”Divide
et Impera” dalam Pendidikan
Sidharta Susila ; Pendidik di Muntilan, Magelang
|
KOMPAS,
31 Mei
2018
Sejarah mencatat, cara efektif menguasai
dan akhirnya menghancurkan bangsa di Nusantara ini adalah dengan politik
memecah belah, politik divide et impera.
Sayangnya, kita seperti tak belajar dari fakta itu.
Salah satu bentuk upaya penuntasan ambisi
pribadi dengan politik divide et impera
adalah dengan menginjeksikan gagasan intoleransi dan radikalisme ke dalam
dunia pendidikan. Syukurlah akhirnya Presiden Jokowi menyerukan agar dunia
pendidikan dibersihkan dari paham radikalisme.
Sesungguhnya telah begitu banyak pihak
menyerukan fakta dan data yang mengerikan tentang pembiakan paham intoleransi
dan radikalisme dalam dunia pendidikan kita. Sebutlah hasil penelitian yang
dilakukan jaringan Gusdurian dan berbagai lembaga tentang kajian Islam dan
perdamaian.
Sayangnya, kita seperti tidak merasa
terganggu, acuh tak acuh. Kita tidak merasa terancam dengan paparan
data-fakta itu. Beberapa bahkan menolak fakta dan data itu dengan ragam
rasionalisasinya.
Sikap apatis sampai penolakan serta ragam
pembelaan atas fakta dan data tentang terpaparnya paham intoleransi dan
radikalisme di dunia pendidikan kita, baik oleh institusi pendidikan maupun
oleh para pejabat negeri ini, membuat pembiakan radikalisme di dunia
pendidikan kian menggurita, sistemik, dan sistematis dalam senyap.
Pun ketika bocah-bocah ikut terlibat dalam
aksi terorisme, rasanya tak juga membuat kita cemas dengan pembiakan
intoleransi dan radikalisme di dunia pendidikan.
Kutuk
”divide et impera”
Sikap acuh tak acuh, pembiaran,
rasionalisasi, dan pembelaan atas data dan fakta terpaparnya dinamika
pendidikan kita oleh paham intoleransi dan radikalisme seperti memperteguh
kutukan divide et impera atas bangsa ini. Kutuk itu serasa kian kokoh ketika
bocah-bocah dan para pelajar dilibatkan dalam berbagai aksi politis
berbungkus isu agama, seruan adanya kelompok setan dan kelompok Tuhan, juga
ujaran seruan para selebritas politik yang memancing warga untuk saling
mencemooh, membenci, menghujat, memusuhi, sampai menolak lawan politiknya.
Ketika anak-anak dan kaum muda diinjeksi
paham intoleransi dan radikalisme lewat lembaga pendidikan formal ataupun
nonformal, maka benih laku divide et impera itu bakal hidup dan tumbuh
berkelanjutan. Paham intoleransi dan radikalisme berujung pada penguatan
kelompok sepaham dan penolakan sampai penghancuran kelompok lain yang tidak
sepaham.
Kelompok yang tidak sepaham adalah mereka
yang tidak sama suku, ras, atau agamanya. Namun, sesungguhnya akhirnya paham
intoleransi dan radikalisme pada waktunya juga akan menghancurkan mereka yang
seagama, tetapi tidak sepaham atau setarekat.
Injeksi paham intoleransi dan radikalisme
dalam pendidikan kita adalah eksploitasi naluri purba bangsa ini untuk
mempertahankan eksistensi kelompok sendiri. Caranya dengan menumbuhkan rasa
terancam dan curiga pada kelompok lain. Begitulah yang kita alami hari-hari
ini ketika benih divide et impera
dibiakkan oleh bangsa Nusantara ini untuk akhirnya menghancurkan bangsanya
sendiri.
Sungguh hanyalah mimpi untuk membuat negeri
ini hanya dihuni kelompok sepaham. Keragaman adalah keniscayaan kehidupan.
Anugerah akal budi dari Tuhan adalah salah satu faktor yang membuat
mustahilnya upaya manusia untuk membuat kehidupan dengan paham tunggal.
Kisah dihancurkannya Menara Babel dalam
Kitab Suci adalah ajaran suci bahwa manusia harus waspada pada hasrat
purbanya untuk menciptakan kehidupan dengan paham tunggal, apalagi dengan
menghancurkan liyan yang dimulai lewat menginjeksi paham intoleransi dan
radikalisme di dunia pendidikan.
Semoga para guru, pengajar di pendidikan
formal maupun nonformal, para pejabat negara dunia pendidikan—mulai dari
sekolah sampai pejabat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan—sadar bahwa upaya
membiakkan intoleransi dan radikalisme hanya akan menyengsarakan anak-cucu
bangsa ini.
Barangkali usaha ini akan berhasil
dinikmati kelompok tertentu untuk lima atau sepuluh tahun ke depan. Akan
tetapi, yakinlah, selanjutnya anak-cucu kita akan terus saling bunuh dan
saling menghancurkan sesamanya di negeri ini. Akal dan nalar
intoleransi-radikalisme akan selalu kreatif menemukan ketidaksepahaman dengan
liyan yang mulanya sepaham, lalu menghancurkannya. Gairah saling
menghancurkan kian menggelora ketika dipolitisasi seperti hari-hari ini,
entah oleh bangsa sendiri maupun bangsa lain yang punya kepentingan atas
negeri ini.
Hentikan pembiakan ajaran intoleransi dan
radikalisme dalam dunia pendidikan, atau kita hanya akan melanggengkan
kutukan divide et impera di bumi
Nusantara ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar