Desa
dan Sabuk Pengaman Sosial
Achmad Maulani ; Tenaga Ahli Utama Analisis dan Advokasi Kebijakan Publik
Kemendesa-PDTT
|
KOMPAS,
30 Mei
2018
Proses serta sistem pengurusan yang rumit
ditengarai menjadi salah satu akar masalah yang menggiring TKI masuk pada
lubang hitam jeratan calo (Kompas, 20/5/2018).
Negara perlu terus diingatkan bahwa
kelompok tenaga kerja yang dianggap pahlawan devisa ini seharusnya
ditempatkan pada posisi yang memungkinkan mereka diperhitungkan dalam setiap
proses kebijakan dan mendapat perlindungan hukum.
Desa, sebagai level pemerintahan paling
bawah, harus didorong untuk proaktif melindungi tenaga kerja Indonesia (TKI)
karena ia menjadi arena paling subur bagi sponsor atau calo dalam menjaring
calon TKI. Desa menjadi titik berangkat awal dari seluruh pengurusan dokumen
identitas TKI. Posisi tawar yang kuat harus dimulai dari titik berangkat ini.
Posisi desa dalam konteks demikian menjadi
penting karena desa saat ini, perlahan tapi pasti, mampu menjadi sabuk
pengaman sosial terhadap berbagai persoalan kemasyarakatan yang timbul. Salah
satunya pilihan menjadi tenaga kerja di luar negeri bagi warganya.
Argumentasi yang selama ini sulit ditolak
untuk mencegah migrasi tenaga kerja ini adalah bahwa pilihan menjadi tenaga
kerja di luar negeri merupakan solusi alternatif yang masuk akal pada saat
pemerintah negeri sendiri ”gagal” mencari jalan keluar atas persoalan
pengangguran dan kemiskinan. Tingginya
angka kemiskinan di daerah asal para TKI tersebut menyebabkan sebagian besar
penduduknya mencari kemungkinan-kemungkinan lain di luar wilayahnya untuk
tetap bertahan. Migrasi internasional akhirnya menjadi salah satu pilihan
yang dianggap paling rasional, meskipun mereka sadar dengan berbagai risiko
yang mungkin terjadi.
Geliatkan
ekonomi desa
Pada titik ini, tindakan yang diambil
pemerintah tidak boleh hanya bersifat reaktif-artifisial, misalnya dalam
bentuk penghentian pengiriman TKI tanpa memikirkan kebijakan jangka panjang
dalam bentuk paket kebijakan yang lebih memberdayakan. Ketika itu yang
terjadi, persoalan TKI akan kembali menjadi soal klasik seperti berputar
dalam lingkaran setan.
Posisi desa sebagai sabuk pengaman sosial
tampaknya punya makna strategis sebagai salah satu upaya memberi solusi
alternatif mengerem laju migrasi tenaga kerja ke luar negeri. Nilai
strategisnya terletak pada berbagai indikator, terutama ekonomi, yang mulai
bergeliat di desa-desa di pelosok Nusantara.
Kebijakan dana desa, misalnya, telah
menyumbangkan energi baru bagi pergerakan perekonomian yang signifikan di
desa-desa serta penurunan angka kemiskinan. Nilainya yang terus meningkat
dari Rp 20,67 triliun pada 2015, Rp 46,98 triliun pada 2016, dan menjadi Rp
60 triliun tahun 2017 dan 2018 telah mampu menurunkan angka kemiskinan di
pedesaan lebih cepat dibandingkan dengan di perkotaan.
Selama periode Maret 2017- September 2017,
jumlah penduduk miskin di perkotaan turun 401.280 orang, sementara di
pedesaan turun 786.950 orang. Begitu pun rasio Gini penduduk pedesaan
mengalami penurunan dari 0,334 pada tahun 2015 menjadi 0,320 pada 2017.
Maknanya bahwa dana desa yang digelontorkan
ke desa-desa telah mengubah wajah desa. Selain berdampak pada penurunan angka
kemiskinan, ia juga telah melahirkan lokus-lokus pertumbuhan baru di desa
yang berdampak pada penyerapan tenaga kerja.
Geliat tumbuh suburnya desa-desa wisata,
pertumbuhan badan usaha milik desa (BUMDes) yang telah mencapai 65.433 unit,
produk-produk unggulan kawasan pedesaan yang mulai bermitra dengan dunia
usaha, pertumbuhan pasar desa sebanyak 5.220 unit adalah sebagian contoh
bagaimana kemampuan ekonomi untuk menciptakan lapangan kerja di desa mulai
meningkat.
Hal ini bisa dilihat dari grafik penyerapan
tenaga kerja. Pada 2017, penyerapan tenaga kerja di pedesaan meningkat 0,08
persen dari tahun sebelumnya. Penduduk desa yang bekerja sebanyak 57,1 juta
jiwa, meningkat 170.000 dibandingkan tahun sebelumnya. Data bahkan
mengonfirmasi bahwa dana desa selama 2015- 2018 akan menciptakan lapangan
kerja sebanyak 5,7 juta-7,3 juta.
Desa
adalah masa depan
Karena itu, menempatkan peran penting desa
dalam skema perlindungan terhadap TKI dalam makna yang lebih luas adalah
sebuah keniscayaan. Artinya, ke depan desa tidak hanya sebagai lembaga
stempel terhadap segala dokumen dan identitas TKI, tetapi desa menjadi
alternatif baru pilihan ekonomi rasional calon TKI. Simpelnya, penting
meyakinkan para calon TKI bahwa desa adalah masa depan mereka. Ketika hal
tersebut terwujud, di situlah makna sesungguhnya dari desa sebagai sabuk
pengaman sosial.
Statistik-statistik kemajuan seperti di
atas menunjukkan bahwa desa sesungguhnya punya potensi untuk menjadi
lokus-lokus pertumbuhan baru. Pelibatan dan penguatan desa dalam seluruh
proses pembangunan tak lagi bisa ditawar. Di sinilah desa tak lagi hanya
menjadi subordinat dari supradesa. Desa memiliki kewenangan penuh menentukan
arah dan kebijakan pembangunannya sendiri sesuai lokalitas yang dimiliki.
Dalam konteks persoalan TKI yang sering
kali bermasalah sejak awal, yang harus dilakukan adalah negara perlu lebih
cermat lagi untuk melihat kembali serta mengidentifikasi persoalan-persoalan
apa saja yang sesungguhnya menjadi ”penyakit” dalam soal TKI, untuk kemudian
melakukan diagnosa atas problem yang mereka hadapi. Di sinilah diperlukan
kebijakan yang menyentuh ke akar masalah.
Salah satu yang harus dilakukan,
pemerintah—dalam hal ini pemerintah daerah—harus mampu menginisiasi berbagai
kesempatan kerja baru bagi banyak tenaga kerjanya sehingga tidak lari ke luar
daerah. Upaya-upaya pemberdayaan ekonomi lokal lewat berbagai inovasi
kebijakan harus ditempuh pemerintah daerah.
Pertumbuhan angkatan kerja yang tidak
sebanding dengan pertumbuhan kesempatan kerja mendorong terjadinya
pengangguran terbuka ataupun setengah pengangguran di daerah asal. Hal ini
pada akhirnya menyebabkan munculnya rasa frustrasi di kalangan penduduk usia
kerja, yang pada gilirannya mendorong kelompok tersebut mencari alternatif
sendiri yang lebih baik.
Karena itu, ke depan, ada beberapa hal yang
saya kira perlu dilakukan pemerintah di berbagai tingkatan. Pertama, membuat
reorientasi program pembangunan daerah melalui perencanaan yang matang dengan
memprioritaskan terciptanya peluang-peluang usaha bagi masyarakat di segala lapisan
sosial dan ekonomi. Kedua, perlunya pemerintah daerah mempertimbangkan terciptanya
peluang-peluang kerja baru berdasarkan kekuatan-kekuatan dan potensi ekonomi
lokal.
Ketiga, kalaupun pengiriman TKI tetap
menjadi pilihan tak terelakkan, pemerintah daerah perlu menciptakan
aturan-aturan atau perangkat peraturan daerah yang dapat digunakan sebagai
dasar hukum untuk melakukan kontrol terhadap seluruh aktivitas dan proses
migrasi, terutama di tingkat lokal. Desa dalam hal ini bisa menjadi benteng
kuat karena seluruh proses dokumentasi berawal dari desa.
Seluruh langkah dan kebijakan untuk
memberdayakan ekonomi lokal harus secara tepat dilakukan pemerintah melalui
skema kebijakan yang terkoordinasi dengan baik. Pembentukan Desa Migrasi
Kreatif yang diinisiasi pemerintah misalnya, baru akan bermakna ketika ia
mampu menumbuhkan prakarsa-prakarsa lokal untuk benar-benar menjadikan desa
sebagai sabuk pengaman sosial dengan sumber daya yang dimiliki. Hal ini
lantaran besarnya mobilitas TKI ke
luar negeri selama ini, salah satunya, adalah karena pembangunan yang timpang
dan ”gagal” dalam memberi nisbah kue pembangunan kepada seluruh lapisan
masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar