Tantangan
Moderasi Agama
Oman Fathurahman ; Staf Ahli Menteri Agama RI;
Guru Besar FAH UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
|
KOMPAS,
30 Mei
2018
Terjadinya (kembali) penyerangan dan kekerasan
yang menimpa jemaah Ahmadiyah di Dusun Grepek Tanak Eat, Desa Greneng, Sakra
Timur, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, beberapa waktu lalu, sudah
seharusnya mengusik rasa kebersamaan dan kesatuan kita sebagai sebuah warga
bangsa. Menyesakkan!
Betapa tidak? Belum kering air mata kita
untuk korban di Rutan Salemba Cabang Markas Komando Brimob, Surabaya,
Sidoarjo, dan Riau, kini aksi kekerasan atas nama agama terjadi lagi meski
dalam bentuk, skala, dan level yang berbeda. Aksi yang melukiskan betapa
intoleransi masih banyak tertanam dalam sebagian warga-masyarakat kita.
Baik dalam kasus kekerasan terhadap kaum
minoritas maupun terhadap aksi terorisme yang terjadi, kita sering
”bersembunyi” dalam narasi bahwa peristiwa-peristiwa itu tidak terkait dengan
problem dan ideologi keagamaan. Entah bersembunyi dalam motif konflik
keluarga, politik, ekonomi, atau lainnya.
Dalam kasus terorisme, tidak perlu waktu
lama, selepas peristiwa terjadi, muncul narasi dan reaksi keras dari para
elite negara, aparat kepolisian, Badan Nasional Penanggulangan Teroris
(BNPT), dan tokoh agama yang menegaskan bahwa tindakan terorisme tidak ada
kaitannya sama sekali dengan agama.
Testimoni
indoktrinasi
Dalam sebuah berita, saya membaca testimoni
eks kombatan Jamaah Islamiyah (JI), Ali Fauzi. Testimoni tersebut secara
gamblang menelanjangi pengetahuan normatif kita bahwa ideologi radikal memang
muara awal tindakan para radikalis ekstremis. Ali, yang kini bertobat dan
mengelola Yayasan Lingkar Perdamaian, mengonfirmasi bahwa kita memang punya
masalah dengan tafsir ideologis radikal yang merujuk pada teks-teks agama.
Meski jumlahnya sangat kecil dibandingkan
dengan Muslim Indonesia yang mayoritas moderat, indoktrinasi paham keagamaan
radikal yang sangat militan membuat kita harus ekstra waspada. Lengah
sedikit, paham-paham intoleransi dan radikalisme akan terus bermetamorfosis
menjadi aksi terorisme, seperti yang terjadi pada kasus Dita Oepriyanto di
Surabaya.
Saya tentu sepakat dengan narasi bahwa
tindakan teror adalah kejahatan kemanusiaan yang mengatasnamakan agama. Ia
bukan bagian dari hakikat ajaran agama mana pun, termasuk Islam. Akan tetapi,
survei nasional Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta mengonfirmasi bahwa penafsiran
keliru atas teks-teks agama jelas bisa mendorong aksi radikalisme dan bahkan
terorisme atas nama jihad (PPIM-UIN Jakarta, 2017).
Moderasi
beragama
Dalam konteks ini, narasi pentingnya jalan
tengah (the middle path) dalam beragama, seperti yang ditulis Fathorrahman
Ghufron dalam ”Mengarusutamakan Islam Moderat” (Kompas, 23/5/2018),
sesungguhnya memiliki nilai urgensinya untuk terus-menerus digaungkan oleh
tokoh agama, akademisi kampus yang memiliki otoritas, dan melalui saluran berbagai
media. Penggaungan narasi semacam itu khususnya untuk memberikan pendidikan
kepada publik bahwa bersikap ekstrem dalam beragama, pada sisi mana pun, akan
selalu menimbulkan benturan.
Moderasi beragama menjadi sangat mendesak
dalam masyarakat yang sangat plural seperti Indonesia, terutama ketika
masyarakat seolah terbelah sebagai imbas segregasi politik.
Sesungguhnya, moderasi beragama tampak
sudah menjadi visi melekat Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, yang ia coba
ejawantahkan dalam berbagai sikap dan kebijakannya yang selalu mencoba
berdiri di jalan tengah, meski dengan risiko kecaman dari kedua sisi.
Masalahnya, pada tataran praktis, seruan mempraktikkan moderasi beragama ini
masih menghadapi banyak tantangan.
Seimbang
dan adil
Dalam bukunya, The Middle Path of
Moderation in Islam (Oxford University Press, 2015), Mohammad Hashim Kamali
menegaskan bahwa moderate, yang dalam bahasa Arab berarti wasathiyah, tidak
dapat dilepaskan dari dua kata kunci lainnya, yakni berimbang (balance), dan
adil (justice).
Moderat bukan berarti kita kompromi dengan
prinsip-prinsip pokok (ushuliyah) ajaran agama yang kita yakini demi bersikap
toleran kepada umat agama lain; moderat berarti ”… confidence, right
balancing, and justice…” (halaman 14). Tanpa keseimbangan dan keadilan,
seruan moderasi beragama akan menjadi tidak efektif. Dengan demikian, moderat
berarti masing-masing tidak boleh ekstrem di masing-masing sisi pandangnya.
Keduanya harus mendekat dan mencari titik temu.
Kita semua tentu mengecam keras tindakan
kekerasan, pengusiran, pembakaran masjid, dan persekusi terhadap jemaah
Ahmadiyah. Hukum harus tegas terhadap pelakunya. Akan tetapi, prinsip moderat
dalam kasus jemaah Ahmadiyah ini memang tidak terpenuhi.
Di satu sisi, jemaah Ahmadiyah tetap
mengklaim sebagai bagian dari Islam, tetapi, di sisi lain, pemeluknya secara
ekstrem diajarkan untuk tidak bermakmum shalat di belakang Muslim lain di
luar kelompoknya, dan masjid Ahmadiyah tidak bisa digunakan oleh Muslim
lainnya. Ini artinya, ada ”tembok” pemisah yang disebabkan oleh tafsir yang
dibuat jemaah Ahmadiyah atas teks keagamaan (hadis) yang juga dirujuk oleh
Muslim lain.
Selama ekstremitas ada di salah satu sisi,
dan moderasi beragama tidak hadir, maka intoleransi dan konflik keagamaan
tetap akan menjadi ”bara dalam sekam”, yang setiap saat bisa meledak, apalagi
jika disulut dengan sumbu politik. Sebab, seperti ditegaskan Kamali dalam
bukunya di atas: ”moderation is about pulling together the disparate centers
that want to find a proper balance wherein people of different cultures,
religions and politics listen to each other and learn how to work out their
differences” (halaman 15).
Lebih
lantang
Seruan moderasi agama juga belum lantang
disuarakan oleh semua tokoh yang mewakili agama besar di Indonesia, sehingga,
lagi-lagi, narasi yang berkembang pun tidak berimbang. Kalau tradisi Islam
menawarkan konsep wasatiyah (baca: moderat) sampai sekarang kita jarang
mendengar konsep atau narasi tafsir ”moderate” dalam tradisi-tradisi agama
selain Islam.
Akibatnya, seruan agar bersikap moderat
sekarang ini seolah (sekali lagi: seolah) hanya ditujukan pada umat Islam.
Ini yang akhirnya membawa kesan bahwa seolah hanya umat Islam yang tidak
moderat dalam beragama, ekstrem, intoleran, radikal, dan ujung-ujungnya terlibat
aksi terorisme.
Narasi ekstremisme, intoleran, radikal, dan
terorisme dalam media-media arus utama, misalnya, hampir tidak pernah
disematkan pada aksi agresi Amerika Serikat dan Israel di Palestina, yang
tindakannya juga sering melebihi batas moderat.
Saya tentu tidak sedang memberikan
pembenaran atas aksi terorisme. Akan tetapi, narasi yang tidak seimbang dan
tidak adil seperti itu sering menjadi penyebab terbelahnya psikologi publik
dalam menyikapi intoleransi, radikalisme, dan terorisme.
Dengan begitu, meski ekspresi kutukan
terlontar serempak saat teroris beraksi, sebagian masih mencoba mencari
pembenaran dan bersikap permisif. Setidaknya terhadap sikap intoleran dan
radikal, yang sesungguhnya merupakan benih terjadinya tindakan kekerasan dan terorisme
itu sendiri.
Padahal, kita harus kompak dan serempak
menolak kekerasan, persekusi, kejahatan kemanusiaan, dan terorisme: jangan
ada suara sumbang, jangan ada simpati sedikit pun. Seruan untuk melawan
ekstremisme, dan bersikap moderat dalam beragama, bukan hanya menjadi
kewajiban umat Islam, atau salah satu mazhab Muslim, melainkan harus
digaungkan oleh umat agama lainnya, dan oleh kita semua, agar seimbang dan
adil. Bersama-sama kita harus lebih lantang dan menunjukkan komitmen dalam
meluruskan mispersepsi umat atas tafsir teks-teks keagamaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar