Gema
Orkestra Pancasila
J Kristiadi ; Peneliti Senior CSIS
|
KOMPAS,
31 Mei
2018
Di tengah teriknya suhu politik pada tahun
politik yang sarat dengan berbagai idiom politik yang dapat menyesatkan
publik, saling sindir dan jegal para politisi terhadap lawan politiknya,
gemuruh viral hoaks yang mengeruhkan dunia maya; sayup-sayup terdengar gema
orkestra yang melantunkan bait-bait nilai-nilai mulia bangsa, Pancasila.
Dengung kemuliaan nilai-nilai bangsa berhasil menyusup di sela-sela amukan
wacana publik yang hampir kehilangan kewarasannya. Kidung tersebut adalah
kesepakatan dan disahkannya regulasi yang mengatur tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme (selanjutnya disebut UU PTPT).
Berkat kesungguhan dan komitmen negara,
pemerintah, dan DPR, dalam hitungan minggu, regulasi tersebut tidak hanya
disepakati dan disahkan secara aklamasi oleh semua fraksi di DPR, termasuk
fraksi ”oposisi”, tetapi juga dukungan publik dari berbagai kalangan.
Ungkapan Azyumardi Azra, intelektual terkemuka yang sangat santun dan bijak,
kiranya dapat mewakili suasana kebatinan publik: ”Negara sudah seharusnya
bertindak lebih tegas terhadap terorisme, apalagi bagi mereka yang pernah
ikut latihan berperang di NIIS, Indonesia harus lebih tegas. Selama ini
Indonesia terlalu lunak menghadapi terorisme” (Kompas, Sabtu, 26 Mei 2018).
Orkestra tersebut terasa semakin merdu dan
mendayu karena negara tetap membuka ruang bagi masyarakat untuk mengawal dan
memberikan catatan kritis dalam pelaksanaannya. Karena itu, pada peringatan
Hari Pancasila besok (Jumat, 1 Juni 2018), rakyat tidak hanya disuguhi
upacara dan pekik retorika, tetapi juga karya nyata berupa regulasi yang
dapat diharapkan meredam aksi teror yang telah merenggut ribuan nyawa dalam
beberapa dasawarsa belakangan ini. Namun, UU PTPT, meskipun cukup
komprehensif, bukan peluru perak (silver bullet), senjata ampuh, yang dapat
menjadi solusi instan menyelesaikan persoalan yang rumit. Oleh karena itu,
sangat diperlukan kebijakan yang lebih komprehensif.
Fenomena itu membuktikan bangsa Indonesia
jika bersatu mempunyai energi luar biasa yang mampu mengatasi krisis yang
mengancam kelangsungan hidup bangsa dan negara. Sayangnya, energi itu baru
menggelegak jika distimulus oleh tragedi kasatmata, seperti ledakan bom di
Surabaya dan sekitarnya yang dilakukan oleh semua anggota keluarga pelaku.
Padahal, ancaman bangsa dan negara yang
tidak kalah daya rusaknya adalah proses pembusukan lembaga politik dan negara
akibat perilaku korup para pemutus politik dan penyelenggara negara. Namun,
karena ancaman itu berkaitan dengan tingkat kenyamanan yang memabukkan,
gelegak kesadaran kolektif mereka untuk memadamkan api nafsu korupsi sangat
lembek.
Rakyat sangat berharap agar momentum
lantunan gita orkestra Pancasila dapat dirawat mengingat agenda pemberantasan
terorisme tidak dapat hanya mengandalkan UU PTPT, tetapi harus dilakukan
secara menyeluruh. Untuk itu, diperlukan metanarasi (grand story) karena
fenomena terorisme di Indonesia mempunyai ideologi ”konter narasi” terhadap
Pancasila, bahkan menjungkirbalikkan nilai-nilai kemanusiaan.
Misalnya, pelaku teror dicekoki pemahaman,
kematian itu agung. Karena itu, harus lebih memuliakan kematian daripada
kehidupan. Kematian adalah seni yang indah untuk dinikmati karena merupakan
jalan cepat mencapai tujuan hidup hakiki. Namun, yang juga mengkhawatirkan,
mereka berhasil membentuk masyarakat alternatif dengan simbol, atribut, serta
narasi-narasi yang menegaskan identitas mereka berbeda dengan lainnya.
Aksioma ”kita” dan ”mereka” akan membelah masyarakat.
Banyak kajian menyimpulkan, lahirnya
terorisme, meskipun multidimensi, salah satu kausa penting adalah
keputusasaan yang disertai dengan jurang menganga antara harapan yang semakin
meningkat dan kesempatan yang semakin menyempit. Oleh karena itu, agenda
konkretnya bukan melakukan kontemplasi, melainkan harus diawali dengan
keberanian melawan perilaku sektarian, diskriminatif, intoleransi, dan
politik identitas.
Dalam perspektif makro, terorisme harus
dilawan dengan metanarasi yang lebih dahsyat untuk mengungguli kisah yang
merupakan dongeng heroisme yang menjadi keyakinan para pelaku terorisme.
Selain itu, metanarasi juga sangat diperlukan bangsa Indonesia untuk
mewujudkan kesejahteraan dan keadilan; serta memperjelas posisi bangsa
Indonesia dalam tataran global sebagaimana diamanatkan konstitusi,
melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan
keadilan sosial.
Bangsa yang tidak mempunyai metanarasi atau
tidak memercayai serta menghayati metanarasinya akan linglung, bingung, dan
sempoyongan menghadapi dunia yang semakin tidak menentu. Karena itu, para
elite bangsa diharapkan agresif menawarkan metanarasi dengan idiom-idiom yang
dapat menggerakkan bangsa mewujudkan cita-cita nasional. Momentum bahana
orkestra Pancasila jangan dibiarkan menguap begitu saja. Khususnya para
pemutus politik harus selalu ingat ancaman yang tidak kalah daya rusaknya
selain terorisme, yakni kenyamanan eksesif yang diproduksi perilaku korup. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar