Lucu
”Agawe Santosa”
Indra Tranggono ; Pemerhati Kebudayaan dan Sastrawan
|
KOMPAS,
02 Juni
2018
Tahun politik 2019 (pemilihan
legislatif dan presiden) bakal menguras energi bangsa. Blok-blok politik
menguat. Tensi politik meninggi. Ketegangan antarkubu meningkat. Narasi penuh
kekerasan bertaburan. Gesekan sosial pun berpotensi meledak. Kemenangan dalam
kontestasi itu jadi pertaruhan besar. Peradaban bangsa pun terancam robek.
Seluruh elemen bangsa ini
membutuhkan kedewasaan, di antaranya dengan mencipta ruang-ruang dalam
pikiran dan jiwa agar kemarahan tidak mudah berkobar. Salah satunya melalui
humor.
Jangan sepelekan humor! Humor tak
hanya mampu menetralisasi stres dan amarah, tetapi juga membebaskan manusia
dari kesempitan cara pandang dan kesumpekan hati sehingga menemukan dunia
alternatif dan nilai-nilai baru.
Selain itu, humor juga mendidik
manusia untuk selalu rendah hati. Menertawakan diri sendiri atas berbagai
kelemahan, keterbebasan, dan kekonyolan. Tidak jemawa. Tidak semena-mena
terhadap manusia lain. Selalu eling (sadar diri secara etik) dan waspada
(ketajaman pikiran dan batin dalam menentukan langkah). Tidak gampang
terhasut. Selalu menimbang, memilih, dan memilah berdasarkan akal sehat dan
hati nurani. Mampu membedakan antara yang artifisial dan yang substansial.
Hidup membutuhkan sikap semeleh
(kelapangan hati dan pikiran yang menciptakan rasa damai) dalam menyikapi
kenyataan. Rileks. Kritis. Mampu menertawakan kenyataan. Dalam konteks lebih
luas, humor dan segala kelucuannya mampu menjadi perekat bangsa. Wajar jika
orang pun bilang, lucu agawe santosa.
Jarak
politik
Bangsa-bangsa yang berperadaban
tinggi cenderung memiliki selera humor yang baik. Persia melahirkan Abu Nawas
(756-814), penyair dan sosok bijak dan kocak. Turki melahirkan Nasrudin
Hodja, sufi satririkal yang meninggal pada abad ke-13. Inggris melahirkan
Charlie Chaplin (1889-1977). Rusia melahirkan cerita-cerita humor yang getir.
Ini menunjukkan, humor merupakan bagian penting dari kebudayaan dan peradaban
bangsa.
Bagaimana Indonesia? Sejak
reformasi 1998 bergulir, sebagian besar anak bangsa kita kian sulit tersenyum
dan tertawa. Seperti harga bahan kebutuhan pokok, darah mereka gampang naik.
Mereka sangat sensitif terhadap kata, frasa, ujaran, wacana atau teks yang
dianggap memiliki potensi ancaman atas cara pandang, pemahaman, dan
penghayatan politik serta primordialnya.
Masyarakat kita cenderung bersumbu
pendek. Gampang tersinggung, terprovokasi, dan meledakkan amarah. Kebiasaan
itu bukan hanya dimiliki kaum akar rumput, juga kelompok elite politik,
antara lain, yang suka pamer amarah di televisi.
Budayawan Umar Kayam pernah
bercerita tentang suporter sepak bola Persis Solo dan suporter PSIM Yogyakarta
yang sama-sama menyaksikan pertandingan kedua kesebelasan itu. Ini terjadi
pada 1950-an. Kita tahu hubungan
Persis Solo dengan PSIM Yogya kurang harmonis, antara lain, karena sisa-sisa
sentimen Perjanjian Giyanti (1755) yang membagi kekuasaan Mataram menjadi
dua, Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Ketika pemain PSIM berhasil
memasukkan gol ke gawang Persis, pendukung Persis tidak marah. Mereka justru
diam. Sementara pendukung PSIM bersorak-sorai. Namun, giliran Persis mampu
bikin gol ke gawang PSIM, kontan para pendukung Persis mengeluarkan belangkon ala Yogyakarta yang
punya ”mondolan” (bulatan sebesar telur asin yang ada di bagian belakang
belangkon). Apa yang dilakukan? Suporter Persis nylenthiki ”mondolan” itu,
sambil bilang, ”Kapok ora… kapok ora.” Kontan semua penonton tertawa.
Pertandingan pun berlanjut dengan gayeng, ramai, menyenangkan, damai, dan
penuh sportivitas.
Kasus di atas jadi indikator
betapa masyarakat Solo dan Yogya waktu itu masih memiliki selera humor
tinggi. Kepahitan hidup akibat konflik kekuasaan tidak serta-merta merembes
menjadi konflik horizontal penuh amuk dan kekerasan. Masyarakat mampu
mengambil jarak politik dan melakukan transendesi. Di situ, humor dipilih
sebagai jalan pembebasan.
Pada 1950-an- 1980-an, kemampuan
masyarakat kita dalam menertawakan diri sendiri dan keadaan masih terasa.
Pada rentang waktu itu di Yogyakarta lahir dagelan Mataram (Basiyo dkk),
Srimulat pimpinan Teguh Raharjo; kuartet Bing Slamet, Ateng, Iskak, dan Edi
Sud; grup lawak Mang Udel dan kawan-kawan di Bandung, hingga Warung Kopi,
Dono, Kasino, dan Indro (Warkop DKI). Grup-grup lawak bisa menjadi penanda
kebudayaan tentang masyarakat yang memiliki selera humor tinggi.
Kita punya penulis-penulis hebat
yang mampu menghadirkan refleksi, kontemplasi dengan cara cerdas dan lucu
melalui kolom-kolomnya. Sebut, misalnya, Umar Kayam, Mahbub Djunaidi, KH
Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Satjipto
Wirosardjono, Arwah Setiawan, dan Emha Ainun Nadjib.
Humor
itu subversif
Dalam kebudayaan, humor tidak
sebatas banyolan, tetapi sebuah nilai yang lahir dari cara pandang atau cara
berpikir yang mampu menciptakan versi lain dari versi besar (umum) atas
realitas kehidupan. Karena itu, humor bersifat subversif.
Humor ”menghancurkan” atau
mendekonstruksi pikiran yang beku dan mapan untuk melahirkan realitas
kemungkinan yang menggedor akal pikiran dan meledakkan tawa. Artinya,
kekuatan humor adalah permainan logika, keluasan wawasan, dan keliaran
imajinasi. Tinggi-rendahnya selera humor bergantung mutu kebudayaan, kematangan jiwa, dan imajinasi bangsa.
Tahun politik membutuhkan
kemampuan mentransendensi melalui
humor agar masyarakat menemukan kekayaan cara pandang dan kelapangan hati
untuk menyikapi pelbagai banalitas politik. Kelucuan yang diproduksi humor
mampu mencairkan ketegangan, bahkan mempererat persaudaraan bangsa menjadi
kuat.
Jika ada pameo ”rukun agawe
santosa”, maka muncul pula wisdom ”lucu agawe santosa” alias kelucuan
melahirkan kekuatan jiwa bangsa, terutama saat menghadapi keadaan kritis,
genting seperti tahun politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar