Jumat, 16 Desember 2016

Kewaspadaan atau Gejala Paranoia?

Kewaspadaan atau Gejala Paranoia?
Firman Noor  ;   Peneliti LIPI dan Research Fellow CSSIS,
University of Exeter, Inggris
                                              KORAN SINDO, 15 Desember 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

DEWASA ini kondisi di Tanah Air sulit untuk dikatakan mengindikasikan telah berubahnya pemerintahan menjadi rezim otoriter apalagi diktaktor. Di sisi lain, sulit pula untuk mengatakan bahwa pihak berkuasa di Indonesia tidak menunjukkan gelagat kekhawatiran yang berlebihan atau paranoia.

Jika kita tinjau sejenak, apa yang terjadi dalam sebulan belakangan ini sedikit banyak menunjukkan telah hadirnya gejala paranoia itu—yang justru mengingatkan kita pada apa yang terjadi di masa-masa lalu.

Gejala Kekhawatiran Berlebihan

Sebelumnya perlu disampaikan bahwa pemerintahan saat ini sesungguhnya telah menguasai hampir seluruh unsur dan sumber-sumber kekuasaan di negeri ini. Sebut saja misalnya kekuatan parlemen yang hanya tinggal meninggalkan dua (atau tiga) saja oposisi dari 10 fraksi yang ada. Pihak angkatan bersenjata (TNI) dan kepolisian (Polri) semuanya menunjukkan kesetiaan yang tinggi pada Presiden yang notabene panglima tertinggi.

Sebagian besar media mainstream juga telah menjelma menjadi ”corong pemerintah”. Beberapa di antaranya diakui oleh beberapa kalangan sampai pada level telah kehilangan objektivitas. Kelompok-kelompok bisnis besar utama di negeri ini pun telah memperlihatkan gelagat yang sama, terdorong utamanya oleh kepentingan membangun simbiosis-mutualisme.

Namun, uniknya perilaku pemerintah belakangan ini seolah menegasikan kenyataan politik tersebut. Kekuatan besar yang dimilikinya itu seolah tidak cukup membuatnya percaya diri.

Pada akhir Oktober gelagat kekhawatiran tampak dengan kesibukan Presiden sebagai pimpinan pemerintahan melakukan manuver mendekati banyak kalangan, terutama sekali kepada mereka yang dipandang memiliki pengaruh di tengah masyarakat.

Presiden beberapa kali mendatangi ormas-ormas besar Islam berpengaruh seperti Muhammadiyah dan NU, dan melakukan pertemuan dengan berbagai kalangan, termasuk MUI, sembari menawarkan beberapa imbauan dan pernyataan.

Kesibukan yang sama terjadi pada para pendukung presiden. Mereka beraksi terutama melalui media sosial, ”mengingatkan” akan tekanan kaum radikal yang akan memecah persatuan dan keutuhan bangsa.

Itulah mengapa bagi mereka yang menolak ikut aksi 4/11 aksi tersebut setali tiga uang dengan mendukung perpecahan dan kekerasan. Dalam upaya untuk mencegah aksi ini kerap argumentasi dan ajakan itu diiringi dengan komentar pedas.

Setelahnya isu makar pun mulai diembuskan. Hal itu sembari sesekali diselingi isu didanainya aksi unjuk rasa yang dimotori oleh GNPF-MUI oleh pihak-pihak tertentu, terutama sekali oleh mantan Presiden SBY. Bahkan dengan tuduhan bahwa dana aksi tidak lain berasal dari hasil korupsi sepuluh tahun pemerintahannya.

Belum cukup dengan itu, dimunculkan pula tuduhan adanya ”aktor politik” di balik aksi umat Islam. Sehubungan dengan itu, kelompok-kelompok simpatisan pemerintah dalam berbagai kesempatan juga menekankan dan terus menggemakan bahwa Presiden Jokowi adalah presiden konstitusional.

Pada acara Parade Bhinneka Tunggal Ika, misalnya, pernyataan itu juga diembuskan. Hal yang menjadi persoalan adalah bukan isi dari pernyataan, yang tentu saja benar bahwa Jokowi adalah presiden konstitusional, melainkan momentum dinyatakannya pernyataan itu yang seolah mengingatkan bahwa aksi-aksi belakangan yang terkait dengan Ahok, nantinya akan terkait pula dengan tindakan yang membahayakan posisi Jokowi sebagai presiden yang sah.

Selain itu, sikap Presiden yang tidak bersedia menerima demonstran 4/11 dengan alasan klasik ”jalan macet” menunjukkan memang ada upaya menghindar. Bahasa lain mungkin menyelamatkan simbol negara, karena kecurigaan terhadap motif sesungguhnya aksi para demonstran itu. Atau dapat pula sebagai ekspresi dari ketidaksetujuan Presiden atas langkah kelompok ”radikal” yang dipandang hendak menekannya.

Meski sikap Presiden seolah terkoreksi dengan bersedia hadir dalam salat Jumat, 2 Desember 2016, sebagai presiden yang menyatakan diri ”rindu didemo” dan rajin blusukan, adanya sikap kurang hangat dan terkesan berjarak dengan para demonstran jelas tidak wajar.

Sekadar catatan tambahan, meski pergantian ketua DPR terkait dengan adanya pelanggaran yang dilakukan oleh Ade Komoruddin (Akom), setidaknya itulah pernyataan formal MKD, namun upaya untuk makin memastikan genggaman kekuatan pemerintah pada lembaga legislatif adalah sebuah tujuan pula. Sudah menjadi rahasia umum Akom dirasa lebih akomodatif terhadap kalangan kritis atau demonstran dan mengingat pula dia bukan termasuk faksi dalam Golkar yang benar-benar disukai pemerintah.

Menjelang hari H Aksi Bela Islam III, terasa kembali upaya-upaya untuk melakukan pencegahan aksi, yang kembali diyakini oleh pemerintah akan ditunggangi kelompok makar atau dimanfaatkan oleh ISIS. Yang belakangan adalah isu lain yang juga diembuskan untuk mencegah aksi.

Dengan bantuan kalangan ”moderat” dilemparkan pula isu tidak sahnya melakukan salat Jumat di jalan. Sebuah isu yang cukup potensial mengganggu keyakinan peserta aksi atas sah tidaknya akan apa yang mereka nanti mau lakukan itu, meski terbukti pandangan kaum ”moderat” itu tidak banyak digubris.

Secara teknis, hambatan dilakukan dengan mempersulit arus masuk ke Jakarta. Muncullah kemudian fenomena long march yang dipicu oleh para santri dari Ciamis. Tidak itu saja, disebarkan pula selebaran untuk imbauan tidak mengikuti aksi beberapa hari sebelumnya, yang banyak mengingatkan kita pada aksi Inggris/NICA menjelang terjadinya pertempuran heroik 10 November 1945.   

Makar?

Khusus dalam soal makar ini, gejala paranoia itu terasa mengingat tidak ada alasan untuk para tersangka melakukan makar secara riil. Makar setidaknya membutuhkan beberapa kondisi, seperti adanya agensi atau tokoh utama pemersatu yang artikulatif dan dipercaya oleh banyak orang sebagai pemimpin makar. Tidaklah harus sekelas Fidel Castro atau Khomeini, tapi tokoh berskala nasional semacam ini harus ada.

Kemudian harus ada alasan kuat (reason) yang didukung secara militan oleh sekumpulan orang dengan jumlah signifikan, termasuk dari kalangan bersenjata. Selain itu mutlak adanya jaringan dan simpul-simpul (networks/groups) yang terkonsolidasi dengan solid di level masyarakat dan telah melakukan kegiatan test case beberapa kali.

Pada prinsipnya makar itu harus merupakan sebuah ancaman besar, yang direncanakan dan diorganisasikan secara matang. Kalau sekadar berwacana kritis untuk melakukan pergantian pemerintahan sebagai jawaban atas kesulitan bangsa ini tentu penangkapan atas mereka hanya merupakan bukti lain dari paranoia itu. Selain itu, tampaknya ada persoalan besar pada aspek analisis lingkar dalam penguasa mengenai soal makar ini.

Gejala paranoia ini tentu saja berpotensi meluas. Untuk itu, ada baiknya pemerintah dan kelompok di sekitarnya segera mengatasinya. Jika tidak, situasi ini hanya akan makin menimbulkan banyak sekali pertanyaan dan kesan yang tidak elok di kemudian hari. Sikap untuk membeda-bedakan perlakuan di depan hukum antara kalangan yang masuk dalam in group dengan mereka yang out group sedikit banyak merupakan ekspresi dari gejala paranoia.

Untuk itu, agar pemerintah tidak semakin terpojok karena citranya sebagai rezim paranoia, ada baiknya bersikaplah lebih banyak menyerap aspirasi dengan membuka dialog lebih luas dengan rakyat (grass root) bukan dengan broker, analis-rekanan, apalagi elite pendukung saja.

Dialog layak pula dilakukan terutama oleh kalangan yang disangka akan memecah belah bangsa dan melakukan makar itu. Hal ini agar pemerintah lebih paham dan bijak dalam melihat apa yang sesungguhnya telah terjadi.

Kemudian bersikaplah wajar dan demokratis. Perlakukanlah oposisi, kalangan kritis, atau mereka yang berupaya ambil bagian dalam mengontrol pemerintah secara elegan.

Kenyataannya, kalangan seperti itu akan selalu (dan harus) ada dalam kehidupan demokrasi. Jika memang pemerintah sungguh-sungguh meyakini makna demokrasi, sudah amat pantas jika kalangan tersebut diberikan ruang yang cukup. Menjaga kewaspadaan jelas penting, namun tanpa harus berubah menjadi paranoia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar