Menimbang
Iuran LPS
Paul Sutaryono ; Pengamat Perbankan; Mantan
Assistant Vice President BNI
|
KOMPAS,
02 Juni
2018
Satu pungutan lagi berupa iuran
restrukturisasi perbankan segera dibebankan kepada bank oleh Lembaga Penjamin
Simpanan (LPS). Iuran itu menyu- sul premi penjaminan kepada LPS dan iuran
kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Bagaimana implikasinya pada suku
bunga kredit? Lantas, bagaimana menangkisnya? Besaran iuran itu akan
ditetapkan dengan Peraturan pemerintah (PP) yang masih digodok Kementerian
Keuangan dengan berkonsultasi dengan DPR. PP itu merupakan aturan turunan
dari UU No 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem
Keuangan yang diundangkan pada 15 April 2016.
Pasal 39 UU itu menitahkan bahwa
dana penyelenggaraan program restrukturisasi perbankan berasal dari pemegang
saham bank dan atau pihak lain berupa tambahan modal dan/atau perubahan utang
tertentu menjadi modal, hasil pengelolaan aset dan kewajiban yang berasal
dari aset dan kewajiban bank yang ditangani, kontribusi industri perbankan
dan/atau pinjaman yang diperoleh LPS dari pihak lain. Pinjaman dari pihak
lain itu berasal dari perseorangan, badan usaha milik negara, badan usaha
milik swasta dan/atau badan hukum lainnya.
Program restrukturisasi perbankan
adalah program yang diselenggarakan untuk menangani permasalahan perbankan
yang membahayakan perekonomian nasional. Kelak program itu diselenggarakan
oleh LPS. Apakah iuran restrukturisasi perbankan harus dari bank? Tidak.
Pasal 39 menitahkan iuran restrukturisasi perbankan tidak harus berasal dari
bank. Tetapi mengingat ada bank yang memiliki risiko sistemik, maka
kemungkinan besar iuran akan dibebankan kepada bank.
Aneka pertimbangan
Lantas, faktor apa saja yang patut
dipertimbangkan dalam menetapkan iuran itu? Pertama, apakah iuran itu sudah
waktunya untuk dibebankan dalam waktu dekat ini pada 2018? Rasanya belum. Hal
itu lantaran Pasal 38 menitahkan bahwa dalam kondisi krisis sistem keuangan
dan terjadi permasalahan sektor perbankan yang membahayakan perekonomian
nasional, Komite Stabilitas Sistem Keuangan merekomendasikan kepada Presiden
untuk memutuskan penyelenggaraan program restrukturisasi perbankan.
Apakah saat ini ada masalah sektor
perbankan yang membahayakan perekonomian? Tidak. Ada beberapa indikator yang
mendukung. Sebut saja, rasio pemenuhan kecukupan modal minimum (capital
adequacy ratio/CAR) naik dari 21,39 persen per Desember 2015 menjadi 22,93
persen (2016), 23,18 persen (2017) dan 22,65 persen (Maret 2018). Data itu
mengandung arti bahwa permodalan industri perbankan nasional makin gagah.
Imbal hasil aset (return on
assets/ROA) juga tinggi dari 2,32 persen per Desember 2015 menjadi 2,23
persen (2016), 2,45 persen (2017) dan 2,55 persen (Maret 2018), mendekati dua
kali atas ambang batas 1,5 persen. Artinya, kualitas aset (assets quality)
masih perkasa.
Demikian pula margin bunga bersih
(net interest margin/NIM) sebagai mesin pencetak pendapatan dari bunga kredit
masih perkasa dari 5,39 persen per Desember 2015 menjadi 5,63 persen (2016),
5,32 persen (2017) dan 5,07 persen (Maret 2018). Hal ini menegaskan bank
masih mampu menggali pendapatan bunga kredit (interest income) yang tinggi
jauh melebihi rata-rata NIM bank-bank di negara ASEAN yang sekitar 3 persen.
Kedua, metode penetapan besaran
iuran semestinya dibahas dengan industri melalui masing-masing asosiasi
seperti Himpunan Bank-Bank Negara (Himbara), Perhimpunan Bank-Bank Nasional
(Perbanas) dan Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda). Tampaknya LPS akan
menetapkan iuran berdasarkan pada total aset bank seperti iuran kepada OJK.
Untuk premi penjaminan LPS, setiap
peserta penjaminan mempunyai dua kewajiban. Pertama, kontribusi kepesertaan
0,1 persen dari modal disetor bank. Kedua, premi penjaminan yang dibayarkan
dua kali dalam setahun: periode 1 Januari-30 Juni dan periode 1 Juli-31
Desember. Premi itu 0,1 persen per periode dari rata-rata saldo bulanan total
simpanan.
Implikasi
Ketiga, kemungkinan besar iuran
itu akan dibebankan kepada nasabah sebagai pengguna akhir (end user). Hal itu
logis tetapi dapat mendorong kenaikan bunga kredit terlebih ketika bunga
acuan sudah naik 25 basis poin (bps) (0,25 persen) menjadi 4,50 persen. Kok
bisa? Ketika iuran sudah berlaku efektif, bank akan terbebani biaya
operasional lebih tinggi lagi yang mengakibatkan biaya penyaluran kredit
(cost of loanable fund) juga naik.
Sebagai informasi, besarnya suku
bunga deposito yang diberikan bank kepada nasabah, pajak, premi risiko (risk
premium) dan cadangan kredit bermasalah (non performing loan/NPL) merupakan
paket biaya operasional bagi bank dalam menentukan suku bunga kredit.
Kenaikan suku bunga kredit itu dapat mengganggu upaya pemerintah dalam
menciptakan suku bunga kredit satu digit (single digit) untuk mendorong
supaya sektor riil bergerak lebih kencang.
Padahal suku bunga rata-rata
kredit (dalam rupiah) bank umum sudah turun cukup signifikan. Coba simak data
berikut. Statistik Perbankan Indonesia yang diterbitkan oleh OJK pada 9 Mei
2018 menunjukkan suku bunga rata-rata kredit modal kerja telah turun 185 bps
(1,85 persen) selama tiga tahun terakhir dari 12,48 persen per Desember 2015
menjadi 10,63 persen per Maret 2018. Demikian pula suku bunga rata-rata
kredit investasi telah turun 174 bps (1,74 persen) dari 12,12 persen menjadi
10,38 persen, sedangkan suku bunga rata-rata kredit konsumsi turun 14 bps
(0,14 persen) dari 13,88 persen menjadi 12,48 persen pada periode sama.
Manakala suku bunga kredit terus
merangkak naik, permintaan kredit diprediksi akan kian tertekan. Kondisi itu
akan menekan pula pertumbuhan ekonomi mengingat pertumbuhan kredit perbankan
merupakan cermin pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, ketika bunga kredit naik
tetapi suku bunga deposito minimal tetap, maka NIM bank bakal melaju lebih
cepat sebagai salah satu pilar penting dalam mencetak laba. Sungguh ironis
tatkala pertumbuhan laba bank makin tinggi, pertumbuhan ekonomi justru
tertekan.
Padahal untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi, Bank Indonesia (BI) telah menahan BI 7 Day Repo Reverse
Rate pada 4,25 persen sejak 22 September 2017 hingga akhirnya naik menjadi
4,50 persen pada 17 Mei 2018 setelah rupiah terkulai pada level Rp 14.000 per
dollar AS. Hal itu sebagai akibat kenaikan suku bunga acuan AS (The Fed Fund
Rate) 25 bps menjadi 1,75 persen pada Maret 2018. Ancaman kenaikan itu akan
berlanjut yang diprediksi pada Juni dan Desember 2018.
Alternatif solusi
Keempat, karena itu perlu ada
jurus teroboson yang ampuh untuk mengatasi resistensi industri perbankan
terhadap iuran restrukturisasi itu. Untuk menjamin kesetaraan dan rasa
keadilan (fairness), iuran sudah seharusnya berbasis risiko bank (risk based
premium) atau menurut profil risiko masing-masing bank.
Dalam menentukan peringkat risiko,
LPS dapat bekerja sama dengan OJK yang telah menentukan tingkat kesehatan
bank. Tingkat kesehatan bank adalah hasil penilaian kondisi bank yang
dilakukan terhadap risiko dan kinerja bank.
Bank wajib melakukan penilaian
sendiri (self-assessment) atas tingkat kesehatan bank. Tingkat kesehatan bank
secara individu dengan menggunakan pendekatan risiko (risk-based bank rating)
dengan cakupan penilaian terhadap faktor-faktor profil risiko (risk profile),
good corporate governance (GCG), rentabilitas (earnings) dan permodalan
(capital).
Namun ketika terdapat perbedaan antara hasil penilaian tingkat
kesehatan bank yang dilakukan OJK dan hasil penilaian sendiri tingkat
kesehatan bank, yang berlaku adalah hasil penilaian tingkat kesehatan bank
yang dilakukan oleh OJK.
Dengan Peraturan OJK No 4/POJK.03/2016
tentang Penentuan Tingkat Kesehatan Bank Umum, OJK menetapkan lima peringkat
tingkat kesehatan bank. Peringkat 1 (sangat sehat), 2 (sehat), 3 (cukup
sehat), 4 (kurang sehat) dan 5 (tidak sehat). Peringkat 1 mencerminkan
kondisi bank yang secara umum sangat sehat sehingga dinilai sangat mampu
menghadapi pengaruh negatif yang signifikan dari perubahan kondisi bisnis dan
faktor eksternal lainnya.
Untuk itu, LPS sudah semestinya
juga membagi peringkat risiko dalam lima peringkat agar sesuai dengan penilaian
tingkat kesehatan bank yang disusun OJK. Dengan demikian, iuran berbasis
risiko itu akan membuat bank yang punya potensi risiko lebih tinggi sudah
selayaknya membayar iuran lebih tinggi. Sebaliknya, bank yang memiliki
potensi risiko lebih rendah akan membayar iuran lebih rendah.
Kelima, sejatinya, iuran berbasis
risiko itu secara tidak langsung menuntut bank supaya selalu melakukan
berbagai upaya untuk mengerek tingkat kesehatan bank. Untuk itu, BI sudah
menetapkan countercyclical buffer melalui Peraturan BI No 17/22/PBI/2015
tentang Kewajiban Pembentukan Countercyclical Buffer. Countercyclical buffer
adalah tambahan modal yang berfungsi sebagai penyangga (buffer) untuk
mengantisipasi kerugian apabila terjadi pertumbuhan kredit dan/atau
pembiayaan perbankan yang berlebihan sehingga berpotensi mengganggu
stabilitas sistem keuangan.
Besaran countercyclical buffer ditetapkan dalam kisaran paling kurang nol
persen sampai dengan 2,5 persen dari Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR)
yang efektif berlaku 1 Januari 2016. Dengan bahasa lebih bening, kini bank
dituntut untuk tiada henti meningkatkan modal untuk menepis aneka potensi
risiko kredit, pasar, operasional dan likuiditas. Dengan mengenakan iuran
berbasis risiko demikian, resistensi terhadap pengenaan iuran restrukturisasi
perbankan akan dapat ditekan sedemikian rupa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar