Jalan
Pertumbuhan Ekonomi
Arif Budimanta ; Wakil
Ketua Ekonomi dan Industri Nasional
|
KOMPAS, 05 Desember
2016
Kita memerlukan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan tinggi.
Untuk itu perlu langkah strategis, taktis, sekaligus holistis untuk
mencapainya dengan kemampuan sumber daya kita saat ini, di tengah dinamika
perekonomian global yang penuh dengan kejutan.
Dalam satu artikelnya di Kompas (15/11/2016), M Chatib Basri
mengulas kapasitas pertumbuhan ekonomi nasional dalam situasi ketidakpastian
perekonomian global.
Model pertumbuhan yang digunakan dalam artikel tersebut adalah
rasio investasi terhadap produk domestik bruto (PDB) dibagi ICOR (incremental
capital output ratio). Dengan rumus ini, pilihannya hanya dua: menaikkan
rasio investasi terhadap PDB atau menurunkan ICOR sebagai bilangan pembagi.
Dalam situasi seperti ini, termasuk masih sulitnya Indonesia
dalam jangka pendek untuk bersaing di sektor jasa, pilihan yang ditawarkan
antara lain menarik masuknya modal asing.
Tujuannya baik, yaitu untuk menambah modal domestik agar dapat
membiayai investasi di dalam negeri. Jika kita ingin merealisasikannya,
syaratnya ada kebijakan relaksasi yang cukup lentur terhadap masuknya modal
asing.
Tentu kehadiran modal sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi
sangat penting. Namun, relaksasi yang berlebihan berpotensi menjadi beban di
kemudian hari bagi perekonomian domestik seandainya yang kita undang hanya
modal.
Di dunia akademik sampai saat ini masih ada perdebatan mengenai
dampak aliran modal asing terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara. Bank
Dunia pernah mendokumentasikan soal ini dalam ”Global Development Finance (2001)”. Di situ ditegaskan tidak ada
satu literatur pun yang menunjukkan hubungan pasti tentang dampak aliran
modal asing terhadap pertumbuhan ekonomi.
William Esterly (2000) mencontohkan era 1990-an, saat terjadi
aliran modal yang masif ke negara-negara berkembang. Di luar harapan,
pertumbuhan ekonomi malah cenderung rendah. Sebaliknya, aliran modal asing
bermanfaat mendorong pertumbuhan di negara-negara berpendapatan menengah.
Temuan ini seolah memperkuat kajian sebelumnya yang dilakukan
Milesi-Ferretti (1995) dengan membandingkan data antarnegara selama periode
1966-1989. Hasilnya, tidak ditemukan hubungan yang pasti antara pertumbuhan
ekonomi dan kondisi capital account. Begitu pun dengan kajian yang dilakukan
Dani Rodrik pada 1998.
Modal dan
pertumbuhan
Secara umum, ada dua alasan yang bisa menjelaskan
ketidakkonsistenan hubungan antara arus modal dan pertumbuhan ekonomi suatu
negara. Pertama, volatilitas arus modal yang tinggi dapat mengurangi dampak
yang menguntungkan dari masuknya modal asing, antara lain akibat apresiasi
nilai tukar yang berlebihan. Namun, dari sisi perdagangan internasional, hal
ini menjadi tidak menguntungkan karena barang-barang ekspor cenderung lebih
mahal sehingga mendorong penurunan ekspor.
Kedua, kemampuan setiap negara dalam menyerap dan mengadopsi
dana yang masuk berbeda sehingga harapan adanya dorongan pertumbuhan ekonomi
bisa tidak terjadi. Kajian Robert Lucas (1990) mengingatkan, tidak setiap
negara berkembang memiliki tingkat produktivitas marjinal yang tinggi.
Banyak negara yang masih memiliki keterbatasan infrastruktur,
kualitas sumber daya yang rendah, sistem kebijakan yang tidak mendukung, dan
perekonomian yang tidak kondusif. Akibatnya, modal asing yang masuk tak mampu
mendorong pertumbuhan ekonomi.
Meminjam konsep Schumpeterian, yang menjadi argumen dana asing
memiliki peran dalam pertumbuhan ekonomi adalah technological spillover,
bukan fokus kepada kapitalnya. Dana asing itu akan penting bagi pertumbuhan
ekonomi kalau mampu mendorong produktivitas dalam negeri, dengan catatan
technological spillover terjadi.
Harus diakui, proses terjadinya spillover effect dari proses
masuknya dana asing bukanlah sesuatu hal yang mudah. Hal ini setidaknya
sangat tergantung dari dua hal: apakah ada proses transfer pengetahuan atau
keahlian dan apakah masyarakat kita sudah siap mengadopsi.
Tentu tidak mudah menyiapkan sumber daya manusia yang mumpuni.
Perlu peran pemerintah melalui lembaga pendidikan. Selain itu, rentang waktu
yang dibutuhkan juga panjang kendati kita tidak boleh pesimistis.
Dari sisi politik, pemerintah saat ini memiliki momentum sangat
baik untuk menggenjot kinerja perekonomian. Stabilitas politik terjaga dan,
pada saat bersamaan, tingkat kepercayaan publik terhadap kepemimpinan
Presiden Joko Widodo sangat tinggi, seperti yang telah dilansir oleh survei
banyak lembaga. Dengan demikian, kebijakan pemerintah memiliki ruang dukungan
politik yang kokoh dari para pemangku kepentingan.
Dari sisi ekonomi, potensi juga datang dari ruang fiskal,
terutama setelah kebijakan pengampunan pajak. Kelompok mapan yang selama ini
melaporkan jumlah dananya lebih rendah dari fakta akan membayar lebih banyak
sehingga membuka ruang penerimaan pajak lebih besar pada tahun-tahun
mendatang.
Kerahkan semua
faktor
Hal lain yang bisa dimaksimalkan dalam mendorong pertumbuhan
ekonomi yang berkualitas adalah jika kita ”mengerahkan” segala faktor atau
variabel pertumbuhan yang ada, seperti sektor pertanian, kehutanan, kelautan
perikanan, ataupun perdesaan, yang dirancang dalam suatu kompleks supply
chain yang terintegrasi.
Investasi berupa dana asing yang masuk diarahkan langsung ke
sektor riil. Dengan demikian, investasi tersebut mampu memberikan efek
lanjutan pada penyerapan tenaga kerja, akhirnya ikut mendorong konsumsi.
Saat yang sama, faktor lain, seperti keseimbangan antara ekspor
dan impor (net export), juga perlu dijaga. Caranya antara lain sedikit
menahan impor barang konsumsi, terutama yang memiliki substitusi di dalam
negeri agar ekspor bersih tetap positif.
Semua potensi ini bekerja saling bersinergi, tentu saja harus
dikawal oleh tata kelola pemerintahan yang baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar