Bersatu,
Berbagi, Berprestasi
Yudi Latif ; Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila
|
MEDIA
INDONESIA, 31 Mei 2018
SETIAP kali Hari Lahir
Pancasila kita peringati, bangsa Indonesia diingatkan kembali tentang
pentingnya mencari titik temu dalam perbedaan. Titik persetujuan dalam
mewujudkan kemaslahatan dan kebahagiaan hidup bersama.
Manakala padang kehidupan
kebangsaan hari ini disengat cuaca terik yang membuat rerumputan kering mudah
terbakar dan tanah-tanah rekah terbelah, peringatan Hari Lahir Pancasila
diharapkan bisa mengembalikan tetes hujan yang bisa mendinginkan dan
menyuburkan kehidupan. Tetes hujan yang kita perlukan ialah teralirkannya
kembali semangat bersatu dan berbagi.
Bersatu artinya kita
kembangkan kembali spirit Bhinneka Tunggal Ika. Keragaman yang terbentang
sepanjang garis khatulistiwa, tidak boleh menjadi alasan saling membenci,
tetapi justru menjadi daya perekat bangsa. ‘Bersatu dalam keragaman dan
beragam dalam persatuan’. Sebagaimana disampaikan Soekarno dalam pidato 1
Juninya, "Kita hendak mendirikan suatu negara semua buat semua. Bukan
buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun
golongan yang kaya, tetapi semua buat semua”.
Berbagi artinya kita
kembangkan etos kepedulian, welas asih. Satu sama lain menjadi saudara dari
keluarga besar keindonesiaan. Berbagi sejatinya saripati nilai-nilai
Pancasila, yakni gotong-royong. Dalam berbagi ada semangat saling memberi dan
menerima. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, menyelesaikan persoalan
dengan jalan musyawarah dan mufakat.
Di dalamnya tersimpan pula
makna yang senantiasa harus kita aktifkan; menebarkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat. Bahwa setiap warga negara dijamin keamanan, kelayakan, dan
kehormatan hidupnya.
Dalam Pancasila, sila
kerakyatan didahului dengan sila persatuan, dan diakhiri sila keadilan. Itu
berarti bahwa demokrasi Indonesia mengandaikan adanya semangat persatuan
(kekeluargaan). Setelah demokrasi politik dijalankan, pemerintahan yang
menjalankan kekuasaan diharapkan dapat mewujudkan keadilan sosial.
Dalam demokrasi
permusyawaratan, kebebasan kehilangan makna substantifnya sejauh tidak
disertai kesederajatan dan persaudaraan (kekeluargaan). Kesederajatan dan
semangat kekeluargaan dari perbedaan aneka gugus kebangsaan diperkuat melalui
pemuliaan nilai keadilan.
Dalam pokok pikiran
pertama Pembukaan UUD 1945, disebutkan perwujudan negara yang dikehendaki
ialah negara, begitu bunyinya, yang melindungi segenap bangsa dan seluruh
tumpah darah Indonesia dengan berdasar persatuan, dengan mewujudkan keadilan
seluruh rakyat Indonesia.
Setiap kali konflik sosial
meruncing, setiap kali itu juga kita diingatkan untuk merestorasi
retakan-retakan pada sepasang sayap keindonesiaan; persatuan dan keadilan.
Dalam kaitan dengan negara
persatuan, untuk masa yang panjang, politik segregasi telah mengantarkan
Indonesia sebagai masyarakat plural yang terkunci dalam situasi
‘plural-monokultralisme’. Terdiri dari banyak etnis agama yang hidup dalam
kepompong budayanya masing-masing, tanpa kerapatan interaksi.
Koreksi politik dituntut
untuk mentransformasikan situasi ‘plural-monokulturalisme’ menuju situasi
‘plural-multikulturalisme’ lewat berbagai kebijakan yang dapat mencegah
berbagai bentuk segregasi sosial (dalam dunia persekolahan, pemukiman,
pekerjaan, dan perkumpulan), seraya membuka ruang-ruang komunikatif bagi
proses-proses interaktif, pertukaran pemikiran, dan penyerbukan silang
budaya.
Masyarakat multikultural
hanya bisa dipertahankan oleh suatu budaya politik jika kewargaan demokratis
bisa menjamin, bukan saja hak-hak sipil dan politik setiap individu,
melainkan juga hak-hak sosial-budaya kelompok masyarakat.
Seperti kata Habermas,
”Warga bangsa harus dapat mengalami nilai keadilan yang berkaitan hak-haknya
juga dalam bentuk keamanan sosial serta pengakuan timbal balik dalam
perbedaan bentuk-bentuk budaya kehidupan."
Upaya negara untuk memberi
ruang bagi koeksistensi dengan kesetaraan hak bagi berbagai kelompok etnis,
badaya, dan agama juga tidak boleh dibayar oleh ongkos yang mahal berupa
fragmentasi masyarakat. Oleh karena itu, setiap kelompok dituntut memiliki
komitmen kebangsaan dengan menjunjung tinggi konsensus nasional, seperti yang
tertuang dalam Pancasila dan konsitusi negara, serta unsur-unsur pemersatu
bangsa lainnya, seperti bahasa Indonesia.
Dalam usaha memajukan
kesejahteraan umum, kebijakan perlakuan khusus sebagai ikhtiar mengatasi
kesenjangan sosial bisa saja dibenarkan. Menurut John Rawls, dalam rangka
keadilan, setiap orang memang harus diperlakukan setara. Apabila dengan
perlakuan setara itu justru melahirkan ketidakadilan lebih lebar, perlu
diberikan perlakuan khusus bagi kalangan yang termaginalkan.
Perlakuan khusus itu
seyogianya tidak diletakkan dalam kerangka perbedaan identitas etnis
keagamaan yang bisa mengoyak persatuan, tetapi diberikan pada siapapun yang
termiskinkan tanpa membedakan asal-usul primordialnya.
Di dalam kata ‘adil’,
sesungguhnya sudah terkandung imperatif menjaga persatuan. Berasal dari kata
‘al-adl’ (adil), yang secara harfiah berarti ‘lurus’, ‘seimbang’, keadilan
berarti memperlakukan setiap orang secara fair. Tanpa diskriminasi
berdasarkan perasaan subjektif, perbedaan keturunan, keagamaan, dan status
sosial.
Dalam Alquran (Surah
Al-Maidah ayat 8) diingatkan: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu
jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah. Dan
janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu
berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada
takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan.”
Tepatlah kiranya bila
pokok pikiran pertama Pembukaan Konstitusi Proklamasi menggariskan misi
(fungsi) negara untuk ‘melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah RI dengan berdasar atas persatuan, dengan mewujudkan keadilan bagi
seluruh rakyat Indonesia”.
Demikianlah, antara
persatuan dan keadilan ibarat sepasang sayap garuda yang harus bergerak serempak.
Hanya dengan itu, sang Garuda bisa terbang, meninggikan prestasi bangsa di
berbagai bidang. Prestasi dalam mewujudkan cita-cita menjadi bangsa yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Di atas landasan berpikir
seperti itulah, tema peringatan Hari Lahir Pancasila tahun ini ialah ‘Kita
Pancasila: Bersatu, Berbagi, Berprestasi’.
Peringatan Hari Pancasila
dilaksanakan pada 1 Juni, tetapi perayaannya bisa dilakukan selama rentang 1
Juni-18 Agustus 2018. Perluasan rentang waktu perayaan Hari Lahir Pancasila
itu seperti napak tilas proses perjalanan perumusan Pancasila yang melibatkan
kontribusi berbagai pihak hingga diterima sebagai dasar negara.
Selama rentang waktu itu,
perayaan Hari Lahir Pancasila hendaknya tidak bersifat seremonial belaka, tetapi
diisi dengan berbagai praktik kebajikan Pancasila sebagai wujud implementasi
kelima sila pancasila dalam laku hidup di berbagai bidang.
Berbagai kegiatan bisa
dilaksanakan aparatur negara dan masyarakat di seluruh Tanah Air, terutama
dalam menguatkan simpul-simpul persatuan dalam keragaman. Menggalang semangat
berbagi dan bermitra usaha melintasi batas-batas identitas dan golongan,
serta memberikan apresiasi terhadap praktik-praktik baik dan prestasi
anak-anak bangsa di berbagai bidang sebagai wujud pengamalan nilai-nila
Pancasila.
Dengan menguatkan semangat
bersatu, berbagi, dan prestasi, semoga kita bisa menjadikan Pancasila sebagai
ideologi yang bekerja dalam rangka mewujudkan visi dan misi negara dalam
menggapai kemaslahatan dan kebahagiaan hidup bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar