidak hanya di Indonesia, tetapi juga negara-negara
lain dengan populasi pengidap HIV tinggi, seperti di kawasan sub-Sahara
Afrika.
Hambatan kedua adalah kurangnya monitoring dan evaluasi terhadap
pelaksanaan program penanggulangan HIV/AIDS. Data yang minim menyulitkan
upaya mengukur keberhasilan program ataupun upaya perbaikan pengendalian
penyebaran infeksi HIV/AIDS selanjutnya.
Minimnya riset epidemiologi HIV/AIDS memperlambat penemuan obat
baru anti HIV dan pengembangan vaksin HIV. Ilmu pengetahuan saat ini masih
menemui tantangan mengenai terapi terbaik HIV. Obat-obatan anti HIV atau
antiretroviral (ART) yang tersedia hanya berfungsi menekan jumlah virus agar
tetap stabil, tetapi tidak membunuh virus atau menyembuhkannya.
Target penelitian vaksin HIV saat ini adalah menemukan kandidat
vaksin dengan efek kick and kill sehingga menekan jumlah replikasi virus
jangka panjang. Dengan demikian, pengidap HIV tidak lagi ketergantungan pada
ART. Selain itu, vaksin diharapkan memperlambat progresivitas infeksi HIV
menjadi AIDS sehingga memperpanjang angka harapan hidup.
Persoalan penanggulangan HIV/AIDS yang belum menjadi salah satu
prioritas kebijakan pemerintah juga menjadi salah satu hambatan di Indonesia.
Hal ini tampak dari rencana strategis (renstra) yang telah dibuat Kemenkes
ataupun Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN), yang hanya berakhir
menjadi dokumen administratif tanpa dijalankan secara konsisten.
Maka, dalam upaya mengakhiri epidemi global HIV 2030 sesuai
pencanangan UNAIDS, perlu strategi pengendalian infeksi HIV yang komprehensif
dan holistik. Kunci sukses pengendalian infeksi HIV/AIDS yang pertama adalah
political will pemangku kebijakan.
Berkaca pada negara endemi HIV dengan rapor biru pengendalian
infeksi, seperti Zimbabwe, Malawi, dan Afrika Selatan, peran pemerintah
sangat penting dalam menghadapi penyebaran infeksi yang sudah masuk pada
situasi kedaruratan dan butuh perhatian khusus.
Peningkatan
anggaran
Beberapa negara membuat kebijakan secara sungguh-sungguh dengan
meningkatkan anggaran negara bagi program pencegahan dan pengendalian infeksi
HIV.
Pemerintah Senegal, misalnya, memasukkan HIV/AIDS dalam
kurikulum pendidikan dasarnya sebagai salah satu bagian strategi nasional.
Upaya preventif berbasis sekolah memberikan hasil yang signifikan, terutama
dalam rangka pengenalan informasi terkait HIV/AIDS secara benar.
Terkait HIV/AIDS, Pemerintah Indonesia sejatinya telah
mengeluarkan 80 kebijakan, baik nasional maupun kebijakan provinsi/kabupaten,
sepanjang 1987-2013. Namun, secara keseluruhan kebijakan yang bersifat
mitigasi masih sangat minim.
Kunci kedua adalah pembuatan desain kombinasi paket preventif
HIV yang kuat dengan tujuan mengurangi sekaligus memutus rantai
penularan/transmisi infeksi HIV serta mengurangi kerentanan (susceptibility)
individu sehat terhadap HIV. Langkah ini dapat ditempuh dengan memperbanyak
dan mempermudah akses pengidap HIV mendapatkan obat ART, deteksi dini dan
skrining HIV, terutama kelompok risiko tinggi. Juga dibutuhkan intervensi dan
strategi khusus terhadap perubahan sikap dan perilaku masyarakat, seperti
promosi penggunaan kondom, penyusunan program komprehensif terhadap perubahan
perilaku penyimpangan seksual di masyarakat, dan surveilans kepada
pihak-pihak yang rentan. Monitoring dan evaluasi juga dilakukan pada pengidap
HIV dengan infeksi penyerta (ko-infeksi) seperti tuberkulosis/TB dan
hepatitis.
Sejumlah upaya ini juga didukung penggunaan alat kesehatan,
seperti jarum suntik steril. Sementara untuk mengurangi kerentanan individu
sehat terhadap penularan HIV dapat diupayakan antara lain sirkumsisi pada
pria. Riset di Afrika menunjukkan bahwa sirkumsisi pada pria efektif
menurunkan infeksi HIV 56 persen.
Penggunaan obat-obatan pre- exposure prophylaxis (PrEP) juga
sudah saatnya dimasukkan sebagai salah satu strategi pencegahan infeksi HIV
pada individu sehat yang berpotensi kontak langsung dan intens dengan
pengidap HIV.
Kunci ketiga adalah upaya menghapus diskriminasi dan stigma
terhadap HIV/AIDS dalam masyarakat. Perlu ditekankan bahwa banyak yang
sebenarnya menjadi korban, termasuk ibu-ibu rumah tangga yang tertular dari
suaminya, bayi dari ibu yang terinfeksi, ataupun yang tertular lewat
transfusi darah.
Peranan dan kerja sama semua lapisan masyarakat, terutama dalam
rangka penyampaian informasi yang baik dan akurat, sangat dibutuhkan untuk
menghilangkan stigma dan diskriminasi terhadap para pengidap HIV/AIDS di
masyarakat.
Mengingat bahwa no magic
bullet dalam proses pengendalian infeksi HIV, paket strategi
multikomponen berupa intervensi biomedis dan perubahan perilaku sosial perlu
dilaksanakan secara simultan. Dengan demikian, harapan mewujudkan cita-cita
mengakhiri epidemi HIV/AIDS di Indonesia tahun 2030 bisa tercapai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar