Ideologi
Anti-sawit di Eropa
Arif Havas Oegroseno ; Alumnus Harvard Law School 1992
|
KOMPAS,
02 Juni
2018
Sikap anti-sawit di seluruh Eropa,
tidak sekadar Uni Eropa (UE), adalah ideologi. Ideologi tidak harus selalu
terkait pada keanggotaan partai atau sistem kenegaraan. Spektrumnya sangat
luas dari ekstrem kiri hingga ekstrem kanan.
Anti-sawit di Eropa adalah
ideologi baru yang unik karena tak mengenal spektrum. Mereka datang dari
kelompok kiri, tengah, tengah-kanan, petani, dan industrialis, seperti ePure,
asosiasi 23 industri raksasa etanol Eropa. ePure mengakui melakukan strategi
komprehensif agar Parlemen Eropa (PE) hanya menggunakan produk lokal Eropa.
Gabungan kekuatan politik dari
spektrum ideologi Eropa yang berbeda ini menghasilkan Resolusi PE yang
melarang sawit sebagai minyak nabati (biofuel) transportasi di Eropa mulai
2021. Sebanyak 485 (60%) dari 751 anggota PE menyetujui resolusi
diskriminatif anti-sawit dan menutup mata terhadap tak adanya standar yang
sama terhadap produk lokal UE rapeseed, sunflower (bunga matahari) dan soya
(kedelai).
Sepuluh fakta
Alasannya adalah deforestasi. EP
melihat sawit tidak berkelanjutan dan harus dilarang sebagai bahan minyak
nabati di UE. Kita lihat 10 fakta mendasar apakah argumen PE memiliki dasar.
Pertama, laporan UE sendiri
menyatakan, penyebab deforestasi tertinggi adalah peternakan, yaitu 24
persen, kedelai (5.4), jagung (3.3), sawit (2.5). Peternakan sapi, kambing,
domba dan babi di UE adalah 335 juta ekor. Di Indonesia hanya 59 juta atau 18
persen dari jumlah di UE. Namun tidak ada gerakan anti-peternakan di PE.
Kedua, data industri Eropa dan AS
menunjukkan perluasan pertanian kedelai, rapeseed dan bunga matahari lebih
masif daripada sawit. Pada 1965, terdapat 25,8 juta hektar (ha) kedelai, 7
juta ha rapeseed, 7,5 juta ha, bunga matahari, dan 3,6 juta ha sawit. Pada
2016 luasan kedelai mencapai 121 juta ha, rapeseed 33,6 juta ha, bunga
matahari 24,69 juta ha dan sawit 20,23 juta ha. Namun tidak ada protes dari
LSM lingkungan hidup UE, apalagi dari Indonesia.
Ketiga, data NASA menunjukkan pada
November 2015, 56 persen hotspots kebakaran hutan terjadi di luar kawasan
konsesi pertanian atau kehutanan, 33 persen di kawasan hutan industri kayu,
dan 7 persen di kawasan konsesi sawit.
Data UE pada 2016 dan NOAA
menunjukkan, dari rentang 2011-2015 luasan kebakaran hutan di Indonesia
(64.000 ha) jauh lebih kecil daripada AS (2,2 juta ha), Rusia (2,3 juta ha),
Portugal (84.000 ha), Spanyol (107.000 ha) dan Australia (236.000 ha), serta
gabungan Italia dan Yunani (106.000 ha). Satelit NOAA menunjukan hotspots
seluruh Indonesia pada Januari 2018 adalah 51 lokasi, sementara pada 2017
mencapai 89 lokasi. Pada 2015 adalah 22.000 titik. Tingkat kepercayaan NASA
mencapai 80 persen, sebaliknya PE tidak peduli dengan data ini.
Keempat, angka deforestasi di
Indonesia menurun hingga 30 persen sejak tiga tahun terakhir dari 1 juta ha
pada 2014 menjadi 0,47 juta ha pada 2017. Deforestasi disebabkan oleh
berbagai hal, dan laju penurunannya dilakukan dengan sejumlah kebijakan tegas
dan nyata.
Kelima, Indonesia dinilai memiliki
gambut terluas di dunia sehingga harus dilindungi dan tidak dapat digunakan
untuk pertanian. Kenyataannya, sesuai data Wetland International, dari 381
juta hektar gambut global, gambut di Rusia adalah 137.5 juta ha, di Eropa 29
juta ha, 22 juta ha di AS dan di Indonesia 18.5 juta ha.
Dan, bukan rahasia umum lagi bahwa
55,37 persen dan 33 persen gambut di AS, Rusia dan di Eropa menjadi lahan
pertanian. Sementara di Indonesia hanya 13 persen. Menjadi tanda tanya
apabila tidak ada protes anti-pertanian gambut di Eropa. LSM Indonesia tidak
pernah mempertanyakan mengapa bangsa Eropa bercocok tanam di atas gambut.
Keenam, riset ahli gambut
Indonesia menunjukkan bahwa stok karbon hutan gambut primer adalah 81 ton per
ha, hutan gambut sekunder 57 ton per ha, sawit 9-12 tahun mencapai 54 ton per
ha dan sawit 14 tahun lebih mencapai 73 ton per ha.
Ketujuh, data FAO menegaskan bahwa
emisi rumah kaca dari sektor pertanian di Indonesia sangat kecil, yaitu 3
persen. UE memegang rekor tertinggi, yaitu 28,8 persen, kemudian China (14),
India (13), Brasil (9), dan AS (8 persen).
Kedelapan, pakar Barat menuduh
hampir 70 persen sawit di Indonesia merupakan hasil penebangan hutan alamiah
secara brutal. Pakar IPB menemukan fakta lain. Pada rentang 1950–2014,
perubahan hutan menjadi non-hutan di Indonesia karena berbagai alasan
mencapai 99 juta ha.
Pada rentang yang sama, 64 tahun,
kebun sawit berkembang dari 597.000 ha menjadi 10 juta ha, suatu proses yang
sangat lambat dan membuktikan bahwa sawit bukan penyebab deforestasi. Justru
dalam banyak hal, kebun sawit berupa pohon dengan ketinggian 12 meter
memberikan peran reforestasi. Total reforestasi sawit mencapai 7,9 juta ha
pada 2013. PE tak menghargai ini.
Kesembilan, hasil riset IE Henson
dan PPKS menunjukkan data perbandingan serapan karbon dan produksi oksigen
antara sawit dan hutan tropis yang penting. Sawit menyerap 64 ton karbon per
tahun dan mengeluarkan 18 ton oksigen per tahun, sementara hutan tropis
menyerap 42 ton karbon dan mengeluarkan 7 ton karbon per tahun.
Kesepuluh, sawit memerlukan air
paling sedikit untuk memproduksi energi per gigajoule, yaitu 85 meter kubik,
dibandingkan rapeseed 184 meter kubik, kedelai 100 meter kubik dan bunga
matahari 87 meter kubik.
Motif sebenarnya: monopoli!
Biofuels di UE tidak hanya dari
sawit tetapi juga dari rapeseed, bunga matahari dan kedelai yang ditanam
petani secara masif seluas 11.5 juta hektar. Para petani ini dan juga petani
di UE lainnya dapat subsidi yang besar, yaitu 59 miliar euro atau hampir Rp
1.000 triliun.
Kekuatan lobi mereka luar biasa.
Catherine Bearder, anggota PE dari Liberal Demokrat, membuka data: 25 dari 45
anggota komite pertanian PE adalah petani, eks petani, atau memiliki bisnis
terkait pertanian. Media memberitakan bahwa sejumlah anggota PE menerima dana
hingga 5.000 pound atau Rp 93 juta per bulan dari bisnis pertanian. Angka ini
jauh di atas upah minimum Inggris 1.300 pound.
Greenpeace sendiri mengakui bahwa
masukan lobi petani dalam proses pengambilan keputusan UE sangat kuat.
Sementara industri minyak nabati UE memiliki lobi yang kuat, antara lain
AVRIL GROUP. Menurut data EU Transparency Register, AVRIL memiliki anggaran
hingga 4,8 juta euro atau sekitar Rp 78 miliar per tahun dengan 76 pelobi
profesional untuk melakukan lobi kepentingan industri minyak nabati di UE.
Salah satu strategi lobi petani
dan industri minyak nabati di UE adalah menciptakan fokus terhadap sawit
dengan berbagai tema, tanpa memerhatikan data dan fakta. Mulai dari kesehatan
hingga lingkungan hidup guna mencapai satu tujuan: menghilangkan sawit dari
pasar minyak nabati UE.
Bas Eickout, Green MEP Belanda
menyatakan penggunaan minyak sawit perlu dikurangi hingga nol pada 2021.
Sementara Sekjen ePURE Emanuelle Desplechin, produsen ethanol di UE,
menyatakan bahwa UE harus berhenti mempromosikan penggunaan minyak sawit dan
turunannya dalam biofuel. UE sendiri secara resmi mengajukan anti-dumping
terhadap sawit Indonesia sejak November 2013.
Semua data di atas menunjukkan
bahwa ideologi anti-sawit di UE bersumber pada persaingan bisnis dari petani
dan industri rapeseed, bunga matahari dan kedelai yang ingin menguasai pasar
minyak nabati di UE secara penuh.
Argumentasi dan kebijakan apa pun
yang dilakukan Indonesia tidak akan pernah diterima oleh mereka. Ibaratnya
permainan sepak bola, Indonesia tidak akan pernah menang karena gawangnya
selalu dipindahkan. Mereka tidak menghendaki sertifikasi sustainability
rapeseed, bunga matahari dan kedelai ataupun analisis mendalam terhadap
pertanian di atas gambut Eropa, dampak kebakaran hutan di Eropa.
Permintaan utama Indonesia agar
dilakukan dialog yang wajar atas dasar data dan keilmuan secara seimbang pun
selalu ditolak. Diskusi secara rasional dengan menggunakan data dikhawatirkan
akan merugikan lobi petani dan industri karena hal ini akan membawa pada
perlakuan yang sama dan non-diskriminatif terhadap semua produk minyak nabati
dalam kesetaraan.
Ideologi anti-sawit ini ternyata
juga merambah Indonesia dengan tingkat anomali yang tinggi. Hal ini antara
lain terlihat dari Surat Terbuka Kepada Presiden RI dan Dewan UE serta Kepala
Negara UE tanggal 22 Mei 2018, yang ditandatangani oleh 236 orang.
Dalam butir 1, surat ini setuju
terhadap Resolusi PE yang melarang sawit tetapi memperbolehkan rapeseed,
kedelai dan bunga matahari. Artinya, mereka menyetujui perilaku diskriminatif
politisi Eropa. Mereka tidak meminta sertifikasi atau kebijakan “eco-friendly” terhadap
industri rapeseed, kedelai dan bunga matahari di UE. Kini terdapat 236
warga Indonesia di Indonesia yang setuju kebijakan untuk menghukum produk
Indonesia dari lembaga politisi asing, yang anggotanya termasuk politisi
anti-Islam dan anti-Muslim.
Ekspansi ideologi anti-sawit di
Indonesia adalah tantangan yang lebih berat daripada di UE karena hal ini
berarti bangsa Indonesia berhadapan satu sama lain, di mana banyak LSM
Indonesia yang tak menyadari bahwa motivasi petani dan industri UE bukan
lingkungan hidup di Indonesia tetapi kepentingan dagang dan subsidi
pertanian. Kita menghadapi strategi devide et empera lagi. Ini mengingatkan
kita pada pesan Bung Karno: “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir
penjajah, tetapi perjuangan mu akan lebih sulit karena melawan bangsa
sendiri.”
Perjuangannya akan panjang dan
kompleks karena ideologi ini harus dilawan dengan perbaikan kebijakan
nasional, dengan data dan ilmu, serta hukum internasional. Sulit, tetapi
tidak ada pilihan lain. Indonesia harus terus melawan seperti halnya
Komisioner UE Malmstroem terhadap ancaman tarif Trump. Beliau
menegaskan “Recently we have seen how it is used as a weapon to
threaten and intimidate us. But we are not afraid, we will stand up to the
bullies,” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar