Radikalisme
di Sekolah Swasta Islam:
tiga
tipe sekolah yang rentan
Agus Mutohar ; PhD Candidate at Faculty of Education, Monash University
|
THECONVERSATION.COM,
16 Mei
2018
Rentetan aksi
terorisme kembali terjadi di Indonesia seminggu terakhir ini. Mulai dari
aksi terorisme di rumah penahanan narapidana teroris di Markas Komando
Brigade Mobil Depok Jawa Barat, kemudian serangan bom di tiga gereja di
Surabaya, Jawa Timur Minggu lalu, dan teror bom lainnya di Markas
Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya. Puluhan korban tewas dan luka-luka.
Menyikapi
rentetan tindakan teror tersebut, Presiden Joko “Jokowi”
Widodo menegaskan bahwa pemerintah akan membasmi terorisme sampai ke
akar-akarnya.
Upaya
serius Presiden Jokowi tersebut patut diapresiasi. Namun, permasalahan
terorisme sangat kompleks karena tidak ada faktor tunggal yang bisa
menjelaskan mengapa seseorang melakukan tindakan teror.
Pentingnya sekolah untuk mencegah radikalisme
Salah
satu langkah yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk mencegah merebaknya
terorisme di Indonesia adalah menggunakan lembaga pendidikan untuk menyemai
tumbuh kembangnya sikap toleransi sehingga dapat menghentikan masuknya
pemikiran-pemikiran radikal.
Tapi
yang terjadi malah sebaliknya, sekolah-sekolah di Indonesia menjadi lahan
tumbuh suburnya paham ekstremisme.
Survei
terkini yang dirilis oleh beberapa lembaga seperti Wahid
Institute, Pusat Pengkajian Islam Masyarakat (PPIM) dan Setara
Institute mengindikasikan terjadinya penyebaran ajaran intoleransi dan paham
radikalisme di lembaga pendidikan di Indonesia.
Survei
toleransi pelajar Indonesia yang dilakukan oleh Setara Institute pada
2016 menyimpulkan bahwa 35,7% siswa memiliki paham intoleran yang baru dalam
tataran pemikiran, 2,4% persen sudah menunjukkan sikap intoleran dalam
tindakan dan perkataan dan 0,3% berpotensi menjadi teroris. Survei ini
dilakukan atas 760 responden yang sedang menempuh pendidikan SMA Negeri di
Jakarta dan Bandung, Jawa Barat.
Survei
dari Wahid Institute dan PPIM juga menunjukkan
kecenderungan serupa yang mengkhawatirkan.
Karakter sekolah yang rentan
Pada
2017, saya terlibat dalam penelitian di 20 sekolah swasta Islam di
Jawa Tengah untuk melihat upaya mereka dalam merespons paham radikal.
Penelitian ini melibatkan akademisi dari Monash University, Australia,
Universitas Islam Negeri Walisongo di Semarang, Jawa Tengah dan Universitas
Gadjah Mada di Yogyakarta dengan dukungan dari Australia-Indonesia Centre.
Salah
satu capaian dalam riset yang kami lakukan adalah kami berhasil
mengidentifikasi tiga tipe sekolah yang rentan terhadap paham-paham radikal.
Karena alasan prinsip penelitian dan kesepakatan dengan sekolah yang kami
teliti, kami tidak akan merilis nama-nama sekolah yang kami teliti.
Tiga
tipe sekolah yang rentan terhadap paham radikal dalam penelitian kami adalah:
Sekolah
tertutup (closed schools)
Alih-alih
menerima perubahan, ciri-ciri sekolah tertutup adalah mengajarkan sikap yang
sempit dan cenderung menutupi ide-ide dan perkembangan dari luar.
Salah
seorang kepala sekolah yang kami temui menjelaskan pentingnya menggunakan
peradaban Islam (tsaqofah
Islamiyah) sebagai benteng untuk melawan globalisasi Barat.
Selain
membenturkan peradaban Islam dan Barat, sekolah yang mempunyai tipologi
tertutup ini menekankan pentingnya praktik ajaran Islam versi mereka dan
menolak versi Islam yang kebanyakan dianut oleh muslim di Indonesia.
Sekolah
terpisah (separated schools)
Kedua,
sekolah yang berisiko menumbuhkan ajaran radikal adalah tipe sekolah
terpisah. Sekolah jenis ini bisa dilihat dari cara mereka merekrut guru dan
partisipasi mereka dalam kegiatan sosial keagamaan.
Sekolah
terpisah sangat ketat dalam proses perekrutan guru, terutama guru agama.
Berdasarkan
data yang kami dapat, sekolah dalam kategori ini hanya akan merekrut guru
agama dari kelompok mereka. Sekolah akan menggunakan rekomendasi dari
jejaring mereka atau merekrut alumni yang mempunyai paham Islam yang sama.
Selain itu, sekolah tidak mau berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat yang
tidak sesuai dengan paham mereka.
Sekolah
jenis ini sangat berbeda dengan sekolah Islam lainnya yang menerapkan konsep
terintegrasi (integrated schools).
Beberapa sekolah yang berafiliasi dengan organisasi Islam besar seperti
Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah tidak mempermasalahkan latar belakang
kelompok Islam yang berbeda.
Salah
seorang kepala sekolah dari sekolah NU misalnya menyatakan bahwa di
sekolahnya terdapat guru-guru yang berlatar belakang Muhammadiyah.
Sekolah-sekolah ini juga aktif berpartisipasi dalam kegiatan bermasyarakat,
termasuk mengikuti kegiatan antar agama.
Sekolah
yang mengajarkan identitas Islam murni (schools
with pure Islamic identity)
Tipe
sekolah yang ketiga bisa dilihat dari cara sekolah mengkonstruksi identitas
muslim. Sekolah yang berisiko menumbuhkan radikalime menjadikan Islam sebagai
konstruksi identitas tunggal dan menolak identitas-identitas yang lain.
Hal
ini berbeda dengan sekolah Islam yang lain yang cenderung mengganggap bahwa
identitas sebagai muslim dan identitas lainnya tidak bertentangan dengan
ajaran Islam.
Sekolah
Islam moderat biasanya tidak mempertentangkan identitas sebagai muslim dan
identitas sebagai warga negara Indonesia.
Ketika
sebuah sekolah memunculkan identitas muslim yang tunggal, sekolah tersebut
menumbuhkan sikap radikal karena mereka hanya mempunyai penafsiran Islam
tunggal sesuai dengan aliran mereka.
Kepala
sekolah dari sekolah model ini biasanya menjelaskan bahwa semua siswa harus
mengikuti semua ritual agama yang dianut di sekolah meski mereka berasal
latar belakang organisasi Islam yang berbeda.
Sebuah
pernyataan dari kepala sekolah yang kami temui misalnya mengatakan bahwa
walau siswa berlatar belakang NU yang membaca qunut(doa ketika
salat subuh), setelah masuk sekolah tidak boleh lagi mempraktikkan doa
tersebut.
Praktik
ini sangat berbeda dengan sekolah lain yang memberikan kewenangan kepada guru
agama untuk memberikan keleluasaan siswa untuk melakukan qunut atau
tidak.
Selain
itu, identitas tunggal dan penolakan terhadap identitas-identitas lain
cenderung memunculkan sikap “kami melawan mereka” atau ‘we versus them’
sehingga memunculkan upaya pengkotak-kotakan seperti muslim dan non-muslim
bahkan antar sesama muslim yang memiliki penafsiran agama yang berbeda.
Apa yang bisa kita lakukan
Tiga
tipe sekolah di atas memfasilitasi tumbuhnya sikap intoleransi dan paham
radikal di lembaga pendidikan yang bisa berujung pada tindakan terorisme.
Oleh
karena itu, rentetan teror bom yang terjadi akhir-akhir ini bisa dijadikan
momentum pemerintah untuk merencanakan langkah proaktif untuk mempromosikan
keterbukaan, keberagaman, integrasi sosial, dan konstruksi identitas yang
beragam di sekolah-sekolah di tanah air.
Kampanye
toleransi yang dilakukan oleh pemerintah akhir-akhir ini seyogyanya bisa
menjangkau lembaga-lembaga pendidikan di tanah air lewat Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama.
Sekolah
harus dibekali kerangka kerja dan program untuk menumbuhkan sikap moderat dan
toleransi. Selain itu, Dinas Pendidikan dan Kantor Wilayah Kementerian Agama
di daerah juga harus mampu mengidentifikasi sekolah-sekolah yang rentan
terhadap radikalisme dan melakukan langkah persuasif untuk mencegah
menyebarnya radikalisme di sekolah tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar